TERUS terang, tak mudah membaca RAPBN. Buku "Nota Kuangan"
untuk RAPBN yang kali ini punya tebal 448 halaman. Beratnya
mungkin dua kilogram lebih. Di dalamnya ada 63 grafik,
berwarna-warni. Lebih kurang menarik, ada 253 tabel.
Bagaimana menyuruh angka-angka itu bicara kepada kita?
Sabar, sabar, sabar. Sebab ternyata, angka-angka itu bisa
memberi kesan berbeda-beda. Seorang wartawan harian ibukota
misalnya mendapat kesan bahwa sektor pertahanan dan keamanan
untuk 1980-81 bertambah kecil atau "turun" anggarannya. Suatu
kesimpulan penting, tentu, apalagi bila dikaitkan dengan langkah
Menhankam Jusuf. Maka esok paginya juru bicara Fraksi ABRI di
DPR pun, Sumrahadi ditanya tentang hal yang amat penting itu.
Tentu saja Sumrahadi tak memberi komentar -- sebab anggaran
pembangunan untuk Hankam justru ternyata naik.
Kesimpulan lain ialah bahwa sektor pendidikan kali ini mendapat
anggaran terbesar. Benarkah? Benar -- jika yang dipergunakan
ialah angka-angka rencana anggaran yang tak disertai uang
bantuan luar negeri. Jika disertai dengan itu, seperti tercantum
dalam buku Nota Keuangan sejak halaman 222-224, jelas bahwa
sektor Pertanian yang dapat uang terbesar. Bahkan jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, besarnya sektor Pendidikan
nanti tidaklah luar biasa. Di tahun 1979-1980, sektor Pendidikan
sudah merupakan 10,20% dari seluruh rencana anggaran. Kini
sektor ini 11,42% (sekali lagi jika angka bantuan luar negeri
dihitung).
Dan bila buku tebal itu berbicara tentang "sektor Pendidikan",
jangan tergesa-gesa pula bahwa itu berarti Departemen P&K di
bawah Daoed Joesoef. Satu "sektor" dapat merupakan kegiatan
pelbagai departemen. Bukankah Departemen Dalam Negeri misalnya
menangani gaji guru SD dan juga punya lembaga pendidikan
sendiri, seperti halnya departemen lain?
Dari sektor yang nanti menelan Rp 516 milyar -- atau Rp 574
milyar termasuk bantuan luar negeri -- Departemen P&K, menurut
Menteri Daoed Joesoef, hanya kebagian Rp 234 milyar atau 40,8%
saja.
Mana yang menjadi pegangan? Presiden Soeharto dala pidato RAPBN
1980/1981 menggunakan ukuran pembiayaan rupiah. Artinya, untuk
mengukur pembangunan yang tercermin dari setiap sektor, Presiden
memakai penerimaan yang berasal dari sumber-sumber di dalam
negeri. Baik penerimaan minyak maupun yang non minyak.
Cara perhitungan yang demikian memang lebih realistis. Anggaran
pembangunan yang berasal dari penerimaan rupiah itu datang dari
keringat sendiri. Sedang bantuan proyek dan kredit ekspor, yang
dalam RAPBN 1980/1981 diperkirakan mencapai Rp 1,5 trilyun,
datang dari kredit negara-negara "donor" (IGGI).
Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam suatu kesempatan terbuka
berkata, "praktis Rp 1,5 trilyun itu sudah ada di tangan."
Maksud Menteri Keuangan, dana-dana dari luar negeri sudah pasti
akan mengucur ke berbagai sektor pembangunan itu. Sebab
dana-dana itu adalah hasil perundingan dari tahun-tahun
sebelumnya di Amsterdam.
Tapi ada yang kurang setuju kalau bantuan luar negeri dianggap
sebagai penerimaan pembangunan Itu antara lain dikemukakan Dr
Thee Kian-wie, ahli di Leknas. Menurut Thee, bantuan proyek itu
bagaimanapun merupakan utang yang harus dibayar kembali. Kecuali
yang berupa grant seperti dari Australia. "Utang luar negeri itu
kan tak bisa dianggap sebagai prestasi," katanya.
Pendapat lain juga terdengar dari DPR. Hamzah Haz, wakil ketua
Komisi APBN, beranggapan bantuan proyek itu terlalu terikat
dengan si pemberi bantuan. Dan kredit ekspor harus dibelanjakan
di negara yang memberi kredit. Lain halnya dengan bantuan
program, yang menurut Haz dapat diarahkan atau dimafaatkan
menurut kebutuhan kita. Dalam bantuan proyek dari soal mencari
tempat, tenaga, konsultan dan dana ditentukan oleh negara
pemberi pinjaman," katanya.
Ukuran kemajuan memang berbeda-beda. Itu juga terlihat dari
kenaikan masing-masing sektor secara absolut dalam setiap
RAPBN. Untuk gampangnya ambillah perbandingan antara tiga RAPBN.
Setiap RAPBN mewakili tahun pertama masing-masing Pelita. Dalam
persentase kelihatan terjadi lonjakan yang luar biasa (160%) di
sektor pertanian dan pengairan antara RAPBN 1974/1975 dengan
1975/1976. Sedang antara RAPBN 1979/1980 dengan RAPBN yang
akan berlaku mulai 1 April nanti, sektor tersebut naik 76%.
Di sektor perhubungan dan pariwisata, kenaikan yang hebat malah
terjadi antara 1969/1970 dengan 1970/1971. Sedang sektor
industri, tadinya naik tak kepalang tanggung (371%) malah
menurun antara 1979/1980 dengan 1980/1981. Sektor Hankamnas
dalam periode yang sama naik 52% (lihat grafik).
Ukuran kemajuan biasanya juga dilakukan lewat perbandingan
Produk Domestik Bruto (GDP). Dibandingkan dengan GDP, maka
seluruh pengeluaran pemerintah yang mencapai Rp 10,5 trilyun
itu, menurut pihak Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM-UI), mencapai sekitar 25%. Prof. Dr. Sadli dalam
artikelnya di Kompas sependapat dengan perkiraan itu. Kalau
benar demikian, maka luar biasa besarnya Pendapatan Nasional
alias GDP Indonesia dalam RAPBN 1980/1981 ini sekitar Rp 40
trilyun.
Tapi orang jangan silau. Perhitungan Pendapatan Nasional itu
dilakukan atas dasar harga tetap tahun 1973. Ada juga yang
menghitung atas dasar harga yang berlaku, dengan memasukkan
beberapa faktor penting seperti tingkat inflasi. Dari data-data
BPS yang diolah TEMPO, Pendapatan Nasional diperkirakan akan
mencapai Rp 33 trilyun lebih. Maka pengeluaran yang Rp 10,5
trilyun merupakan sekitar 33% dari Pendapatan Nasional (lihat
grafik I).
Ada lagi cara lain, yang agaknya jarang dipakai orang. Yakni
dengan melihat besarnya perhatian yang diberikan pemerintah. Ini
bisa dilihat dengan membandingkan setiap sektor dengan jumlah
total anggaran pembangunan. Kalau ini yang dipakai untuk
mengukur kemajuan, nampaknya perhatian pada sektor industri
berkurang dalam RAPBN 1980/1981. Di sektor perhubungan perhatian
kurang lebih seimbang, antara RAPBN yang masih berjalan dan
yang akan datang. Dengan catatan sub-sektor perhubungan udara
akan lebih banyak diperhatikan.
Perhatian pada sektor hukum juga bertambah. Ini kabarnya sejalan
dengan yang digariskan dalam GBHN. Tapi yang juga mengesankan
adalah menaiknya porsi perhatian pada sektor dunia usaha.
(grafik II).
Tapi mengapa sektor industri menurun, baik secara absolut maupun
tekanan perhatian? Menteri Perindustrian AR Soehoed, yang pekan
lalu berkeliling meninjau kegiatan industri kecil di Sulawesi
Utara dan Bali, mencoba menjelaskan. Karya perindustrian,
menurut dia, bukan produk langsung dari anggaran pembangunan,
seperti halnya PU atau perhubungan. Tapi lebih mencerminkan
suatu sistem yang mampu membina dan mengembangkan industri.
"Jadi andaikata industri mau dinaikkan dalam suatu tingkat
seperti tahun lalu, yah mau dibikin apa uang itu?", katanya.
Tugas departemen industri, sambungnya lagi, lebih bersifat
administratip. Jadi bukan berarti mendirikan prasarana fisik.
Contohnya? Mini estate yang menurut Soehoed akan mendapat
perhatian cukup besar. Harap dicatat, kegiatan itu sama sekali
tak ada persamaan dengan mendirikan kawasan industri seperti di
Pulo Gadung, Jakarta. Tapi menurut Menteri Perindustrian, pada
dasarnya merupakan suatu pusat pelayanan (service centre), untuk
membina dan mengembangkan industri kecil.
Adapun membesarnya perhatian pada sektor hukum, Menteri
Kehakiman Moedjono, di tengah kesibukannya pekan lalu, memberi
sedikit komentar kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Anggaran sektor
hukum yang Rp 52 milyar itu memang bukan cuma untuk
departemennya. Tapi juga disalurkan ke Kejaksaan Agung dan
Mahkamah Agung. "Ini masih jauh di bawah anggaran yang saya
ajukan," kata Moedjono yang merasa belum sempat memperinci lebih
jauh.
Berbeda dengan perusahaan swasta umumnya, perusahaan-perusahaan
negara akan mendapat suntikan tambahan modal yang cukup besar.
Itu akan datang dari sektor pengembangan dunia usaha, yang
ternyata sedikit hubungannya dengan pengembangan swasta.
Sebagian memang akan disalurkan untuk memperluas kredit
candak-kulak. Tapi sebagian besar dari sektor tersebut, yang
tanpa bantuan proyek dan kredit ekspor nyaris mencapai Rp 144
milyar, akan dinikmati oleh perusahaan galangan kapal milik
TNI-AL di Surabaya, PT Nurtanio dan PT Proyek Pengembangan Pulau
Batam (lihat wawancara dengan Menteri Sumarlin).
Selain ketiga proyek usaha yang dihlahkan oleh Menteri B.J.
Habibie, sektor pengembangan dunia usaha itu juga meliputi
bantuan permodalan untuk PT Krakatau Steel, PT Inalum (proyek
Asahan) dan PT Pusri.
Pemerintah, seperti kelihatan dalam buku "Nota Keuangan" dan
RAPBN ini, memang banyak duitnya. Tapi penerimaan yang
diharapkan bisa mencapai Rp 10,5 trilyun, sebagian besar akan
masuk dari petrodollar. Karena uang minyak diperoleh dalam
dollar, dus dari luar negeri, ada pandangan yang menganggap
penerimaan dari minyak itu sebetulnya bukan penerimaan rupiah.
Maka untuk menghitung anggaran belanja rupiah yang sebenarnya,
penerimaan dari minyak yang Rp 6,4 trilyun dan bantuan luar
negeri yang Rp 1,5 trilyun sebenarnya harus disisihkan. Kalau
pemerintah mau memakai perhitungan itu, seperti kata Mohammad
Sadli, "anggaran belanja rupiah sebetulnya defisit, dan ini
adalah sangat inflatoar."
Bahaya inflasi juga akan didorong oleh pos belanja pegawai yang
naik dengan 43,32% dari pengeluaran rutin yang berjumlah Rp
2.371,6 milyar. Mulai 1 April gaji pegawai negeri jelas naik.
Sedang produktivitas kerja diperkirakan akan sama saja (lihat
Suka Duka). Bisa diduga banyak kantor swasta akan terdorong
untuk ikut menaikkan gaji karyawannya, sejalan dengan kenaikan
gaji pegawai negeri.
Tapi itu belum cukup untuk menyuntik produksi nasional naik.
Efek pemerataan pendapatan itu baru bisa terasa kalau bagian
terbesar dari masyarakat yang tak berpenghasilan tetap, seperti
kaum tani, ikut didongkrak. Itu sebabnya pemerintah tetap akan
memberikan subsidi pupuk, menaikkan harga dasar gabah setiap
kali selesai musim tanam, membantu usaha swasta kecil sperti
candak-kulak dan kredit mini.
TAPI yang agaknya ditunggu-tunggu para pengusaha adalah
dilonggarkannya kran kredit, yang setelah Kenop 15 itu makin
terasa ketat efeknya. Ternyata yang ditunggu-tunggu itu belum
bisa dipenuhi pemerintah. Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh
beberapa hari lalu sudah menyatakan, BI akan tetap menjalankan
kredit secara amat selektif. Maksudnya tak lain adalah untuk
menjaga agar tingkat inflasi, yang tahun ini diperkirakan akan
cukup besar, masih bisa terkendali. Tentu saja ada kerisauan
bahwa ini bisa mengurangi gairah investasi -- dan dengan kata
lain, juga penyediaan lapangan kerja, suatu masalah pemerataan.
Tapi bicara soal pemerataan, ada satu soal dasar yang tak boleh
dilupakan peranan pajak langsung dibandingkan dengan pajak tak
langsung masih pincang, yakni 75%:25%. Ada yang menilai itu
belum menunjukkan kemauan untuk menarik pajak dari si kaya.
Sementara itu, uang memang banyak beredar di Jakarta. Suatu
studi yang dibuat Sjamsuddin Mahmud dari Universitas Syiah Kuala
di Aceh (197) menyimpulkan 60% dari suplai uang berputar di
Jakarta. Tapi di balik gemerlapannya kota Jakarta, di
kampung-kampung dan emper-emper, toh terasa banyak manusia yang
menganggur.
Jalan memang masih panjang. Dalam laporan Bank Dunia 1979,
Indonesia dinyatakah sudah mencapai pendapatan per kapita
US$300. Berarti US$140 lebih banyak dari India. Kenaikan ini,
terutama karena pengaruh uang minyak belum dengan sendirinya
mencerminkan produktivitas di Indonesia yang lebih tinggi dari
India. Uang minyak memang rahmat, tapi juga bisa bikin silau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini