Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kembalikan LSF ke Komisi Pendidikan

Saya kembali terkejut ketika mendengar Komisi Komunikasi dan Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat dengar pendapat dengan Lembaga Sensor Film (LSF) pada 4 November lalu.

7 November 2019 | 08.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemala Atmojo
Pengamat Perfilman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya kembali terkejut ketika mendengar Komisi Komunikasi dan Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat dengar pendapat dengan Lembaga Sensor Film (LSF) pada 4 November lalu. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang di DPR, termasuk sekretariatnya, sehingga LSF masih menjadi mitra komisi ini. Apakah karena meneruskan kebiasaan lama, ketidaktahuan adanya perubahan, atau ada maksud lain di belakangnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah orang-orang DPR itu tidak tahu bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film sudah diganti? Dalam kedua peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan pada zaman Orde Baru itu, film berada di bawah Departemen Penerangan. Maka, masuk akal jika LSF menjadi mitra kerja Komisi Komunikasi, yang antara lain membidangi masalah informasi, keamanan, dan luar negeri.

Tapi, setelah reformasi, undang-undang lama itu diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, yang menempatkan perfilman, termasuk LSF, di lingkup kebudayaan. Adapun menteri yang dimaksudkan dalam undang-undang baru tersebut adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan. Undang-Undang Perfilman baru ini ingin menggeser posisi film dari rumpun politik menuju rumpun kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karena itu, ia seharusnya menjadi mitra Komisi Pendidikan, yang antara lain membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan olahraga.

Sementara dalam peraturan pemerintah lama anggota LSF diangkat oleh presiden atas usul menteri, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014, anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi dan diangkat oleh presiden. Unsur pemerintah, yang dalam peraturan pemerintah lama cukup dominan, diubah menjadi lebih banyak unsur masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, LSF tidak bisa lagi seenaknya memenggal adegan tanpa berdialog dengan pemilik film.

Jadi, adanya RDP pada awal bulan ini menimbulkan tanda tanya. Dugaan paling ramah adalah DPR meneruskan kebiasaan lama dan tidak mengetahui adanya perubahan peraturan. Dugaan lain, adanya kekacauan DPR dalam memahami perbedaan antara Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan LSF. Pengaturan Dewan Pers terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, KPI dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan LSF dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

LSF dan KPI mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Singkatnya, sementara LSF meneruskan kebijakan kolonial Belanda, KPI lahir dari sejarah politik yang relatif baru. Pada zaman Orde Baru, lembaga penyiaran berada di bawah kontrol penuh penguasa dan digunakan secara maksimal untuk kepentingan penguasa. Pada era reformasi, penyiaran didasari prinsip keberagaman isi dan kepemilikan yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali ranah penyiaran.

Lalu, karena spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas, frekuensi tersebut harus digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, lembaga penyiaran diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat dalam arti seluas-luasnya. Untuk menjaga tujuan itulah dibentuk KPI.

Jadi, kata kunci tentang KPI adalah "penggunaan frekuensi milik publik yang terbatas". Sementara itu, bioskop adalah usaha swasta murni yang tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Orang menonton film di bioskop tidak gratis. Bahwa ada film yang ditayangkan di stasiun televisi lalu diawasi oleh KPI, hal itu boleh-boleh saja.

Apa yang sebenarnya mengkhawatirkan jika LSF-dan perfilman-menjadi mitra tetap Komisi Komunikasi? Persoalannya tentu bukan sekadar masalah legalitasnya, tapi juga pada bayangan menakutkan tentang segala hal yang bisa terjadi pada kemudian hari. Pertama, misalnya, posisi film sebagai produk seni budaya akan tereduksi menjadi "sekadar" produk komunikasi massa. Kedua, secara politis, situasi itu akan dirasa mundur ke era Orde Lama atau Orde Baru, ketika pemerintah memegang kontrol utama dalam hal seni dan informasi. Ketiga, khusus mengenai keanggotaan LSF, dikhawatirkan DPR akan terlalu jauh terlibat dalam seleksi anggotanya.

Film memang bukan semata-mata produk hiburan. Ia bisa memberi informasi atau bermuatan ideologi tertentu. Namun film sebagai karya seni tetap harus dipandang sebagai produk seni budaya. Para seniman yang berkreasi itu dilindungi oleh konstitusi, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga Undang-Undang Hak Cipta.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya, sensor tidak dilihat dengan pendekatan keamanan. Di sana dikenal apa yang disebut rating system yang dibuat oleh Motion Picture Association of America (MPAA). Tujuannya adalah membantu orang tua dan calon penonton menentukan film apa yang cocok bagi anaknya atau mereka sendiri. Kategorisasi (G, PG, PG-13, R, dan NC-17) itu dibuat oleh asosiasi produser, sementara pelaksanaan dan pengawasannya oleh lembaga independen The Classification and Ratings Administration (CARA). Jadi, bukan oleh negara.

Pada akhirnya, kembalikanlah LSF menjadi mitra kerja tetap Komisi Pendidikan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus