Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBANKAN kita belum belajar banyak dari krisis ekonomi delapan tahun lalu. Ketika itu perbankan kolaps, negara menyuntikkan dana sekitar Rp 600 triliun untuk menyehatkannya, dan sekarang sebagian bank mulai terperosok ke lubang yang sama: kredit macet. Kinerja perbankan kita belakangan menunjukkan tanda-tanda buruk itu.
Kesimpulan menyedihkan ini didapat dari audit Badan Pemeriksa Keuangan atas sejumlah kredit di Bank Mandiri belum lama ini. Ditemukan praktek pengelolaan yang tidak berhati-hati (prudent). Ini bukan hanya di Mandiri. Sebelumnya, ada soal kredit fiktif di Bank BNI dan sejumlah bank ditutup seperti Bank Global. Lalu ada kredit macet Rp 18,5 triliun yang mengendap di Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
Memang, Kejaksaan Agung sudah membawa sejumlah kasus tersebut ke pengadilan. Sebagian bahkan sudah divonis, seperti yang terjadi di BNI. Namun, yang lebih penting adalah mencegah hal yang sama terulang di kemudian hari.
Maka, majalah ini menganggap tepat langkah Bank Indonesia melakukan pencegahan belum lama ini. Bank sentral itu menerbitkan aturan untuk memberantas praktek perbankan yang lancung. Aturan baru yang dilansir itu mengenai penilaian kualitas aktiva bank umum, mengacu pada praktek perbankan internasional Basel II.
Inti dari aturan yang mulai diterapkan pada Maret 2005 ini adalah pengetatan pengucuran pinjaman. Bank tidak akan semudah dulu dalam memberikan kredit kepada debitor. Bank tidak gampang lagi mendanai suatu proyek bersama bank lain. Sebab, jika salah satu pinjaman tersebut bermasalah, hal itu akan menyeret pinjaman yang sama yang masih lancar di bank lain.
Dulu kredit dianggap macet jika debitor menunggak cicilan lebih dari 270 hari, kini menunggak 180 hari dianggap macet. Tentu aturan baru ini segera berdampak pada naiknya tingkat kredit seret perbankan. Lihat laporan keuangan Bank Mandiri per 31 Maret 2005. Sebagai bank besar yang pertama kali menerapkan aturan ini, kredit seret Mandiri pada Maret melonjak di atas 17 persen, padahal tiga bulan sebelumnya masih 7,1 persen. Pengelola bank akan dipaksa lebih hati-hati karena BI menetapkan non-performing loan (kredit bermasalah) maksimal hanya 5 persen.
Dalam jangka pendek akan banyak kesulitan bagi perbankan. Tapi semestinya perbankan melihatnya sebagai alat untuk mempertahankan dan memperkuat industri perbankan secara keseluruhan, seperti tujuan Bank Indonesia.
Aturan ini mungkin juga menghambat pengucuran kredit, terutama kepada korporasi besar. Tapi, mari kita menimbangnya dengan lebih adil. Penyaluran kredit diperlukan untuk menggerakkan sektor riil. Kita tahu persis, lambannya perputaran sektor riil menghambat perekonomian dan memperlemah daya serap tenaga kerja. Bagi perbankan, penyaluran kredit yang lebih besar juga akan membuat bank lebih sehat dan akan mengurangi ketergantungan pada obligasi pemerintahingatlah sebagian bank sudah disuntik obligasi rekap.
Penyaluran kredit yang hati-hati, selain mencegah korupsi di balik penghamburan kredit seperti terjadi pada masa lalu, juga mencegah bank-bank kolaps tertimbun kredit macet. Pemerintah juga akan selamat dari keharusan merogoh kantong lebih dalam dengan mengeluarkan obligasi rekap ratusan triliun rupiah. Pemerintah sekarang ini jelas akan kelimpungan jika harus menyuntikkan Rp 600 triliun untuk perbankan seperti dulu. Perekonomian kita bisa terpuruk dalam waktu yang panjang. Usaha Bank Indonesia memperketat kredit ini, betapapun pahitnya untuk dunia usaha, patut disokong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo