Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kemacetan Jakarta dan Ilusi MRT

Peresmian moda raya terpadu (MRT) fase 1 Bundaran HI-Lebak Bulus pada 24 Maret lalu menandai era baru transportasi massal di Jakarta.

1 April 2019 | 07.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusuf Wibisono
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peresmian moda raya terpadu (MRT) fase 1 Bundaran HI-Lebak Bulus pada 24 Maret lalu menandai era baru transportasi massal di Jakarta. MRT digadang-gadang akan menjadi solusi kemacetan akut Ibu Kota. Namun pemilihan MRT sebagai moda utama transportasi Jakarta masa depan perlu ditimbang kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebutuhan perjalanan di Jakarta mencapai lebih dari 21 juta per hari. Ini akan menjadi sekitar 29 juta perjalanan per hari jika memperhitungkan pula komuter dari wilayah sekitar, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Maka keberadaan transportasi massal menjadi sangat mendesak bagi Jakarta, yang kini menanggung kerugian akibat kemacetan hingga Rp 65 triliun per tahun.

Transportasi massal kota bukan hanya MRT. Ada pula lintasan kereta ringan (LRT), sistem rel komuter, dan bus cepat (BRT). Mengapa MRT dan LRT yang menjadi pilihan utama? Meski kapasitas angkutnya mencapai kisaran 200 ribu orang per hari, MRT fase 1 diperkirakan hanya akan mengangkut 65 ribu penumpang per hari.

Masalah MRT yang paling signifikan adalah biayanya sangat mahal. Biaya pembangunannya menembus Rp 1 triliun per kilometer, sangat jauh di atas BRT, yang hanya Rp 10 miliar per km. Dengan biaya pembangunan dan operasional yang sangat mahal, dibutuhkan tingkat permintaan perjalanan yang sangat tinggi agar MRT dapat layak berjalan secara finansial.

Estimasi tingkat permintaan jangka pendek dan menengah di jalur MRT tidak cukup tinggi untuk membenarkan pembangunannya. MRT tidak akan mampu mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan sehingga dapat dipastikan akan membutuhkan subsidi pemerintah secara permanen. Ditambah beban pengembalian utang, karena proyek ini sepenuhnya dibiayai utang luar negeri, beban MRT terhadap anggaran publik menjadi signifikan.

Tanpa subsidi, tarif MRT mencapai Rp 31.659 per penumpang per perjalanan. Agar permintaan penumpang cukup tinggi, pemerintah DKI Jakarta menetapkan subsidi rata-rata Rp 21.659 sehingga harga tiketnya Rp 10 ribu per penumpang per perjalanan. Dengan asumsi kapasitas angkut 65 ribu penumpang per hari, subsidi tiket mencapai Rp 672 miliar per tahun.

Bila diperhitungkan pula beban seluruh pembangunan MRT, yang direncanakan mencapai 165 km di tiga koridor (Lebak Bulus-Kampung Bandan, Balaraja-Cikarang, Cikokol-Bekasi), MRT akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan anggaran dan pelayanan publik di masa depan. Namun, bila dibiarkan tanpa subsidi, MRT akan menjadi sangat mahal dan hanya dapat diakses segelintir kalangan atas sehingga dipastikan tidak akan mampu menjawab masalah kemacetan.

Dalam lima tahun terakhir, DKI telah melakukan penyertaan modal daerah (PMD) yang sangat signifikan kepada dua badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan membangun MRT dan LRT. PT Jakarta Propertindo mendapat guyuran PMD dari Rp 100 miliar pada 2011 menjadi Rp 4,7 triliun pada 2017 untuk membangun LRT. Untuk pembangunan MRT, bahkan DKI mendirikan PT MRT Jakarta dan menginjeksi PMD dari Rp 37 miliar pada 2011 menjadi Rp 3,4 triliun pada 2017.

Masalah serupa dihadapi LRT, yang investasinya menembus Rp 500 miliar per km, jauh di atas investasi KRL Commuter Line reguler yang hanya berada di kisaran Rp 150 miliar per km. LRT membutuhkan subsidi tiket yang masif agar dapat terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Tanpa subsidi, tarif keekonomian LRT adalah Rp 41.654 per penumpang per perjalanan. Dengan penetapan subsidi rata-rata Rp 35.654, tarif LRT hanya Rp 6.000 per penumpang per perjalanan dengan asumsi kapasitas angkut per hari 14.255 orang, total subsidi tiket LRT mencapai Rp 327 miliar per tahun.

Dengan demikian, total subsidi tiket MRT dan LRT mencapai sekitar Rp 1 triliun per tahun hanya untuk sekitar 80 ribu penumpang per hari. Bandingkan dengan subsidi tiket KRL Commuter Line, yang hanya berada di kisaran Rp 2 triliun per tahun untuk sekitar 1 juta penumpang per hari.

Ketidaklayakan finansial MRT ini telah lama diidentifikasi. Pola pembangunan metro, baik di negara maju maupun berkembang, menunjukkan bahwa MRT memiliki biaya yang jauh di atas penerimaan karena tidak tercapainya proyeksi jumlah penumpang. Atas pertimbangan ini, berbagai kota metropolitan di dunia, seperti Brasil dan Cina, telah lama beralih dan berfokus pada BRT. Kota Xiamen, Cina, bahkan mengalihkan infrastruktur LRT menjadi BRT pada 2008 sehingga menjadi kota dengan BRT jalan layang pertama di dunia.

Prioritas dan fokus kebijakan transportasi Jakarta adalah mengurai kemacetan secepatnya untuk menekan kerugian sekaligus meningkatkan daya saing perekonomian. Daya angkut bus Transjakarta mampu setara dengan kapasitas MRT. Transjakarta juga mampu menghasilkan kecepatan dan kenyamanan perjalanan yang tidak kalah bila dibandingkan dengan LRT ataupun MRT. Dengan panjang jalur 230,9 km dan 13 koridor, Jakarta kini tercatat sebagai kota dengan jaringan BRT terpanjang di dunia, yang kapasitas angkutnya diperkirakan mencapai 450 ribu orang per hari.

Jalur KRL Commuter Line sepanjang 160,7 km selama ini terbukti efektif sebagai kereta yang menghubungkan Jakarta dan daerah sekitarnya. Dengan revitalisasi yang memadai, kapasitas KRL telah meningkat, dari kisaran 400 ribu penumpang per hari pada 2010 menjadi mendekati 1 juta penumpang per hari saat ini. Dengan kebijakan afirmatif yang progresif, kapasitas KRL Commuter Line berpotensi ditingkatkan menjadi 2 juta penumpang per hari, yang efektif mengurai kemacetan Jakarta.

Revitalisasi KRL Commuter Line, yang diikuti integrasi 15 jalur Transjakarta dan rel KRL Commuter Line, akan efektif menekan arus masuk 1,5 juta kendaraan pribadi ke Jakarta dari wilayah sekitar.

Yusuf Wibisono

Yusuf Wibisono

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus