Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABU Ghuraib, sesungguhnya, bukanlah sebuah pengecualian. Ketika rekaman pelecehan kemanusiaan di penjara raksasa itu mencapai publik, tiga pekan lalu, yang terguncang tak cuma rasa keadilan. Lebih pahit dari itu adalah kenyataan betapa Gedung Putih berusaha menutupi berita busuk ini. Kejahatanapalagi yang dilakukan oleh sebuah mesin perang negara besarbiasanya memang bersahabat karib dengan konspirasi.
Untunglah, cuma dua minggu Kepala Staf Gabungan Amerika, Jenderal Richard Myers, berhasil membungkam stasiun televisi CBS agar tak menayangkan rekaman "cabul" itu pada acara 60 Minutes II. Setelah majalah New Yorker lebih dulu mempublikasi, Myers juga tak berdaya. Ia lalu muncul dalam wawancara berita pagi, hanya untuk mengatakan belum membaca laporan Mayor Jenderal Antonio Taguba yang menggemparkan itu.
Menarik disimak "celetukan" Menteri Luar Negeri Colin L. Powell, yang membandingkan skandal di Abu Ghuraib dengan My Lai Massacre, 1968. Ketika itu, pada suatu pagi yang sejuk 16 Maret, Brigade ke-11 Divisi Amerika menyerbu Dusun My Lai di pedalaman Vietnam Selatan, hanya untuk membantai lebih dari 300 penduduk sipil tak bersenjata.
Sebagian di antara korban adalah anak-anak, wanita, dan orang tua. Tak satu pun korban berusaha melawan. Seorang lelaki tuamenurut saksi matadiburaikan isi perutnya dengan bayonet. Seorang bocah dipecahkan kepalanya dengan gagang senapan. Paling tidak seorang gadis diperkosa sebelum akhirnya dibunuh juga. Letnan William Calley, pemimpin pasukan amuk itu, memang memerintahkan anak buahnya menumpas seisi desa.
Pentagon dan Gedung Putih sukses memendam kisah kebiadaban itu hingga November 1969. Tapi, ketika seorang jurnalis, Seymour Hersh, berhasil mencapai sejumlah saksi hidup, termasuk veteran Perang Vietnam, bau busuk tak bisa dicegah meruap ke mana-mana. Bahkan jauh setelah Amerika terusir dari lumpur Vietnam, 1975, pembantaian di My Lai tetap menjadi lembaran hitam yang tak mungkin dibasuh.
Dan kini Irak, Abu Ghuraib. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dengan tabah masih berani mengatakan bahwa penganiayaan di Abu Ghuraib "secara teknis" berbeda dengan penyiksaan. Penjelasan ini sangat masuk akal jika penyerbuan tentara Amerika dan para sekutunya ke Irak, Maret 2003, "secara teknis" berbeda dengan invasi. Secara faktual, bahkan umat Syiah yang tadinya ditindas Saddam Hussein kini mengangkat senjata melawan serdadu pendudukan.
Tapi, siapa yang berani mengingatkan Gedung Putih, bahkan bahwa di dunia ini masih ada Konvensi Jenewa yang melindungi hak para tawanan perang? Dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti kita tahu, tak banyak yang bisa diharapkan. Dengan semangat "perang melawan terorisme", George W. Bush seperti beroleh kuasa menggerakkan mesin perangnya melakukan apa sajatermasuk teror paling keji di Abu Ghuraib.
Dan Abu Ghuraib bukan sebuah pengecualian. Kita tak tahu apa yang terjadi di penjara-penjara militer dan penjara CIA di Afganistan. Kita tak tahu apa yang terjadi di Guantanamo. Menurut perkiraan, sekitar 10 ribu orang kini ditawan di Irak, sekitar 1.000 orang di Afganistan, dan sekitar 400 orang di Guantanamo. Mereka terkurung tanpa perlindungan hukum apa pun, tanpa payung konvensi apa pun.
Bush akhirnya meminta maaf. Sangat terlambat, memang. Tapi Amerika tak bisa dipandang secara hitam-putih. Baik pembantaian My Lai maupun kebiadaban di Abu Ghuraib membuktikan, upaya mengungkap aib dan mengangkat kebenaran tak pernah berhenti di negara besar itu. Dalam upaya ini, pers yang bebas dan mandiri ternyata selalu berada di barisan terdepan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo