ABAD ke-17. Mataram diperintah Amangkurat 1. Hampir semua
catatan sejarah bercerita tentang kekejaman perang ini. "Bila
ia merasa tak enak hati," kata para sejarawan Jawa yang dikutip
Raffles dalam The History of Java, "ia selalu membunuh orang
yang jadi sebab ketidak-senangannya."
Ia pernah menghimpun 6.000 orang ulama beserta anak istri
mereka, ke alun-alun. Kemudian, setelah isyarat meriam
dibunyikan, mereka disembelih dalam waktu kurang dari 30 menit
pernah memasukkan 60 pelayan dalam satu kamar gelap, dan
membiarkan mereka di sana tanpa makan sampai mati -- karena
marah ketika salah satu istri baginda meninggal. Dan ketika ia
tahu putra mahkota mengambil seorang gadis dari simpanannya,
Amangkurat pun menyuruh penggal semua yang terlibat, lalu
menitahkan sang putra mahkota agar menikam sendiri wanita muda
itu dalam pangkuan.
Babad Tanah Jawi melukiskan suasana teror itu dengan
kalimat-kalimat bersahaja, tapi ngerinya terasa. Orang
se-Mataram ketakutan, demikian dikisahkan, dan hujan turun salah
musim. Gempa menjadi-jadi dan bintang kemukus pun -- tanda
malapetaka -- nampak di langit tiap hari jadi gelap.
Rakyat itu telah ludes, dan raja bisa mengambil apa saja dari
hidup mereka. Amangkurat I misalnya tak mengizinkan rakyatnya
berlayar ke luar Mataram atau berdagang. Rijklof van Goens,
orang Belanda yang tinggal untuk beberapa lama di dekat raja
Mataram itu, pernah memberanikan diri menyarankan, agar baginda
membiarkan "rakyatnya berlayar, menjadi kaya." Tapi jawab
Amangkurat: "Rakyatku tak punya apa pun yang jadi milik mereka
sendiri . . . ."
***
ABAD ke-19. Inggris dengan Sir Stamford Raffles mengambil alih
Jawa dan Maluku dari tangan Belanda di tahun 1811. Seperti
banyak orang Eropa zaman itu, ia nampaknya yakin bahwa
perdagangan bebas, kerja bebas dan produksi bebas merupakan
gagasan yang luhur dan tepat. Ia ingin menjalankan suatu
pemerintahan yang "liberal". Ia percaya kepada rakyat Jawa. Ia
membantah bahwa mereka malas dan lamban. Lihatlah, tulis
Raffles, jauhnya mereka mengolah tanah, sawah mereka yang elok,
dan "persediaan panen mereka yang melimpah." Maka Raffles ingin
agar petani pribumi itu dibiarkan bebas menentukan sendiri cara
mereka menggunakan tenaga dan memilih jenis tanaman.
Tapi hasil pemerintahan Raffles secara finansial gagal. Inggris
sendiri kemudian mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda.
Ketika garis "liberal" Raffles dicoba dilanjutkan oleh pejabat
Belanda yang baru kebangkrutan hampir terjadi.
Belanda kemudian mendatangkan J. van den Bosch. Juli 1829 orang
keras ini tiba dengan dua juta gulden uang tunai dan dua juta
lain dalam kredit. Ia yang pernah tinggal di "Hindia Timur"
antara 1798-1810, punya gagasan jelas tentang bagaimana cara
memerintah Jawa baginya secara intelektual rakyat Jawa tak
tumbuh melebihi anak Belanda umur 12 tahun. Karena itu,
kebebasan bagi mereka hanya absurd. "Pemerintah harus memelihara
mereka, dan tak membiarkan mereka melakukan hal-hal untuk diri
mereka sendiri," tulisnya dalam satu laporan di tahun 1830-an.
Kita kemudian tahu apa yang dilahirkan dari sini. Niatnya untuk
-- seperti dikatakannya sendiri -- "berlaku kebapakan" berwujud
sebagai Tanam Paksa. Defisit anggaran memang berhasil ia atasi,
bahkan surplus yang terkenal sebagai batige sloten terjadi. Tapi
di Cirebon di tahun 1845 rakyat yang kelaparan pada tergeletak
sepanjang jalan. Lalu Indonesia memasuki abad ke-20 tanpa satu
lapisan masyarakat yang bisa memodali anak cucunya. Ludes,
setelah dibisukan.
****
ABAD ke-21. Bisakah Indonesia memasuki abad ini dengan sarat
pengalaman? Rakyat tak lagi sepenuhnya ludes. Tapi ia belum
sepenuhnya bebas bisu. Banyak hal diberikan kepada mereka. Tapi
kemudian ternyata bahwa memberi belum berarti mengajak, apalagi
menghormati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini