Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia adalah negeri kepulauan. Anak-anak kecil di masa lalu suka menyanyikan lagu dengan lirik: nenek moyangku, orang pelaut…. Tapi siapa yang menjaga kekayaan di laut?
Negara memberikan tugas kepada TNI AL untuk menjaga keutuhan negeri kalau ada serangan dari laut. Tetapi menjaga kekayaan di laut, tentara tentu saja kewalahan. Kepala Staf TNI AL Bernard Kent Sondakh menyodorkan angka ini: kita punya 17.500 pulau dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi. Kita punya pantai terpanjang di dunia, 81 ribu kilometer. Tapi kapal amat kurang. Usianya pun tua, lebih dari 40 tahun, bahkan ada yang dimiliki sejak masa Perang Dunia II. Dari angka ini kita segera maklum, bagaimana mengamankan wilayah lautan kalau kita tak punya kapal yang memadai.
Berangkat dari sinilah, Kent Sondakh punya keinginan membuat "kapal angkatan laut" (KAL), yang tujuannya hanya untuk patroli menjaga keamanan laut dari pencuri-pencuri kekayaan laut. Bukan untuk perang, karena kalau kapal perang namanya "kapal Republik Indonesia" (KRI). Namun, karena pemerintah pusat tak punya uang untuk membangun KAL yang rata-rata satu unit berharga Rp 11 miliar, Kent Sondakh lantas membuat edaran kepada gubernur untuk membeli kapal itu. Jika kapal sudah dibeli, TNI AL siap mengoperasikannya. Sudah ada dua pemerintah daerah yang siap membeli KAL, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Banten.
Majalah ini sudah pernah menyoroti kasus tersebut ketika kesimpang-siuran itu terjadi, seolah-olah pemerintah daerah berlomba-lomba mengamankan perairannya dari serangan musuh. Ketika itu muncul kekhawatiran, bagaimana kalau ada pemerintah daerah yang tidak punya uang tetapi punya wilayah laut yang luas, apakah dibiarkan lautnya tidak aman? Bukankah urusan pertahanan, baik darat, udara, maupun laut, adalah urusan pemerintah pusat?
Syukurlah, semuanya sudah jelas, bahwa yang dibeli oleh pemerintah daerah hanya kapal patroli, bukan kapal perang. Dalam hal ini Kent Sondakh benar, ada undang-undang yang membolehkan pemerintah daerah punya kapal patroli, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah. Salah satu pasal menyebutkan, provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut seluas 12 mil. Dan pemerintah daerah punya wewenang mengamankan wilayah lautnya itu.
Namun, yang perlu kita soroti kali ini adalah bukan boleh atau tidaknya pemerintah daerah memiliki kapal patroli, tetapi apakah itu prioritas atau tidak. Bagi Provinsi Riau mungkin sudah menjadi prioritas karena wilayah lautnya yang luas dan ada di perbatasan. Tetapi Provinsi Banten? Provinsi baru ini sedang defisit anggaran, wilayah daratnya saja banyak tak terurus, apa urgensinya membeli kapal patroli?
Hal lain yang perlu disoroti adalah soal pembuatan kapal patroli itu, kenapa main tunjuk saja, dan tidak melalui tender. Memang, Kepala Staf TNI AL sudah memberikan penjelasan bahwa PT PAL, perseroan yang sahamnya milik pemerintah, memberikan penawaran yang lebih tinggi. Namun, tender terbuka semestinya tetap ada. Dengan tender terbuka ini, akan hilang kesan bahwa TNI AL bermain bisnis untuk urusan kapal patroli. Tentu tak elok didengar, ide pengadaan kapal datang dari TNI AL, dan TNI AL pula yang menentukan siapa yang boleh membuatnya, apalagi sampai ikut menentukan harga. Mestinya, biarlah itu urusan pemerintah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo