BUNG Karno "minta", "menangisi". Ia "minta dan menangisi"
agar dalam Undang-Undang Dasar Indonesia tak dimasukkan pasal
tentang hak-hak manusia dan warganegara.
Itu terjadi di bulan Juli 1945. Konstitusi pertama sedang
disiapkan. Ketika 10 Desember orang memperingati Hari Hak-hak
Asasi Manusia, ucapan Bung Karno itu sebenarnya bergaung, tapi
jarang dikenang lagi.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat!", katanya penuh
gelora. "Kita rancangkan Undang-Undang Dasar dengan kedaulatan
rakyat, dan bukan kedaulaun individu".
Kenapa rakyat, dan bukan individu? Apakah rakyat sebenarnya,
jika bukan suatu himpunan yang terdiri dari individu? Bung Karno
tak sempat mengurai. Ia agaknya cukup berpegang pada kesan. Kata
"rakyat" menyarankan sesuatu kekuatan yang padu--ibarat satu
lidi. Titik. Kata "individu" sebaliknya menyarankan gelintir
yang berpisah-pisah, bahkan saling bersengketa. Titik.
Maka tak mengherankan bila BungKamo mengatakan, hak kemerdekaan
rnanusia sebagai individulah yang "membuat dunia di Eropa dan
Amerika menjadi dunia yang penuh dengan konflik, dengan
perguncangan, dengan pertikaian klassenstrijd, dengan
peperangan".
Tapi tentu saja ia khilaf. Pidatonya, sebagaimana dicatat dalam
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun Muh.
Yamin, menunjukkan bergalaunya retorika Marxisme dengan semangat
anti-Barat yang didengungkan fascisme Jepang. Begitu rupa
suasana waktu itu agaknya, hingga Bung Karno alpa:
klassenstrijd, atau perjuangan kelas, tak terjadi hanya karena
di masyarakat ada kemerdekaan manusia sebagai perorangan.
Perjuangan kelas berkecamuk karena kelompok-kelompok memang
selalu di masyarakat berebut kekuasaan, untuk memperjuangkan
kepentingan masing-masing. Secara kasar, begitulah kurang lebih
tesis Karl Marx.
Kaum yang bermodal, dalam pergulatan yang dilukiskan tesis itu,
kemudian mencanangkan hak manusia perorangan. Mereka ingin bebas
dari kongkongan kaum feodal. Lalu, segera sesudah itu, jadi
bebas pula untuk mengongkong kaum proletar.
Dalam hal inilah orang-orang Marxis mencemoohkan hak-hak asasi
manusia, sebagai cuma kemunafikan kaum kelas menengah yang
kapitalistis. Bung Karno memungut cemooh itu. Tapi ia--yang
begitu gandrung persatuan bangsanya-tak hendak menerima
kenyataan bahwa sengketa terus saja bisa terjadi.
Tentu, pertikaian itu bukannya "perjuangan kelas" seperti yang
dibayangkan kaum Marxis. Kesulitan pokok menggunakan pengertian
"kelas" seperti yang dipakai Marx ialah karena konsep itu
ditakik dari sejarah sosial Eropa. "Kelas", sebagaimana
dikemukakan sejak Adam Smith di abad ke-18, senantiasa dikaitkan
dengan soal milik dan penghasilan. Ada kaum yang hidup dari sewa
tanah. Ada yang hidup dari upah. Dan ada yang dari laba.
Tapi jelas, pengertian "kelas" seperti itu hanya cocok buat
masyarakat yang punya kelompok yang cukup mandiri dengan hak
milik mereka. Dalam masyarakat seperti itu, milik bahkan yang
melahirkan kekuasaan, bukan sebaliknya. Kekuasaan kena rebut
bila hubungan pemilikan bergeser -- seperti ketika kaum kelas
menengah bangkit di Prancis menghabisi kaum feodal.
TAPI ada masyarakat lain, nun jauh dari Prancis. Ada masyarakat
di ma na para petani mencoba berontak tapi akhirnya dicekik
terus. Ada masyarakat tempat raja atau sultan mencengkeram
habis-habisan, hingga tak ada orang yang sempat hidup tegak dari
sewa, ataupun kokoh dari laba. Arti "kelas" di situ agaknya jadi
lain, karena pejabat kraton yang tanpa modal dan tanpa tanah
juga bisa mengisap.
Pak tani di sana akhirnya hanya menghindar, setelah berontak pun
gagal. Seperti di Mesir, baik di zaman Fir'aun maupun di abad
ke-19, ketika para fellahin, petani miskin itu, menampakkan
sikap yang aneh: mereka bangga akan bekas pukulan di tubuh
mereka, sehabis dihukum karena menolak bayar pajak.
Katakanlah lalu bahwa mereka tak perlu punya hak asasi.
Katakanlah bahwa lebih baik punggung itu babak-belur ketimbang
jadi burjuis. Kita kadang memang bingung dengan retorika kita
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini