Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Orang Tua Balita, dan Ambisinya

Mahal tak soal, orang tua kaya cenderung memasukkan anak balitanya ke sekolah "internasional". Demi sang anak atau ambisi orang tua?

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAH Permatasari lagi menimbang-nimbang. Pelakon hantu cantik dalam sinetron Si Manis Jembatan Ancol ini sibuk mencari sekolah dasar untuk Marcello, 5 tahun. Dari segi usia, anaknya itu memang baru bisa masuk sekolah dasar tahun depan. Namun beberapa sekolah menerapkan daftar tunggu, sehingga Diah sudah mengancang-ancang.

Beberapa bulan lalu, Marcello ikut tes masuk di sebuah sekolah. Diah ragu apakah si buah hati bisa lolos karena sekolah itu mewajibkan siswa lancar membaca dan berhitung. "Anak saya sih bisa (baca-hitung), tapi saya masih kurang sreg dengan sekolah itu," begitu alasannya. Diah pun mulai memburu sekolah lain.

Sekolah bagaimana yang bisa membuat Diah sreg? Syarat pertamanya harus berkurikulum internasional. Dia ingin anaknya siap memasuki pergaulan dunia. "Agar tidak rasis dan mengenal perbedaan," kata si "hantu" molek. Syarat itu dipakainya saat Marcel masuk playgroup International Kinderland di Bonavista, Jakarta Selatan, pada usia 2 tahun. Tarif masuknya puluhan juta rupiah dan biaya bulanannya jutaan rupiah. Tapi itu bukan kendala bagi Diah.

Sebelum menentukan sekolah yang cocok, Diah mendatangi langsung empat sekolah. Baginya, komentar teman dan keluarga hanyalah bumbu penyedap, sedangkan kunjungan langsung ke sekolah paling menentukan. Dia pernah batal mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah hanya karena mainannya tidak up-to-date dan bangkunya tampak kusam. "Gedung dan fasilitasnya harus the best, dong," katanya.

Lain lagi alasan yang dipakai Femmy Permatasari. "Sekolah anak saya tidak harus the best," kata sang artis. Ibu dari Righita (dua setengah tahun) ini memilih Tunas Bangsa Internasional Preschool karena dekat dengan rumahnya di Sunter, Jakarta Utara. Tingginya kriminalitas Kota Jakarta menjadi alasan utama Femmy memilih sekolah di dekat rumah.

Tentu saja reputasi sekolah menjadi salah satu pertimbangan. Masukan dari keluarga juga cukup penting bagi Femmy dalam mengambil keputusan. Menurut dia, yang pasti nantinya, untuk tingkat sekolah dasar dan selanjutnya, Righita harus masuk sekolah dengan dasar agama yang kuat.

Memilih sekolah dekat rumah juga menjadi alasan Shahnaz Haque. Anak pertamanya, Pruistin Aisha Haque Ramadhan, 2 tahun, sudah disekolahkan sejak berumur 6 bulan. Di Kid Sport Pondok Indah, dia hanya membayar uang pangkal Rp 1 juta dengan iuran bulanan Rp 150 ribu. Namun bukan murah-mahalnya ongkos yang menjadi alasan Shahnaz menyekolahkan anaknya sejak dini. Sekolah yang muridnya hanya masuk dua kali sepekan itu banyak melatih gerak motorik anak-anak.

Sebelum menentukan sekolah, Shahnaz menyempatkan diri mengobrol dengan pengajarnya untuk mengetahui kurikulum yang dipakai. Pengalaman dan pendapat teman-teman sebaya juga menjadi pertimbangan penting. Bagaimana dengan masukan dari saudara? "Mereka sudah lain generasinya, ha-ha-ha...," ujar istri pemusik Gilang Ramadhan itu.

Menyekolahkan anak sejak dini juga dilakukan artis Annisa Tribanowati. Anak tunggalnya, Muhammad Rafi Akbar Putra Pangestu, mulai mengenal bangku sekolah pada usia 7 bulan. Kini Rafi, 4 tahun, duduk di taman kanak-kanak Kinderland Pondok Indah, Jakarta Selatan. "Dari dulu, aku ingin anakku masuk sekolah (berbahasa) Inggris," katanya. Mengapa?

Annisa mengaku sudah merencanakan Rafi Akbar bersekolah di luar negeri saat masuk sekolah menengah atas nantinya. Soal biaya bukan masalah. "Kalau untuk pendidikan dan masa depan anak, enggak ada salahnya, kan? Yang penting, dia mendapat pendidikan yang berkualitas," katanya.

Orang tua memang selalu lebih sibuk dan ribut, seakan mereka yang hendak bersekolah. Padahal, bagi sang anak sendiri, selama boneka dan mobil-mobilan tidak direnggut dari tangannya, cukuplah. Anak-anak berusia di bawah lima tahun lebih senang?dan perlu?bermain daripada mengerutkan kening untuk hal-hal yang belum penting buat mereka.

Agung Rulianto, Nunuy Nurhayati (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus