Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kenaikan harga minyak goreng diduga berhubungan dengan dominasi sekelompok pelaku usaha.
Struktur pasar perkebunan sawit selama ini cenderung oligopolistik.
Struktur ini membuat dominasi di pasar minyak goreng dan pengabaian tanggung jawab lingkungan.
Syahrul Fitra
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan ini, kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng telah menyita perhatian publik. Bahkan pemerintah mencoba mengotak-atik sejumlah kebijakan demi memastikan pasokan minyak goreng tercukupi. Sayangnya, upaya tersebut tidak begitu efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilik masalah ini dalam bingkai persaingan usaha. Hasil analisis KPPU menunjukkan adanya dominasi sekelompok pelaku usaha atas kelangkaan tersebut. Menurut KPPU, struktur pasar minyak goreng ini cenderung oligopolistik dengan tingkat konsentrasi pasar mencapai 46,5 persen berdasarkan penghitungan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4). Artinya, separuh pasar dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng.
Permasalahan minyak goreng tersebut hanya merupakan bagian kecil dari akumulasi struktur pasar perkebunan kelapa sawit yang cenderung oligopolistik. Hal ini sudah lama diidentifikasi KPPU, sebagaimana mereka tuangkan dalam laporan Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit.
Kelompok usaha yang mendominasi produksi minyak goreng tersebut membangun kerajaan bisnisnya dengan membentuk integrasi vertikal. Ini dimulai dari penguasaan lahan perkebunan, baik dimiliki langsung melalui jejaring kepemilikan saham maupun lewat skema inti plasma yang difasilitasi kebijakan pemerintah.
Model bisnis yang terintegrasi secara vertikal tersebut oleh Undang-Undang Persaingan Usaha ditempatkan sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang. Namun, sebagai perjanjian yang dilarang, integrasi vertikal harus dibuktikan secara rule of reason. Artinya, perbuatan tersebut harus dibuktikan lebih dulu telah mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
Selain itu, industri kelapa sawit cenderung membentuk kartel sehingga mereka mampu menyepakati harga dan bahkan mempengaruhi kebijakan di sektor sawit. Jalur kartel ini umumnya difasilitasi oleh asosiasi pengusaha, baik asosiasi di tingkat pengusaha perkebunan (hulu) maupun di tingkat industri hilir.
Dampak lain dari struktur yang terkonsentrasi ini ditemukan pula di tingkat pengelolaan bahan bakar nabati yang berasal dari sawit. Pelaku usaha yang bergerak di bidang ini hanya sebagian kecil dan pemerintah memberikan subsidi besar terhadap industri mereka melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan 89 persen alokasi dana BPDPKS pada 2015 untuk subsidi bahan bakar nabati (KPK, 2016). Pada 2021, total alokasi dana BPDPKS ini tidak banyak berubah (83 persen untuk subsidi bahan bakar nabati).
Penikmat subsidi ini hanya segelintir pelaku usaha, yang juga menguasai industri minyak goreng dan menguasai lahan. Dalam laporan KPK itu disebutkan, hampir Rp 2 triliun atau lebih dari 50 persen subsidi bahan bakar nabati dinikmati oleh satu kelompok usaha.
Pekebun swadaya ikut merasakan dampak negatif dominasi industri besar. Industri memiliki kemampuan untuk menetapkan dan mengendalikan harga di tingkat petani, terutama petani plasma. Model kemitraan ini membuat petani tidak mampu mendapatkan harga terbaik dari produksi perkebunan mereka. KPPU sudah menekankan hal ini dalam studi mereka bahwa model kemitraan tidak memihak kepada petani dan bentuk eksploitasi terhadap petani, meningkatkan konflik, serta bermasalah dengan lingkungan (KPPU, 2020).
Dominasi sekelompok pelaku usaha industri kelapa sawit ini juga berdampak terhadap lingkungan. Masalah lingkungan pada industri sawit, terutama di tingkat pengelolaan perkebunan, sudah lama menjadi topik utama. Menurut Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia (2015), sebanyak 25 taipan sawit menguasai 69 persen luas kebun sawit. Mereka adalah kelompok yang sama yang mengendalikan minyak goreng.
Kecenderungan praktik kartel oleh pelaku industri kelapa sawit ini mendorong mereka untuk mengabaikan sejumlah kewajiban lingkungan. Bahkan perusahaan ini terlibat dalam sejumlah kasus kebakaran hutan dan lahan. Kemampuan industri untuk mempengaruhi harga sangat besar dan bahkan bisa mengakibatkan kelangkaan barang di pasar ini tentu membuat daya tawar mereka ke pemerintah semakin besar. Tidak mengherankan jika sejumlah regulasi yang berkaitan dengan lingkungan terus dikendurkan. Contohnya penyelesaian masalah sawit ilegal di kawasan hutan.
Sekitar 1,5 juta hektare sawit milik perusahaan yang telah berizin beroperasi di kawasan hutan secara ilegal. Berpijak pada ketentuan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar sebelum diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja, semestinya perusahaan tersebut telah dipidanakan. Namun, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah melonggarkannya.
Dimensi lingkungan ini belum terlalu banyak dielaborasi oleh KPPU untuk melihat dampak negatif dari struktur pasar yang oligopolistik ini. KPPU patut mempertimbangkannya untuk melihat dampak negatif dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Persoalan minyak goreng hari ini merupakan akumulasi masalah tata kelola sawit di Indonesia. Membiarkan industri ini dikuasai oleh segelintir pelaku usaha akan berdampak negatif terhadap ekonomi, lingkungan, dan bahkan sosial.
KPPU harus mengambil momen ini sebagai langkah untuk mengurai dominasi pelaku usaha tersebut. Struktur perusahaan industri sawit saat ini harus diurai dan tidak boleh dibiarkan terkonsentrasi di beberapa kelompok saja. Apalagi, jika dicermati dari rangkaian kebijakan dan peristiwa yang terjadi, terbentuknya struktur oligopolistik tersebut tidak terjadi secara alamiah.
Pemerintah, khususnya kementerian yang memiliki kewenangan terhadap bisnis sawit, harus membuka mata. Tata kelola persawitan harus dibenahi sejak dari hulu hingga hilir. Presiden sudah memulainya dengan mencabut izin, termasuk perkebunan sawit tertentu, pada awal 2022. Semestinya langkah ini diikuti dengan proses yang transparan dan terus dilanjutkan dengan pembenahan pada tingkat hilir guna memutus rantai dominasi grup-grup besar saat ini.
*) Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak merepresentasikan pandangan lembaga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo