ARUS kegiatan pembangunan, kalau dilihat dari mengalirnya dana
ke masyarakat sejak 1969, nampaknya seperti air bah. Bekasnya
juga kelihatan Tapi apa yang sesungguhnya dirasakan oleh
masyarakat, terutama kalangan rakyat jelata? Belum ada
penelitian yang bisa memberi keterangan tentang hal ini. Yang
jelas, pemerintah sendiri sekarang sedang memikirkan perubahan
pada GBHN 1978-1983.
Orientasi dan penggunaan ukuran pertumbuhan ekonomi dengan
konsep GNP misalnya, telah dilihat secara kritis. Dan
aspek-aspek lain pun ditambahkan. Misalnya: kesempatan kerja,
keadilan sosial dan perataan kemakmuran, partisipasi dan
motivasi masyarakat, pembinaan usaha golongan bumiputera,
nasionalisme pembangunan, pola hidup sederhana dan orientasi
pada kebudayaan nasional, pembangunan daerah pedesaan,
penyebaran industri dan kegiatan pembangunan ke daerah,
pencegahah urbanisasi dan perbaikan kampung di kota-kota besar
dan seterusnya. Tendensi pemikiran ini cukup memberi petunjuk
bahwa kalangan pemerintah pun sadar: ada penyakit dan
kepincangan sosial yang sedang tumbuh dalam proses pembangunan.
Kita ini sekarang memang sedang membangun. Tapi membiarkan
struktur sosial tidak berubah. Tentu saja dengan harapan --
seperti sering dikatakan oleh para tehnokrat -- bahwa dengan
berkembangnya ekonomi, akan terjadi perubahan strukturil dalam
masyarakat. Ini tentu berbeda dengan pandangan kaum sosialis.
Mereka memulai dengan perubahan sosial, kalau perlu dengan
revolusi, baru kemudian, dengan struktur yang lebih baru
memulai pembangunan ekonomi sambil terus-menerus melakukan
perubahan kemasyarakatan.
Kebijaksanaan pembangunan yang tidak begitu memandang faktor
struktur sosial sebagai variable (beberapa intelektuil malah
menganggap faktor ini sebagai parameter) memang bisa mengharap
bahwa arus kekuatan ekonomi akan bisa membawa perubahan dengan
tekanan yang kuat (mendekati sifat radikal). Namun pengalaman
selama beberapa tahun ini menunjukkan bahwa proses pembangunan
ini memperlihatkan dirinya justru pada arah yang memperkuat
struktur sosial yang ada. Maka di kalangan ahli ekonomi ada juga
yang mengajukan pertanyaan "nakal": apakah perkembangan ekonomi
selama ini menunjukkan gejala yang mengarah pada perubahan yang
beranjak menjauh dari struktur sosial-ekonomi kolonial?
Ekspor masih bertitik berat pada sektor ekstraktif dan bahan
mentah untuk negara industri. Dulu, sektor produksi dikuasai
oleh kekuatan ekonomi kolonial. Sekarang ini beralih ke modal
asing dan perusahaan multi nasional. Pengusaha pribumi masih
dianggap golongan ekonomi lemah, sedang non pribumi makin
menguasai segala sektor ekonomi: perdagangan, industri dan
jasa. Apa yang berkembang di Indonesia, persis digambarkan oleh
hasil strategi Dasawarsa Pembangunan ke-II PBB: yang maju makin
maju, sedang yang miskin tetap miskin, seperti diakui oleh Prof.
Subroto.
Indonesia memang menganut sistim ekonomi campuran. Menonjolnya
peranan pemerintah, mengambil ide sosialisme, tapi dasar-dasar
pemikiran dan politik ekonominya masih liberal, yaitu membiarkan
berpengaruhnya kekuatan pasar, walaupun ada intervensi di sana
sini. Sistim perbankan dan moneternya berdasarkan cara berfikir
"Barat" di mana pemberian kredit didasarkan pada "dalil 5 C".
Peranan perusahaan negara juga tidak diyakini kemampuannya,
sedangkan para petani diperlakukan seperti orang yang
berpendidikan seperti yang dilukiskan dalam asumsi buku teks
negeri-negeri maju. Dalam cara berfikir ini, maka yang lemah
diharuskan untuk mampu berkompetisi dengan yang kuat dan yang
memperoleh berbagai fasilitas preferensiil dan insentif. Kalau
tidak mampu harus nrimo, sebab mereka memang belum mampu untuk
berpartisipasi dalam pacuan pembangunan.
Tentu ada yang herfikir lain di Indonesia. Tapi marilah kita
lebih dulu menengok ke negara tetangga. Tendensi apakah yang
sedang terjadi di Pilipina? Kepada modal asing memang disajikan
berbagai insentif, tapi untuk menggarap sektor produksi yang
belum mampu dikerjakan oleh swasta nasional. Namun di samping
itu, industri kecil dan kerajinan rumah tangga didorong dan
dibantu sekuat tenaga. Kepada mereka disediakan (dengan prosedur
mudah) kredit dengan bunga 4% per tahun, tanpa jaminan, asal
sudah diketahui fisibilitasnya. Kepada yang lemah diberikan
pendidikan, latihan dan penyuluhan. Perusahaan tradisionil
dituntun dan diberi fasilitas untuk mekanisasi dan modernisasi.
Keringanan pajak diberikan dan berbagai insentif disediakan
pula. Ini semua dilakukan untuk menumbuhkan dan memperkuat usaha
kecil dan menengah, menciptakan lapangan kerja dan meratakan
pendapatan, juga untuk meningkatkan pendapatan dan devisa serta
produksi nasional. Sikap yang serupa untuk menumbuhkan sektor
ekonomi lemah, khususnya kalangan pribumi, juga dilakukan di
Malaysia.
Dalam menuju kepada perubahan strukturil, Dr. Mohammad Hatta
percaya pada kemampuan peranan perusahaan negara (seperti
dibuktikan pabrik semen Gresik dan Pusri) dan lembaga koperasi
untuk usaha kecil dan lemah. Untuk ini, sekali lagi, memang
tergantung dari kehendak politik pemerintah sendiri, tentu saja
dengan berbagai konsekwensinya. Jika memang ada kehendak dan
garis politik yang tegas dari pemerintah untuk melakukan
perobahan strukturil ke arah yang lebih berkeadilan sosial, maka
pemerintah harus berani pula meninjau berbagai aspek
kebijaksanaan dan perencanaan pembangunannya. Termasuk berani
menilai secara radikal peranan lembaga-lembaga pengembangan.
Peranan bank pemerintah (yang berfungsi membangun) misalnya,
perlu dinilai tidak semata-mata sebagai bank komersiil. Dengan
dukungan berbagai kegiatan pengembangan, maka usaha ini harus
diarahkan kepada jurusan yang memberi pengaruh pada perobahan
strukturil: meratakan pendapatan memperluas lapangan kerja,
membina pertumbuhan golongan ekonomi pribumi dan seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini