Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kelas

Perjuangan kelas berkecamuk dalam masyarakat karena ada perebutan kekuasaan untuk kepentingan masing-masing. itulah tesis karl marx. dalam kaitan ini hak asasi manusia seakan-akan dikesampingkan.

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNG Karno "minta", "menangisi". Ia "minta dan menangisi" agar dalam Undang-Undang Dasar Indonesia tak dimasukkan pasal tentang hak-hak manusia dan warganegara. Itu terjadi di bulan Juli 1945. Konstitusi pertama sedang disiapkan. Ketika 10 Desember orang memperingati Hari Hak-hak Asasi Manusia, ucapan Bung Karno itu sebenarnya bergaung, tapi jarang dikenang lagi. "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terhormat!", katanya penuh gelora. "Kita rancangkan Undang-Undang Dasar dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulaun individu". Kenapa rakyat, dan bukan individu? Apakah rakyat sebenarnya, jika bukan suatu himpunan yang terdiri dari individu? Bung Karno tak sempat mengurai. Ia agaknya cukup berpegang pada kesan. Kata "rakyat" menyarankan sesuatu kekuatan yang padu--ibarat satu lidi. Titik. Kata "individu" sebaliknya menyarankan gelintir yang berpisah-pisah, bahkan saling bersengketa. Titik. Maka tak mengherankan bila BungKamo mengatakan, hak kemerdekaan rnanusia sebagai individulah yang "membuat dunia di Eropa dan Amerika menjadi dunia yang penuh dengan konflik, dengan perguncangan, dengan pertikaian klassenstrijd, dengan peperangan". Tapi tentu saja ia khilaf. Pidatonya, sebagaimana dicatat dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun Muh. Yamin, menunjukkan bergalaunya retorika Marxisme dengan semangat anti-Barat yang didengungkan fascisme Jepang. Begitu rupa suasana waktu itu agaknya, hingga Bung Karno alpa: klassenstrijd, atau perjuangan kelas, tak terjadi hanya karena di masyarakat ada kemerdekaan manusia sebagai perorangan. Perjuangan kelas berkecamuk karena kelompok-kelompok memang selalu di masyarakat berebut kekuasaan, untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Secara kasar, begitulah kurang lebih tesis Karl Marx. Kaum yang bermodal, dalam pergulatan yang dilukiskan tesis itu, kemudian mencanangkan hak manusia perorangan. Mereka ingin bebas dari kongkongan kaum feodal. Lalu, segera sesudah itu, jadi bebas pula untuk mengongkong kaum proletar. Dalam hal inilah orang-orang Marxis mencemoohkan hak-hak asasi manusia, sebagai cuma kemunafikan kaum kelas menengah yang kapitalistis. Bung Karno memungut cemooh itu. Tapi ia--yang begitu gandrung persatuan bangsanya-tak hendak menerima kenyataan bahwa sengketa terus saja bisa terjadi. Tentu, pertikaian itu bukannya "perjuangan kelas" seperti yang dibayangkan kaum Marxis. Kesulitan pokok menggunakan pengertian "kelas" seperti yang dipakai Marx ialah karena konsep itu ditakik dari sejarah sosial Eropa. "Kelas", sebagaimana dikemukakan sejak Adam Smith di abad ke-18, senantiasa dikaitkan dengan soal milik dan penghasilan. Ada kaum yang hidup dari sewa tanah. Ada yang hidup dari upah. Dan ada yang dari laba. Tapi jelas, pengertian "kelas" seperti itu hanya cocok buat masyarakat yang punya kelompok yang cukup mandiri dengan hak milik mereka. Dalam masyarakat seperti itu, milik bahkan yang melahirkan kekuasaan, bukan sebaliknya. Kekuasaan kena rebut bila hubungan pemilikan bergeser -- seperti ketika kaum kelas menengah bangkit di Prancis menghabisi kaum feodal. TAPI ada masyarakat lain, nun jauh dari Prancis. Ada masyarakat di ma na para petani mencoba berontak tapi akhirnya dicekik terus. Ada masyarakat tempat raja atau sultan mencengkeram habis-habisan, hingga tak ada orang yang sempat hidup tegak dari sewa, ataupun kokoh dari laba. Arti "kelas" di situ agaknya jadi lain, karena pejabat kraton yang tanpa modal dan tanpa tanah juga bisa mengisap. Pak tani di sana akhirnya hanya menghindar, setelah berontak pun gagal. Seperti di Mesir, baik di zaman Fir'aun maupun di abad ke-19, ketika para fellahin, petani miskin itu, menampakkan sikap yang aneh: mereka bangga akan bekas pukulan di tubuh mereka, sehabis dihukum karena menolak bayar pajak. Katakanlah lalu bahwa mereka tak perlu punya hak asasi. Katakanlah bahwa lebih baik punggung itu babak-belur ketimbang jadi burjuis. Kita kadang memang bingung dengan retorika kita sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus