Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ke arah perobahan strukturil

Pemerintah harus meninjau berbagai aspek kebijaksanaan dan rencana pembangunan, jika ingin mengubah strukturil ke arah keadilan sosial. meratakan pendapatan, memperluas lapangan kerja, dsb.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARUS kegiatan pembangunan, kalau dilihat dari mengalirnya dana ke masyarakat sejak 1969, nampaknya seperti air bah. Bekasnya juga kelihatan Tapi apa yang sesungguhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama kalangan rakyat jelata? Belum ada penelitian yang bisa memberi keterangan tentang hal ini. Yang jelas, pemerintah sendiri sekarang sedang memikirkan perubahan pada GBHN 1978-1983. Orientasi dan penggunaan ukuran pertumbuhan ekonomi dengan konsep GNP misalnya, telah dilihat secara kritis. Dan aspek-aspek lain pun ditambahkan. Misalnya: kesempatan kerja, keadilan sosial dan perataan kemakmuran, partisipasi dan motivasi masyarakat, pembinaan usaha golongan bumiputera, nasionalisme pembangunan, pola hidup sederhana dan orientasi pada kebudayaan nasional, pembangunan daerah pedesaan, penyebaran industri dan kegiatan pembangunan ke daerah, pencegahah urbanisasi dan perbaikan kampung di kota-kota besar dan seterusnya. Tendensi pemikiran ini cukup memberi petunjuk bahwa kalangan pemerintah pun sadar: ada penyakit dan kepincangan sosial yang sedang tumbuh dalam proses pembangunan. Kita ini sekarang memang sedang membangun. Tapi membiarkan struktur sosial tidak berubah. Tentu saja dengan harapan -- seperti sering dikatakan oleh para tehnokrat -- bahwa dengan berkembangnya ekonomi, akan terjadi perubahan strukturil dalam masyarakat. Ini tentu berbeda dengan pandangan kaum sosialis. Mereka memulai dengan perubahan sosial, kalau perlu dengan revolusi, baru kemudian, dengan struktur yang lebih baru memulai pembangunan ekonomi sambil terus-menerus melakukan perubahan kemasyarakatan. Kebijaksanaan pembangunan yang tidak begitu memandang faktor struktur sosial sebagai variable (beberapa intelektuil malah menganggap faktor ini sebagai parameter) memang bisa mengharap bahwa arus kekuatan ekonomi akan bisa membawa perubahan dengan tekanan yang kuat (mendekati sifat radikal). Namun pengalaman selama beberapa tahun ini menunjukkan bahwa proses pembangunan ini memperlihatkan dirinya justru pada arah yang memperkuat struktur sosial yang ada. Maka di kalangan ahli ekonomi ada juga yang mengajukan pertanyaan "nakal": apakah perkembangan ekonomi selama ini menunjukkan gejala yang mengarah pada perubahan yang beranjak menjauh dari struktur sosial-ekonomi kolonial? Ekspor masih bertitik berat pada sektor ekstraktif dan bahan mentah untuk negara industri. Dulu, sektor produksi dikuasai oleh kekuatan ekonomi kolonial. Sekarang ini beralih ke modal asing dan perusahaan multi nasional. Pengusaha pribumi masih dianggap golongan ekonomi lemah, sedang non pribumi makin menguasai segala sektor ekonomi: perdagangan, industri dan jasa. Apa yang berkembang di Indonesia, persis digambarkan oleh hasil strategi Dasawarsa Pembangunan ke-II PBB: yang maju makin maju, sedang yang miskin tetap miskin, seperti diakui oleh Prof. Subroto. Indonesia memang menganut sistim ekonomi campuran. Menonjolnya peranan pemerintah, mengambil ide sosialisme, tapi dasar-dasar pemikiran dan politik ekonominya masih liberal, yaitu membiarkan berpengaruhnya kekuatan pasar, walaupun ada intervensi di sana sini. Sistim perbankan dan moneternya berdasarkan cara berfikir "Barat" di mana pemberian kredit didasarkan pada "dalil 5 C". Peranan perusahaan negara juga tidak diyakini kemampuannya, sedangkan para petani diperlakukan seperti orang yang berpendidikan seperti yang dilukiskan dalam asumsi buku teks negeri-negeri maju. Dalam cara berfikir ini, maka yang lemah diharuskan untuk mampu berkompetisi dengan yang kuat dan yang memperoleh berbagai fasilitas preferensiil dan insentif. Kalau tidak mampu harus nrimo, sebab mereka memang belum mampu untuk berpartisipasi dalam pacuan pembangunan. Tentu ada yang herfikir lain di Indonesia. Tapi marilah kita lebih dulu menengok ke negara tetangga. Tendensi apakah yang sedang terjadi di Pilipina? Kepada modal asing memang disajikan berbagai insentif, tapi untuk menggarap sektor produksi yang belum mampu dikerjakan oleh swasta nasional. Namun di samping itu, industri kecil dan kerajinan rumah tangga didorong dan dibantu sekuat tenaga. Kepada mereka disediakan (dengan prosedur mudah) kredit dengan bunga 4% per tahun, tanpa jaminan, asal sudah diketahui fisibilitasnya. Kepada yang lemah diberikan pendidikan, latihan dan penyuluhan. Perusahaan tradisionil dituntun dan diberi fasilitas untuk mekanisasi dan modernisasi. Keringanan pajak diberikan dan berbagai insentif disediakan pula. Ini semua dilakukan untuk menumbuhkan dan memperkuat usaha kecil dan menengah, menciptakan lapangan kerja dan meratakan pendapatan, juga untuk meningkatkan pendapatan dan devisa serta produksi nasional. Sikap yang serupa untuk menumbuhkan sektor ekonomi lemah, khususnya kalangan pribumi, juga dilakukan di Malaysia. Dalam menuju kepada perubahan strukturil, Dr. Mohammad Hatta percaya pada kemampuan peranan perusahaan negara (seperti dibuktikan pabrik semen Gresik dan Pusri) dan lembaga koperasi untuk usaha kecil dan lemah. Untuk ini, sekali lagi, memang tergantung dari kehendak politik pemerintah sendiri, tentu saja dengan berbagai konsekwensinya. Jika memang ada kehendak dan garis politik yang tegas dari pemerintah untuk melakukan perobahan strukturil ke arah yang lebih berkeadilan sosial, maka pemerintah harus berani pula meninjau berbagai aspek kebijaksanaan dan perencanaan pembangunannya. Termasuk berani menilai secara radikal peranan lembaga-lembaga pengembangan. Peranan bank pemerintah (yang berfungsi membangun) misalnya, perlu dinilai tidak semata-mata sebagai bank komersiil. Dengan dukungan berbagai kegiatan pengembangan, maka usaha ini harus diarahkan kepada jurusan yang memberi pengaruh pada perobahan strukturil: meratakan pendapatan memperluas lapangan kerja, membina pertumbuhan golongan ekonomi pribumi dan seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus