Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAWANAN Badrul Kamal dengan memperkarakan putusan Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi sah-sah saja. Adalah hak Badrul Kamal sebagai warga negara yang merasa dirugikan haknya berupaya melawan putusan itu. Dengan cara ini pula konstituennya juga akan tahu, ia telah menggunakan jalur yang tepat untuk memperoleh posisi yang diyakini sebagai miliknya: Wali Kota Depok.
Badrul merasa dirugikan dengan putusan MA yang ”menganulir” putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Sebelumnya Pengadilan Tinggi Jawa Barat, pada 4 Agustus 2005, menganulir keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok yang memenangkan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra dalam pemilihan langsung Wali Kota Depok pada 26 Juni 2005.
Pada 4 Agustus tahun lalu Pengadilan Tinggi Jawa Barat memenangkan gugatan Badrul. Yang membuat Nurmahmudi dan para anggota pendukungnya tak dapat menerima putusan pengadilan tinggi adalah dugaan bahwa putusan tadi dijatuhkan semata-mata didasarkan pada keterangan saksi-saksi yang diajukan Badrul serta asumsi atas bukti-bukti sumir di lapangan.
Putusan berdasarkan asumsi itu menyatakan ada 60 ribu pendukung Badrul yang dihalang-halangi hak pilihnya. Alhasil, 60 ribu suara yang ”hilang” itu ditambahkan ke perolehan suara Badrul. Wali Kota Depok periode 2000-2005 ini pun dinyatakan sebagai pemenang.
Sengketa pemilihan kepala daerah Depok ini kemudian merembet ke mana-mana. Di lapangan, massa Badrul dan Nurmahmudi silih berganti berunjuk rasa. Nurmahmudi mengadu ke Komisi Yudisial dan meminta ”lembaga penjaga martabat hakim” itu memeriksa majelis hakim yang mengadili kasusnya. Sementara itu KPUD Depok mengajukan kasasi dan meminta MA membatalkan putusan pengadilan tinggi.
Komisi Yudisial kemudian menyatakan hakim pengadilan tinggi tidak profesional menjalankan tugasnya. Komisi merekomendasikan Mahkamah Agung memberhentikan sementara ketua majelis hakim kasus Depok itu, Nana Juwana, sebagai hakim dan memberikan teguran kepada empat hakim anggotanya. Majelis hakim kasasi pimpinan Hakim Agung Paulus E. Lotulung mengabulkan kasasi KPUD Depok. Kini pelantikan Nurmahmudi tinggal menunggu waktu dari Departemen Dalam Negeri.
Inilah yang ditentang Badrul. Badrul meminta pelantikan itu ditunda selama Mahkamah Konstitusi belum memberikan suara atas putusan MA. Ada dua hal yang diminta uji material oleh Badrul kepada Mahkamah Konstitusi. Pertama, keputusan Mahkamah Agung yang dinilai bertentangan dengan UUD akan menjadi yurisprudensi, dan untuk itu perlu diuji karena dinilai sejajar atau lebih tinggi dari undang-undang.
Kedua, tentang Pasal 106 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan ”putusan pengadilan tinggi bersifat final” dalam memutus perkara sengketa pemilihan kepada daerah. Karena itu Badrul berkesimpulan, putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang itu. Badrul meminta Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sikapnya atas pelanggaran yang dilakukan MA.
Kita menyayangkan sikap 42 lurah Depok yang mengeluarkan pernyataan menolak putusan Mahkamah Agung dan meminta Presiden mengeluarkan SK pelantikan Badrul Kamal sebagai wali kota. Apa pun alasan para lurah, mereka seharusnya bersikap netral. Tidak memihak, apalagi membuat suasana semakin keruh.
Yang dirugikan oleh perseteruan berkepanjangan ini tentu saja masyarakat Depok. Kini sesama warga dan juga aparat akan saling curiga. Sementara itu program pembangunan tidak bisa berjalan karena Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus disahkan wali kota definitif.
Kekosongan Wali Kota Depok sebaiknya segera diselesaikan. Nurmahmudi segera dilantik. Apalagi Gubernur Jawa Barat dan DPRD Depok sudah meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengesahkan pengangkatan Nurmahmudi sebagai Wali Kota Depok. Dan jikapun kelak Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil, seyogyanya mempertimbangkan kepentingan yang esensial atas sikap Mahkamah Agung yang mengambil alih perkara sengketa Pilkada Depok, yaitu karena pengadilan tinggi dinilai melakukan pelanggaran secara nyata dan melampaui kewenangannya.
Agar masalah seperti ini tidak terulang, sebaiknya DPR segera merevisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu. Sejumlah aturan dan pasal yang berpotensi menjadi perdebatan diubah dan dibenahi. Sehingga, misalnya, akan jelas apa yang dimaksud ”keputusan final dan mengikat” menurut undang-undang itu.
Benar, kita memang belum banyak berpengalaman menyelenggarakan pemilihan kepada daerah secara langsung, termasuk cara mengatasi konflik. Kasus Depok ini bisa kita jadikan pelajaran penting untuk memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan semua peraturan yang berkaitan dengan pemilihan kepada daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo