Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kepala kita, tanpa kita sadari, kadang-kadang tumbuh sesuatu yang perkasa, bernama Kebenaran. Ia tak tergerak oleh segala yang berubah, yang mengalir, mekar, mengeriput, atau merosot. Ia mantap. Kita mungkin merasa aman, tapi rasanya kita tak bisa hidup terus-menerus dengan itu.
Saya ingat sebuah sajak Yehuda Amichai:
Dari tempat di mana kita benar
kembang tak pernah tumbuh
di musim semi
Tempat di mana kita benar
keras dan dipadatkan.
Seperti pekarangan.
Tapi keraguan dan cinta
menggemburkan bumi, seperti tikus tanah
seperti bajak.
dan ada bisik yang akan terdengar di tempat ini
di celah-celah
puing rumah
Dalam posisi sebagai "kita-yang-benar", bisa terjadi sesuatu yang represif: kita jadi subyek yang menguasai persoalan sepenuhnya-subyek yang tegak, keras, dan tegar. "Kebenaran" dalam kepala kita tak hendak meluangkan yang lain berkembang sendiri. Ia bahkan tak boleh terganggu sekuntum bunga yang mendadak mengorak. Musim boleh berganti, tapi tak dimungkinkan mengubah susunan yang tetap.
"Kebenaran" yang mengeras di kepala kita akhirnya sebuah konstruksi yang harus dibikin padat padu, "keras dan dipadatkan". Ia tak akan punya kejutan. Semua ditata di permukaan yang datar, mengikuti pagar dan petak pekarangan yang persis dan sempurna.
Tapi selalu ada sesuatu yang lain. Dalam sajak Amichai, yang lain itu adalah "keraguan dan cinta". Keraguan bisa membuat kita seperti tanah gembur yang lunak, tak liat dan konsisten. Dan ketika cinta merasuki kita, kita seakan-akan mendapat semacam kekuatan tersembunyi yang tak bisa tunduk bahkan kepada dalil-dalil "Kebenaran". Cinta menyelamatkan kita dari penyempitan hidup yang hanya disederhanakan jadi ruang "salah" dan "benar". Cinta memperkukuh kita di tengah keganasan antagonisme.
"Dan ada bisik yang akan terdengar di tempat ini/ di celah-celah puing rumah." Bisik itu mengingatkan: pernah ada sebuah bangunan damai yang hancur, ketika kita bersikeras bahwa kita dalam "Kebenaran"-dan menutup pintu bagi orang lain yang tak mau mufakat.
Mungkin Amichai (ia seorang penyair Israel) terlampau lama mengalami perang dalam hidupnya-perang yang masing-masing petarungnya tak mengizinkan keraguan datang dan cinta menginterupsi. Mungkin kedua belah pihak tak bisa lain. Dalam permusuhan sesengit itu, posisi dan klaim kebenaran bisa sangat mengeras, menajam, membuahkan sikap agresif: "Kebenaranku absolut, dan pasti dibenarkan siapa saja."
Aneh, sebenarnya. Ketika permusuhan membelah kehidupan jadi "kami" dan "mereka", masing-masing bergerak dengan militan justru karena meyakini "Kebenaran" dalam "kami" adalah Kebenaran yang universal-Kebenaran yang juga diterima "mereka" dan untuk "mereka".
Mungkin ini salah satu corak perang modern: saling menghancurkan dengan pembenaran ideologi. Tapi juga ini menegaskan bahwa "kebenaran" belum hilang dari percakapan. Juga sifat universalnya.
Ketika Indonesia baru saja berhasil merebut kemerdekaan nasionalnya, pada 1945, para perumus konstitusinya menulis, sebagai kalimat pembuka, bahwa kemerdekaan adalah "hak segala bangsa". Mukadimah ini tak hanya merayakan kemerdekaan sendiri. Pembebasan itu tak sepihak. Ada sesuatu yang lebih luhur dalam tujuan perjuangan ketimbang sekadar memenuhi kepentingan sendiri. Kian bernilai dan berarti perjuangan kemerdekaan, kian keras pula usaha di dalamnya. "Kami" tak sendiri. Bahkan dengan "mereka", dengan musuh, "kami" bisa berbagi beberapa nilai yang universal.
Tapi adakah nilai yang universal? Tidakkah, seperti diungkapkan para pemikir pascamodern, apa yang diasumsikan sebagai "universal" ternyata hanya nilai Eropa yang diterima di mana-mana karena hegemoni berabad-abad? Bersama para pemikir pascamodern, kita bertemu lagi dengan Perspektivismus Nietzsche: Kebenaran selamanya dirumuskan dan diterima dalam tempat, sejarah, kebudayaan tertentu.
Sajak Amichai tampaknya bertolak dari Perspektivisme ini. "Dari tempat di mana kita benar...." Kita "benar" bukan di luar ruang dan waktu. Di kepala kita tak ada sabda dewa langit. Lagi pula ada "keraguan dan cinta" yang membuat kita manusiawi kembali.
Ada kerendah-hatian dalam sajak Amichai. Tapi suka atau tak suka, kita hidup di zaman digital yang langsung menyaksikan kekejaman atas nama Tuhan (yang tak kenal sejarah) dan arus keserakahan modal dan manusia (yang tak kenal perbatasan). Menghadapi itu, apa jadinya jika yang kita miliki hanya "Kebenaran" yang terbatas pada perspektif sendiri?
Keraguan membuat kita manusia kembali, di atas tanah yang gembur. Tapi mungkin cinta akan membuat kita tak akan kalah dikepung globalisasi fanatisme dan kerakusan: "Cinta itu seperti gudang penyimpan kebaikan hati dan kenikmatan," kata Amichai, "seperti lumbung gandum dan tangki air ketika kota dikepung."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo