Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Surat untuk Sanusi

Tak sanggup menanggung biaya pengobatan, seorang anak menelantarkan bapaknya hingga tewas. Bukan sekadar kisah Malin Kundang.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANUSI, ketika surat ini kami tulis, engkau mungkin tak lagi menanggung rasa sakit itu. Di alam yang lapang, nun jauh di sana, tak lagi kau butuhkan tubuhmu yang ringkih dan tergolek. Menjelang subuh kau tewas. Orang-orang menemukan jasadmu di bawah jembatan layang Cakung, Jakarta Timur, dalam posisi tertelungkup. Di dekatmu ditemukan tikar dan sedikit minuman ringan. Tak terbayangkan bagaimana ketika itu kau meregang nyawa. Sakitkah? Sedihkah? Dalam sepi dan angin pagi, kau tinggalkan dunia yang bertahun-tahun kau jalani dengan rasa capek.

Istrimu meninggal tiga tahun lalu. Kau pun sakit-sakitan. Anak dan menantumu miskin hingga tak mampu menanggung biaya pengobatan. Sehari di rumah sakit, mereka membawamu pulang. Tapi tak ada yang mau menampung. Di bawah jembatan itu kau dionggokkan.

Sanusi, adakah kau simpan amarah itu? Kepada anakmu, Adek Suryono, dan adik iparnya Suginda, kini semua telunjuk menuding. Merekalah yang membiarkanmu terkapar hingga mati. Polisi telah pula menahan keduanya. Orang mengenang kembali kisah Malin Kundang. Juga mengutuk masyarakat Jakarta yang sudah kehilangan kepedulian bahkan kepada orang tua sepertimu.

Apa yang kau alami tak jauh berbeda dengan Supriono. Enam bulan lalu pemulung itu membopong mayat anaknya menyusuri jalan-jalan Ibu Kota karena tidak mampu membiayai penguburan si buah hati. Orang terkejut, lalu ramai-ramai menolongnya.

Kau tak lagi butuh pertolongan itu. Tak juga anakmu, yang kini meringkuk di balik terali besi. Tapi cerita tentangmu dan Supri menyiratkan betapa di negeri dengan birokrasi yang sengkarut seperti ini, orang seperti kalian hanyalah puntung rokok—kecil, tak berarti, terlalu remeh untuk diingat. Pasal dalam konstitusi yang kita hafal sejak sekolah dasar dulu kini terasa klise—”fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”.

Para pamong kota akan berkata, ini cuma soal koordinasi. Anakmu tak mengurus surat tanda miskin dan karena itu rumah sakit tak memberikan kemudahan. Asuransi kesehatan bagi rakyat miskin tak menjangkaumu.

Anakmu berkata bahwa ia enggan mendaftar sebagai warga miskin karena malas dengan tetek bengek birokrasi desa. Katakanlah ia bersalah, meski birokrasi desa kerap kali memang menjengkelkan. Tapi apakah dengan demikian kau layak diremehkan? Tak adakah mekanisme yang membuat kau tak harus mati nahas seperti itu?

Kemiskinan adalah pangkal dari semuanya. Dan kemiskinan tak semata-mata terkait dengan berapa banyak kekayaan yang dimiliki sebuah negeri. Tapi juga perihal bagaimana birokrasi negeri itu mengatur dan mendistribusikan harta kekayaan itu kepada warganya. Karena itu ketidakbecusan anakmu mengurusmu jauh lebih bisa dimaafkan ketimbang ketidakbecusan negara mengurus warganya—karena mereka sudah diberi perangkat dan kekuasaan.

Sanusi, di jazirah tempatmu kini tinggal, barangkali tak lagi kau simpan amarah itu. Tapi izinkanlah kami menyesali kematianmu yang bersahaja itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus