Menyambut ulang tahun ke-40 PBB, kami muatkan berikut ini sebagian dari tulisan memoar Sabam Siagian yang kami pesan. Sabam, pemimpin redaksi harian The Jakarta Post, pernah bertugas di staf Perwakilan Tetap RI di New York, 1967 1973. TELUK Kura-Kura - Turtle Bay. Itulah sebutan daerah yang kini ditempati kompleks Perserikatan Bangsa-Bangsa di pertengahan Pulau Manhattan, New York, kira-kira dari 42nd Street sampai 51st Street. Konon, dulu ketika daerah itu masih merupakan usaha pertanian dan peternakan, kura-kura pada musim terentu muncul dari Sungai Timur (East River) dan terdampar di pantai. Tempat itu lalu menjadi kompleks gudang dan rumah potong hewan kepunyaan keluarga Rockefeller. Sementara itu, bertahun-tahun PBB mencari lokasi yang permanen - sampai akhirnya John D. Rockefeller Jr. menyumbangkan tanah milik itu. Untuk memenuhi persyaratan hukum, lokasi yang baik itu dijual seharga US$ 1, sedangkan nilainya waktu itu sekitar US$ 8,5 juta. Sekelompok arsitek internasional kemudian ditugasi menciptakan desain gedung markas besar PBB, antara lain arsitek modernis Eero Saarinen. Setelah perdebatan bertele-tele, muncullah gedung sekretariat, semacam kotak yang menjulang tinggi di langit New York. Sampai sekarang, sejak 1952 ketika kompleks selesai, kotak itu, entah mengapa, melambangkan harapan umat manusia. Jauh di bawah kompleks yang megah itu, entah lantai ke berapa di dalam tanah, ditempatkan arsip rekaman semua pidato yang pernah diucapkan di PBB. Saya pernah minta diputarkan pidato Sutan Sjahrir pada sidang ke-184 Dewan Keamanan, 14 Agustus 1947. Suaranya lantang - bukan seperti orang Sumatera Barat, malah di sana-sini bernada Tapanuli. "Saya ini adalah utusan khusus yang sah dari Presiden Republik Indonesia," katanya. Waktu itu Dewan Keamanan masih bersidang di Lake Success, Long Island. Bagaimana Sutan Sjahrir sampai berpidato di Dewan Keamanan setelah serangan umum Belanda di Indonesia bulan Juli tahun itu? Foto resmi delegasi RI di Dewan Keamanan agaknya mengungkapkan sebagian dari cerita itu. Di sebelah kanan Sjahrir, seorang pemuda dengan wajah pemikir: Soedjatmoko. Di sebelah kanan, Menteri Muda Luar Negeri Haji Agus Salim, membisikkan sesuatu. Di belakang, Charles Tambu, penyusun pidato-pidato delegasi. Kemudian Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Yang tidak tampak adalah staf hubungan pers, Soedarpo Sastrosatomo. Perjuangan sekelompok diplomat gerilya ini belum pernah direkam selengkapnya. Kebetulan Presiden Dewan Keamanan pada bulan Agustus itu adalah utusan tetap Syria. Haji Agus Salim telah "membina" negara-negara Arab. Dan ketika diputuskan bahwa RI diberi kesempatan bicara, tentunya suatu naskah pidato perlu disiapkan. Ini merupakan tugas Charles Tambu, orang asal Sri Lanka yang berpendidikan salah satu universitas terkemuka di Inggris dan, sebelum Hindia Belanda menyerah pada bulan Maret 1942, "terdampar" di Pulau Jawa. Pidato Sjahrir itu luas dampaknya ia sajikan kerangka sejarah kebangkitan kebangsaan di jajahan Belanda, bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan. Utusan Belanda waktu itu adalah Menteri Luar Negeri Belanda sendiri, Eelco van Kleffens. Ia minta hak jawab. Tapi presiden sidang, si Syria tadi, berkata, hari sudah jauh siang, beberapa utusan sudah ada janji, baiklah kita lanjutkan besok saja. Akibatnya, keesokan paginya harian The New York Times memuat sari pidato Bung Sjahrir di halaman muka tanpa bantahan utusan Belanda. Kantor-kantor berita melaporkannya ke seluruh penjuru dunia tanpa bantahan Belanda. Besoknya, Van Kleffens mencap RI sebagai "negara mikrofon", yang "terdiri dari para agitator tanpa ada pengikut". Indonesia diterima sebagai negara anggota ke-60 PBB pada akhir 1950, ketika Menteri Luar Negeri Moh. Roem datang sebagai ketua delegasi ke sidang Majelis Umum. Dan jadilah Indonesia anggota organisasi internasional yang merupakan salah satu tujuan perjuangan, yang identik dengan pengakuan dunia. Termasuk manfaat pengakuan itu adalah hak untuk memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam cakupan kedaulatannya: Ini sungguh panjang ceritanya. Tahun lima puluhan, entah berapa diplomat Indonesia - antara lain Sudjarwo Tjondronegoro - berusaha menggolkan konsep resolusi yang sedikit banyak dapat membuka kemungkinan baru, tapi tidak berhasil. Akhirnya, setelah Indonesia hampir melakukan operasi militer besar dipimpin Mayor Jenderal Soeharto pada 1962, persetujuan dengan Belanda dicapai. Naskahnya ditandatangani di PBB bulan Agustus 1962, disaksikan oleh Sekjen U Thant. Salah satu ketentuannya: Indonesia wajib mengadakan "Penentuan Pendapat Rakyat" selambat-lambatnya tahun 1968, yang akan dilaporkan pada sidang Majelis Umum tahun berikutnya. Maka, di tahun 1969 itu ketua proyek Pepera '68 - Ali Moertopo - datang dengan stafnya, selain Menlu Adam Malik sebagai ketua delegasi. Menurut perkiraan waktu itu, masalah Pepera - berdasarkan laporan Sekjen PBB - akan dibicarakan sebagai soal rutin, paling lama dua jam. Ternyata, pembicaraan makan waktu dua hari penuh. Dan Indonesia diserang oleh beberapa negara Afrika sebagai "neokolonialis yang ingin menjajah Irian Barat". Akhirnya, di hari kedua, utusan Aljazair (yang pernah bertugas diJakarta sebagai Wakil Front Pembebasan Aljazair pada 1950-an, dan mendapat fasilitas cuma-cuma pemerintah RI melalui Sekjen Kementerian Luar Negeri Roeslan Abdulgani) angkat bicara. Tanpa teks, dalam bahasa Prancis yang lancar dan penuh semangat, ia berkata, "Bagaimana rekan-rekan saya dari Afrika dapat menuduh Indonesia neokolonialis? Ketika menyelenggarakan Konperensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia mengundang negara-negara Afrika, meskipun resminya belum merdeka. RI adalah negara yang lahir dan kancah revolusi, jauh sebelum negara-negara Afrika menjadi bebas. Lihatlah tangan Yang Mulia Wakil Tetap RI di PBB, sahabat saya yang baik, Dr. Roeslan Abdulgani. Tangannya itu cacat karena kolonialis Belanda ...." Dubes Roeslan Abdulgani lalu tampak berdiri dari kursinya, mengayunkan tangannya, menuju ke kamar kecil delegasi. * * * Apakah yang selalu saya ingat dari PBB. Mungkin pengalaman tahun 1961, ketika uang kantung saya - sebagai mahasiswa - sudah habis, dan tontonan paling murah dan informatif adalah sidang PBB. Masalahnya soal Kongo. Sekjen PBB Dag Hammarskyold (Swedia) dianggap terlalu aktif dan melampaui batas wibawanya. Ia diserang negara Blok Sosialis dan beberapa negara Afrika. Hammarskyold duduk tenang, mencatat pokok-pokok perdebatan. Akhirnya, ia menjawab lengkap. Ia tekankan pentingnya PBB dalam mengatasi situasi kacau yang mendekati anarki. Katanya, "Pada akhirnya, tujuan kegiatan politik adalah keamanan dan kesejahteraan manusia sebagai warga masyarakat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini