Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Tahun Ajaran Baru Tiba

Dalam lima tahun terakhir, berbagai sekolah swasta nasional dan internasional tumbuh di kota-kota besar. Mereka memasang uang pangkal yang luar biasa.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada bulan-bulan seperti ini, ketika para orang tua terkena sindroma panik mencari sekolah yang tepat untuk anak, ada baiknya merenungkan kritik Ivan Illich. Doktor filsafat dan teologi yang lahir di Wina pada 1926 itu pernah mengkritik lembaga sekolah melalui artikel berjudul Why We Must Abolish Schooling, yang dimuat The New York Review of Books pada awal Juli 1970. Inti kritiknya pada birokrat pendidikan dan guru: sekolah lebih mementingkan pengajaran (teaching), bukan pendidikan (learning); penilaian (grade advancement), bukan edukasi; diploma, bukan kompetensi; dan terlebih lagi mereka mementingkan kefasihan (menghafal), bukan kreativitas mencari dan menjelajahi sesuatu yang baru.

Jika Illich masih hidup (ia wafat Desember 2002) dan ada di Indonesia, mungkin ia menambah kritiknya: sekolah menjadi semakin seragam, semakin rumit, dan semakin mahal.

Pada tahun 1970-an, sekolah-sekolah Indonesia hanya terbagi atas demarkasi: sekolah negeri (uang sekolah murah, murid banyak, guru sering bolos, kaca jendela bolong) dan sekolah swasta, yang biasanya dikelola oleh institusi agama Katolik atau Protestan (uang sekolah mahal, murid lebih selektif, guru sangat disiplin, fasilitas sekolah lebih baik). Dan kini, pada tahun 2000-an, pemerintah telah membuka keran untuk berbagai institusi yang "berbau internasional". Maka, di luar sekolah negeri dan swasta Katolik serta Protestan yang masih mempertahankan mutu, tahun 2000-an telah menghadirkan sekolah swasta Islam yang juga bermutu, sekolah internasional yang merupakan waralaba dari sistem di AS atau Inggris, dan sekolah nasional plus (sekolah swasta nasional dengan kurikulum tambahan internasional). Kecuali sekolah negeri, sekolah swasta itu mewajibkan uang pangkal dan uang sekolah yang membuat orang tua tak bisa tidur. Membeli rumah, mobil, atau membayar uang sekolah anak? (baca rubrik Pendidikan: Taman Bermain Berbintang Lima).

Di satu pihak, orang tua yang memilih sekolah swasta mahal ini mempunyai berbagai alasan, misalnya ingin agar anak-anaknya menikmati pelajaran sebagai sesuatu yang menarik, bukan beban; ingin anaknya berwawasan luas, ingin anaknya berkemampuan bilingual. Orang tua juga ingin menghindar dari sistem pendidikan sentralistis—yang lazimnya terjadi di sekolah negeri di Indonesia—yang membuat guru menjadi "dewa" penentu nasib anak.

Di pihak lain, lahirnya sekolah swasta ini sekaligus menumbuhkan berbagai sinisme (terhadap mereka yang dianggap snobbish memilih sekolah swasta), kekhawatiran terjadinya komersialisasi, dan kesenjangan sosial. Ini adalah kekhawatiran yang wajar, terutama karena mau tak mau, seperti juga di masa lalu, kini hanya mereka yang berduit yang bisa masuk sekolah swasta, swasta nasional plus, atau sekolah internasional. Di masa lalu, hanya mereka yang berduit dan lulus tes yang bisa masuk sekolah swasta Katolik.

Untuk menutup kesenjangan itu, Departemen Pendidikan Nasional bisa bergerak dengan rencana pendidikan yang lebih mendasar untuk memperbaiki sistem pendidikannya yang lebih menekankan sisi pemahaman, bukan hafalan. Menekankan proses pengertian dan pendidikan, bukan diploma atau sertifikat, seperti yang diutarakan Illich. Di pihak lain, tidakkah sekolah swasta yang memasang uang pangkal mengerikan itu ingin lebih memperluas spektrum sosial di sekolahnya, dengan memperkenalkan sistem beasiswa kepada siswa yang pandai tapi tak mampu? Utopia? Tak mengapa. Semua niat baik selalu dimulai dengan kalimat utopia, bukan sinisme dan apatisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus