Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bagaimana Menyuruh Angka Indonesia Thn'80 Siapa Yang Banyak...

Rapbn 1980/1981, ada yang menduga anggaran hankam turun & uang untuk departemen p & k naik, ada yang merencanakan inflasi & pengetatan kredit, pendapatan per kapita 300 dolar. (nas)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERUS terang, tak mudah membaca RAPBN. Buku "Nota Kuangan" untuk RAPBN yang kali ini punya tebal 448 halaman. Beratnya mungkin dua kilogram lebih. Di dalamnya ada 63 grafik, berwarna-warni. Lebih kurang menarik, ada 253 tabel. Bagaimana menyuruh angka-angka itu bicara kepada kita? Sabar, sabar, sabar. Sebab ternyata, angka-angka itu bisa memberi kesan berbeda-beda. Seorang wartawan harian ibukota misalnya mendapat kesan bahwa sektor pertahanan dan keamanan untuk 1980-81 bertambah kecil atau "turun" anggarannya. Suatu kesimpulan penting, tentu, apalagi bila dikaitkan dengan langkah Menhankam Jusuf. Maka esok paginya juru bicara Fraksi ABRI di DPR pun, Sumrahadi ditanya tentang hal yang amat penting itu. Tentu saja Sumrahadi tak memberi komentar -- sebab anggaran pembangunan untuk Hankam justru ternyata naik. Kesimpulan lain ialah bahwa sektor pendidikan kali ini mendapat anggaran terbesar. Benarkah? Benar -- jika yang dipergunakan ialah angka-angka rencana anggaran yang tak disertai uang bantuan luar negeri. Jika disertai dengan itu, seperti tercantum dalam buku Nota Keuangan sejak halaman 222-224, jelas bahwa sektor Pertanian yang dapat uang terbesar. Bahkan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, besarnya sektor Pendidikan nanti tidaklah luar biasa. Di tahun 1979-1980, sektor Pendidikan sudah merupakan 10,20% dari seluruh rencana anggaran. Kini sektor ini 11,42% (sekali lagi jika angka bantuan luar negeri dihitung). Dan bila buku tebal itu berbicara tentang "sektor Pendidikan", jangan tergesa-gesa pula bahwa itu berarti Departemen P&K di bawah Daoed Joesoef. Satu "sektor" dapat merupakan kegiatan pelbagai departemen. Bukankah Departemen Dalam Negeri misalnya menangani gaji guru SD dan juga punya lembaga pendidikan sendiri, seperti halnya departemen lain? Dari sektor yang nanti menelan Rp 516 milyar -- atau Rp 574 milyar termasuk bantuan luar negeri -- Departemen P&K, menurut Menteri Daoed Joesoef, hanya kebagian Rp 234 milyar atau 40,8% saja. Mana yang menjadi pegangan? Presiden Soeharto dala pidato RAPBN 1980/1981 menggunakan ukuran pembiayaan rupiah. Artinya, untuk mengukur pembangunan yang tercermin dari setiap sektor, Presiden memakai penerimaan yang berasal dari sumber-sumber di dalam negeri. Baik penerimaan minyak maupun yang non minyak. Cara perhitungan yang demikian memang lebih realistis. Anggaran pembangunan yang berasal dari penerimaan rupiah itu datang dari keringat sendiri. Sedang bantuan proyek dan kredit ekspor, yang dalam RAPBN 1980/1981 diperkirakan mencapai Rp 1,5 trilyun, datang dari kredit negara-negara "donor" (IGGI). Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam suatu kesempatan terbuka berkata, "praktis Rp 1,5 trilyun itu sudah ada di tangan." Maksud Menteri Keuangan, dana-dana dari luar negeri sudah pasti akan mengucur ke berbagai sektor pembangunan itu. Sebab dana-dana itu adalah hasil perundingan dari tahun-tahun sebelumnya di Amsterdam. Tapi ada yang kurang setuju kalau bantuan luar negeri dianggap sebagai penerimaan pembangunan Itu antara lain dikemukakan Dr Thee Kian-wie, ahli di Leknas. Menurut Thee, bantuan proyek itu bagaimanapun merupakan utang yang harus dibayar kembali. Kecuali yang berupa grant seperti dari Australia. "Utang luar negeri itu kan tak bisa dianggap sebagai prestasi," katanya. Pendapat lain juga terdengar dari DPR. Hamzah Haz, wakil ketua Komisi APBN, beranggapan bantuan proyek itu terlalu terikat dengan si pemberi bantuan. Dan kredit ekspor harus dibelanjakan di negara yang memberi kredit. Lain halnya dengan bantuan program, yang menurut Haz dapat diarahkan atau dimafaatkan menurut kebutuhan kita. Dalam bantuan proyek dari soal mencari tempat, tenaga, konsultan dan dana ditentukan oleh negara pemberi pinjaman," katanya. Ukuran kemajuan memang berbeda-beda. Itu juga terlihat dari kenaikan masing-masing sektor secara absolut dalam setiap RAPBN. Untuk gampangnya ambillah perbandingan antara tiga RAPBN. Setiap RAPBN mewakili tahun pertama masing-masing Pelita. Dalam persentase kelihatan terjadi lonjakan yang luar biasa (160%) di sektor pertanian dan pengairan antara RAPBN 1974/1975 dengan 1975/1976. Sedang antara RAPBN 1979/1980 dengan RAPBN yang akan berlaku mulai 1 April nanti, sektor tersebut naik 76%. Di sektor perhubungan dan pariwisata, kenaikan yang hebat malah terjadi antara 1969/1970 dengan 1970/1971. Sedang sektor industri, tadinya naik tak kepalang tanggung (371%) malah menurun antara 1979/1980 dengan 1980/1981. Sektor Hankamnas dalam periode yang sama naik 52% (lihat grafik). Ukuran kemajuan biasanya juga dilakukan lewat perbandingan Produk Domestik Bruto (GDP). Dibandingkan dengan GDP, maka seluruh pengeluaran pemerintah yang mencapai Rp 10,5 trilyun itu, menurut pihak Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-UI), mencapai sekitar 25%. Prof. Dr. Sadli dalam artikelnya di Kompas sependapat dengan perkiraan itu. Kalau benar demikian, maka luar biasa besarnya Pendapatan Nasional alias GDP Indonesia dalam RAPBN 1980/1981 ini sekitar Rp 40 trilyun. Tapi orang jangan silau. Perhitungan Pendapatan Nasional itu dilakukan atas dasar harga tetap tahun 1973. Ada juga yang menghitung atas dasar harga yang berlaku, dengan memasukkan beberapa faktor penting seperti tingkat inflasi. Dari data-data BPS yang diolah TEMPO, Pendapatan Nasional diperkirakan akan mencapai Rp 33 trilyun lebih. Maka pengeluaran yang Rp 10,5 trilyun merupakan sekitar 33% dari Pendapatan Nasional (lihat grafik I). Ada lagi cara lain, yang agaknya jarang dipakai orang. Yakni dengan melihat besarnya perhatian yang diberikan pemerintah. Ini bisa dilihat dengan membandingkan setiap sektor dengan jumlah total anggaran pembangunan. Kalau ini yang dipakai untuk mengukur kemajuan, nampaknya perhatian pada sektor industri berkurang dalam RAPBN 1980/1981. Di sektor perhubungan perhatian kurang lebih seimbang, antara RAPBN yang masih berjalan dan yang akan datang. Dengan catatan sub-sektor perhubungan udara akan lebih banyak diperhatikan. Perhatian pada sektor hukum juga bertambah. Ini kabarnya sejalan dengan yang digariskan dalam GBHN. Tapi yang juga mengesankan adalah menaiknya porsi perhatian pada sektor dunia usaha. (grafik II). Tapi mengapa sektor industri menurun, baik secara absolut maupun tekanan perhatian? Menteri Perindustrian AR Soehoed, yang pekan lalu berkeliling meninjau kegiatan industri kecil di Sulawesi Utara dan Bali, mencoba menjelaskan. Karya perindustrian, menurut dia, bukan produk langsung dari anggaran pembangunan, seperti halnya PU atau perhubungan. Tapi lebih mencerminkan suatu sistem yang mampu membina dan mengembangkan industri. "Jadi andaikata industri mau dinaikkan dalam suatu tingkat seperti tahun lalu, yah mau dibikin apa uang itu?", katanya. Tugas departemen industri, sambungnya lagi, lebih bersifat administratip. Jadi bukan berarti mendirikan prasarana fisik. Contohnya? Mini estate yang menurut Soehoed akan mendapat perhatian cukup besar. Harap dicatat, kegiatan itu sama sekali tak ada persamaan dengan mendirikan kawasan industri seperti di Pulo Gadung, Jakarta. Tapi menurut Menteri Perindustrian, pada dasarnya merupakan suatu pusat pelayanan (service centre), untuk membina dan mengembangkan industri kecil. Adapun membesarnya perhatian pada sektor hukum, Menteri Kehakiman Moedjono, di tengah kesibukannya pekan lalu, memberi sedikit komentar kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Anggaran sektor hukum yang Rp 52 milyar itu memang bukan cuma untuk departemennya. Tapi juga disalurkan ke Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. "Ini masih jauh di bawah anggaran yang saya ajukan," kata Moedjono yang merasa belum sempat memperinci lebih jauh. Berbeda dengan perusahaan swasta umumnya, perusahaan-perusahaan negara akan mendapat suntikan tambahan modal yang cukup besar. Itu akan datang dari sektor pengembangan dunia usaha, yang ternyata sedikit hubungannya dengan pengembangan swasta. Sebagian memang akan disalurkan untuk memperluas kredit candak-kulak. Tapi sebagian besar dari sektor tersebut, yang tanpa bantuan proyek dan kredit ekspor nyaris mencapai Rp 144 milyar, akan dinikmati oleh perusahaan galangan kapal milik TNI-AL di Surabaya, PT Nurtanio dan PT Proyek Pengembangan Pulau Batam (lihat wawancara dengan Menteri Sumarlin). Selain ketiga proyek usaha yang dihlahkan oleh Menteri B.J. Habibie, sektor pengembangan dunia usaha itu juga meliputi bantuan permodalan untuk PT Krakatau Steel, PT Inalum (proyek Asahan) dan PT Pusri. Pemerintah, seperti kelihatan dalam buku "Nota Keuangan" dan RAPBN ini, memang banyak duitnya. Tapi penerimaan yang diharapkan bisa mencapai Rp 10,5 trilyun, sebagian besar akan masuk dari petrodollar. Karena uang minyak diperoleh dalam dollar, dus dari luar negeri, ada pandangan yang menganggap penerimaan dari minyak itu sebetulnya bukan penerimaan rupiah. Maka untuk menghitung anggaran belanja rupiah yang sebenarnya, penerimaan dari minyak yang Rp 6,4 trilyun dan bantuan luar negeri yang Rp 1,5 trilyun sebenarnya harus disisihkan. Kalau pemerintah mau memakai perhitungan itu, seperti kata Mohammad Sadli, "anggaran belanja rupiah sebetulnya defisit, dan ini adalah sangat inflatoar." Bahaya inflasi juga akan didorong oleh pos belanja pegawai yang naik dengan 43,32% dari pengeluaran rutin yang berjumlah Rp 2.371,6 milyar. Mulai 1 April gaji pegawai negeri jelas naik. Sedang produktivitas kerja diperkirakan akan sama saja (lihat Suka Duka). Bisa diduga banyak kantor swasta akan terdorong untuk ikut menaikkan gaji karyawannya, sejalan dengan kenaikan gaji pegawai negeri. Tapi itu belum cukup untuk menyuntik produksi nasional naik. Efek pemerataan pendapatan itu baru bisa terasa kalau bagian terbesar dari masyarakat yang tak berpenghasilan tetap, seperti kaum tani, ikut didongkrak. Itu sebabnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi pupuk, menaikkan harga dasar gabah setiap kali selesai musim tanam, membantu usaha swasta kecil sperti candak-kulak dan kredit mini. TAPI yang agaknya ditunggu-tunggu para pengusaha adalah dilonggarkannya kran kredit, yang setelah Kenop 15 itu makin terasa ketat efeknya. Ternyata yang ditunggu-tunggu itu belum bisa dipenuhi pemerintah. Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh beberapa hari lalu sudah menyatakan, BI akan tetap menjalankan kredit secara amat selektif. Maksudnya tak lain adalah untuk menjaga agar tingkat inflasi, yang tahun ini diperkirakan akan cukup besar, masih bisa terkendali. Tentu saja ada kerisauan bahwa ini bisa mengurangi gairah investasi -- dan dengan kata lain, juga penyediaan lapangan kerja, suatu masalah pemerataan. Tapi bicara soal pemerataan, ada satu soal dasar yang tak boleh dilupakan peranan pajak langsung dibandingkan dengan pajak tak langsung masih pincang, yakni 75%:25%. Ada yang menilai itu belum menunjukkan kemauan untuk menarik pajak dari si kaya. Sementara itu, uang memang banyak beredar di Jakarta. Suatu studi yang dibuat Sjamsuddin Mahmud dari Universitas Syiah Kuala di Aceh (197) menyimpulkan 60% dari suplai uang berputar di Jakarta. Tapi di balik gemerlapannya kota Jakarta, di kampung-kampung dan emper-emper, toh terasa banyak manusia yang menganggur. Jalan memang masih panjang. Dalam laporan Bank Dunia 1979, Indonesia dinyatakah sudah mencapai pendapatan per kapita US$300. Berarti US$140 lebih banyak dari India. Kenaikan ini, terutama karena pengaruh uang minyak belum dengan sendirinya mencerminkan produktivitas di Indonesia yang lebih tinggi dari India. Uang minyak memang rahmat, tapi juga bisa bikin silau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus