Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMBAU-mengimbau saja tidak mempan untuk menyelamatkan duit negara yang ngendon dalam rekening liar di departemen dan lembaga negara. Sembilan tahun reformasi berlalu, tapi rekening yang tidak dilaporkan kepada Departemen Keuangan masih luar biasa jumlahnya. Dana non-anggaran negara alias nonbujeter di dalamnya juga raksasa. Total dana nonbujeter dari 3.195 rekening liar nyaris genap Rp 17 triliun.
Jumlah fantastis itu sanggup menghidupi 85 kabupaten seperti Jembrana atau tiga provinsi seluas Papua. Kabupaten Jembrana di Bali yang terkenal tertib dan memiliki pelayanan publik yang bagus itu hidup hanya dengan anggaran Rp 200 miliar pada 2007. Provinsi Papua mendapat anggaran Rp 5,3 triliun tahun ini. Bisa dibayangkan betapa banyak manfaat bisa dipetik bila pemerintah bisa ”mengandangkan” rekening liar itu.
Alat untuk menertibkan rekening liar itu sebenarnya telah tersedia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sudah jelas mengatur: pembukaan rekening di lingkup kerja kementerian dan lembaga negara wajib memperoleh izin Menteri Keuangan. Peraturan itu mempertegas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mewajibkan seluruh penerimaan negara bukan pajak disetor ke kas negara. Aturan sudah begitu gamblang, tapi dalam prakteknya banyak terjadi pelanggaran, dan rupanya tak ada sanksi yang membuat kapok.
Presiden Abdurrahman Wahid melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2004 pernah memerintahkan penertiban data rekening setiap departemen dan lembaga nondepartemen. Tapi hasilnya hampir tak ada. Senjata boleh sangat tajam, tapi menjadi majal tanpa pelaksanaan di lapangan.
Banyak yang berharap aksi Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam memberantas rekening liar akan membuahkan hasil. Ia bertindak benar dengan memulai ”perang” dari departemennya sendiri—yang ternyata memegang rekor sebagai pemilik rekening liar terbanyak, berjumlah Rp 9,5 triliun. Patut dihargai juga bahwa Menteri Mulyani memberikan waktu tiga bulan agar departemennya bersih dari rekening liar, sementara departemen lain diberi waktu enam bulan.
Seharusnya pemerintah memang tidak berkompromi soal pemberantasan rekening ”gelap” itu. Sebab, inilah salah satu sumber korupsi pejabat pemerintah. Pengumpulan dana itu jelas melanggar hukum. Pemakaiannya yang ”bebas merdeka” jelas menyalahi aturan. Saking bebasnya, pos pengeluaran yang aneh-aneh pun terdengar: ongkos dokter gigi, biaya wisuda pejabat, ongkos melancong ke luar negeri, dan ”angpau” untuk pejabat tinggi. Inilah pola korupsi yang populer dan ”dimaklumi” di masa Orde Baru.
Tentu praktek buruk itu tidak hendak diulangi oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden juga yang harus mengecek secara berkala kemajuan penertiban rekening liar itu. Dia tak boleh segan menindak menterinya yang masih memelihara rekening liar—yang artinya melanggar undang-undang. Kalau perlu, setiap bulan Presiden meminta laporan semua menteri di dalam sidang kabinet. Agar hasilnya diketahui publik, Menteri Keuangan kemudian melalui media massa mengumumkan departemen yang telah mencapai kemajuan dan departemen yang masih melanggar hukum soal rekening liar ini.
Dengan cara itu, dan diperkuat kontrol DPR secara intensif, rekening liar diharapkan cepat terkikis. Orde Baru sudah berlalu, pemerintah tidak perlu memelihara jejak-jejak buruknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo