Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kebebasan Belum Terwujud

Pada abad ke-17 raja memerintah sewenang-wenang, rakyat terhimpun dalam Babad Tanah Jawi. Abad ke-19 Belanda berlaku kebapakan terwujud sebagai tanam paksa. Indonesia memasuki abad ke-20 tak punya apa-apa.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABAD ke-17. Mataram diperintah Amangkurat 1. Hampir semua catatan sejarah bercerita tentang kekejaman perang ini. "Bila ia merasa tak enak hati," kata para sejarawan Jawa yang dikutip Raffles dalam The History of Java, "ia selalu membunuh orang yang jadi sebab ketidak-senangannya." Ia pernah menghimpun 6.000 orang ulama beserta anak istri mereka, ke alun-alun. Kemudian, setelah isyarat meriam dibunyikan, mereka disembelih dalam waktu kurang dari 30 menit pernah memasukkan 60 pelayan dalam satu kamar gelap, dan membiarkan mereka di sana tanpa makan sampai mati -- karena marah ketika salah satu istri baginda meninggal. Dan ketika ia tahu putra mahkota mengambil seorang gadis dari simpanannya, Amangkurat pun menyuruh penggal semua yang terlibat, lalu menitahkan sang putra mahkota agar menikam sendiri wanita muda itu dalam pangkuan. Babad Tanah Jawi melukiskan suasana teror itu dengan kalimat-kalimat bersahaja, tapi ngerinya terasa. Orang se-Mataram ketakutan, demikian dikisahkan, dan hujan turun salah musim. Gempa menjadi-jadi dan bintang kemukus pun -- tanda malapetaka -- nampak di langit tiap hari jadi gelap. Rakyat itu telah ludes, dan raja bisa mengambil apa saja dari hidup mereka. Amangkurat I misalnya tak mengizinkan rakyatnya berlayar ke luar Mataram atau berdagang. Rijklof van Goens, orang Belanda yang tinggal untuk beberapa lama di dekat raja Mataram itu, pernah memberanikan diri menyarankan, agar baginda membiarkan "rakyatnya berlayar, menjadi kaya." Tapi jawab Amangkurat: "Rakyatku tak punya apa pun yang jadi milik mereka sendiri . . . ." *** ABAD ke-19. Inggris dengan Sir Stamford Raffles mengambil alih Jawa dan Maluku dari tangan Belanda di tahun 1811. Seperti banyak orang Eropa zaman itu, ia nampaknya yakin bahwa perdagangan bebas, kerja bebas dan produksi bebas merupakan gagasan yang luhur dan tepat. Ia ingin menjalankan suatu pemerintahan yang "liberal". Ia percaya kepada rakyat Jawa. Ia membantah bahwa mereka malas dan lamban. Lihatlah, tulis Raffles, jauhnya mereka mengolah tanah, sawah mereka yang elok, dan "persediaan panen mereka yang melimpah." Maka Raffles ingin agar petani pribumi itu dibiarkan bebas menentukan sendiri cara mereka menggunakan tenaga dan memilih jenis tanaman. Tapi hasil pemerintahan Raffles secara finansial gagal. Inggris sendiri kemudian mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda. Ketika garis "liberal" Raffles dicoba dilanjutkan oleh pejabat Belanda yang baru kebangkrutan hampir terjadi. Belanda kemudian mendatangkan J. van den Bosch. Juli 1829 orang keras ini tiba dengan dua juta gulden uang tunai dan dua juta lain dalam kredit. Ia yang pernah tinggal di "Hindia Timur" antara 1798-1810, punya gagasan jelas tentang bagaimana cara memerintah Jawa baginya secara intelektual rakyat Jawa tak tumbuh melebihi anak Belanda umur 12 tahun. Karena itu, kebebasan bagi mereka hanya absurd. "Pemerintah harus memelihara mereka, dan tak membiarkan mereka melakukan hal-hal untuk diri mereka sendiri," tulisnya dalam satu laporan di tahun 1830-an. Kita kemudian tahu apa yang dilahirkan dari sini. Niatnya untuk -- seperti dikatakannya sendiri -- "berlaku kebapakan" berwujud sebagai Tanam Paksa. Defisit anggaran memang berhasil ia atasi, bahkan surplus yang terkenal sebagai batige sloten terjadi. Tapi di Cirebon di tahun 1845 rakyat yang kelaparan pada tergeletak sepanjang jalan. Lalu Indonesia memasuki abad ke-20 tanpa satu lapisan masyarakat yang bisa memodali anak cucunya. Ludes, setelah dibisukan. **** ABAD ke-21. Bisakah Indonesia memasuki abad ini dengan sarat pengalaman? Rakyat tak lagi sepenuhnya ludes. Tapi ia belum sepenuhnya bebas bisu. Banyak hal diberikan kepada mereka. Tapi kemudian ternyata bahwa memberi belum berarti mengajak, apalagi menghormati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus