Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi
Bagaimana kita mengukur keberhasilan (atau kegagalan) pemilihan kepala daerah serentak yang akan diselenggarakan pada 9 Desember ini? Bisakah pilkada serentak yang merangkum 269 unit pemerintahan lokal kelak membawa perbaikan terhadap praktek demokrasi di tingkat lokal atau bahkan nasional?
Ide pilkada serentak yang berawal tiga tahun lalu di Indonesia bertolak dari dua alasan besar. Alasan pertama adalah efisiensi, yang bisa dipecah lagi menjadi dua: efisiensi anggaran dan efisiensi manajemen. Yang kedua adalah alasan yang bersifat substantif, yakni perbaikan kualitas demokrasi, atau lebih khusus lagi pelembagaan demokrasi presidensial. Kedua alasan ini bisa sekaligus dimanfaatkan sebagai mistar pengukur keberhasilan atau kegagalan pengadopsian ide pemilu serentak.
Dalam pernyataannya di media massa pada 4 Agustus 2012, Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri saat itu, menyodorkan alasan penghematan anggaran pemerintah. Alasan yang sama dilontarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2 September 2012 dan Center for Budget Analysis (CBA) pada 6 Mei 2015.
Meskipun ketiga pihak itu berbeda dalam hitungan matematis, semuanya menjadikan penghematan anggaran sebagai isu penting dalam pilkada serentak. Sementara itu, berkaitan dengan isu efisiensi manajemen pilkada, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu menganggap pilkada serentak lebih menjanjikan kemudahan dalam hal perencanaan, pengelolaan administrasi, dan pendistribusian logistik pemilu.
Lembaga pegiat demokrasi dan sejumlah pengamat politik memelihara harapan yang melampaui isu anggaran dan isu teknis. Mereka umumnya percaya bahwa pilkada serentak bisa memperkuat atau memperbaiki kualitas praktek demokrasi di tingkat lokal dan kelak—kalau bisa—di tingkat nasional.
Hari-hari ini kita sudah mendapat separuh jawaban. Anggaran penyelenggaraan gelombang pertama 269 pemilu serentak tahun 2015 ternyata jauh lebih besar ketimbang penyelenggaraan pilkada yang tak serentak. Perkiraan semula, anggaran pemilu serentak akan menurun hingga di bawah angka yang dulu mencapai Rp 5 triliun. Alih-alih turun, anggaran itu kini justru membengkak menjadi Rp 7 triliun. Ini adalah hasil penghitungan yang disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beberapa hari lalu.
Efisiensi manajemen pun ternyata tidak sepenuhnya bisa diraih karena, di banyak daerah, pencairan anggaran pilkada yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setempat terlambat. Keterlambatan ini sebagian karena timing pencairan anggaran digunakan inkumben untuk menekan kinerja KPUD dan panitia pengawas pemilu di daerah. Akibatnya, perencanaan dan penahapan yang semula sudah tertata menjadi kacau-balau pada proses pelaksanaannya.
Separuh jawaban lain, yang justru lebih penting, yakni tentang efek penyerentakan pilkada terhadap peningkatan kualitas demokrasi, masih perlu dieksplorasi. Sebab, di berbagai diskusi dan liputan media, gambaran kausalitas dan mekanik logika yang menghubungkan keduanya tidak selalu jernih dan kelewat abstrak.
Sesungguhnya para sarjana komparativis politiklah yang gemar mengotak-atik hubungan kausal antara institusi kepemiluan dan kualitas demokrasi. Mereka percaya bahwa perubahan institusi pemilu akan membawa dampak penting pada sejumlah aspek demokrasi yang lebih spesifik, misalnya kinerja pemerintahan, kinerja partai politik, dan perilaku pemilih.
Perubahan sistem pemilu dari jadwal yang terpisah menjadi serempak diprediksi akan membawa perbaikan pada sejumlah aspek dari praktek demokrasi tersebut. Tapi ide asli pemilu serentak—yang dalam ungkapan aslinya disebut concurrent elections—yang dimodelkan oleh para komparativis politik sedikit berbeda dengan ide pilkada serentak yang sedang dilaksanakan di Indonesia tahun ini. Keserentakan pemilu yang mereka maksudkan adalah keserentakan antara pemilu eksekutif dan legislatif nasional dalam sebuah sistem presidensial.
Di tingkat lokal, keserentakan itu kemudian disepadankan dengan bersamaannya penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan pemilu legislatif tingkat lokal.
Di berbagai negara yang menganut sistem presidensial, pemilu serentak atau concurrent elections yang seperti itulah yang diadopsi. Sejumlah negara Amerika Latin mengadopsi pemilu serentak ini—dan Brasil menjadi kasus yang banyak dipelajari sebagai basis perbandingan. Tujuannya adalah memperlebar kemungkinan munculnya sebuah mayoritas di parlemen. Efek lanjutannya, dengan munculnya mayoritas di parlemen, kepala pemerintahan akan mendapatkan dukungan mayoritas yang memadai di parlemen ketika eksekutif menjalankan pemerintahan.
Logika yang menopangnya bersandar pada sebuah mekanik yang disebut coattail effect. Kandidat eksekutif yang memiliki daya tarik elektoral kuat akan mendorong pemilih dalam pemilu legislatif memilih partai yang sama dengan partai sang kandidat eksekutif.
Kalau pilihan dalam pemilu legislatif adalah susunan atau daftar kandidat, pemilih juga terdorong memilih kandidat yang berasal dari partai yang sama dengan kandidat eksekutif. Intinya, coattail effect bersandar pada kemampuan kandidat eksekutif (dalam pemilu eksekutif) membawa pengaruh pada perilaku pemilih di pemilu legislatif, yang diikuti dengan terbukanya peluang yang lebih besar bagi terbentuknya sebuah mayoritas di parlemen.
Variasi dari coattail effect ini juga bisa muncul jika pemilu eksekutif diselenggarakan mendahului pemilu legislatif dengan jarak yang pendek, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dan di sejumlah negara Amerika Latin.
Kalau kita kontraskan dengan pilkada serentak yang akan diselenggarakan di Indonesia pada 9 Desember, situasinya sedikit berbeda. Desain pilkada serentak besok tidaklah mirip dengan desain standar pemilu serentak dan tujuan pokok yang hendak diraih. Pilkada serentak ini hanya memilih eksekutif (gubernur, bupati, dan wali kota). Sementara itu, di tiap daerah yang pilkadanya diserentakkan, lembaga legislatif atau DPRD sudah jauh terbentuk pada April 2014.
Akibatnya gampang diduga: efek yang diharapkan hadir melalui mekanisme coattail effect dalam pilkada serentak sekarang ini tak akan terbentuk. Dengan demikian, probabilitas munculnya mayoritas di berbagai DPRD itu mustahil belaka. Kinerja demokrasi di tingkat lokal yang diukur dari kemudahan kepala daerah mendapatkan dukungan mayoritas di DPRD tak bisa diharapkan.
Namun di sini sebuah catatan khusus perlu diberikan. Bekerjanya mekanisme coattail effect dalam pemilu serentak mengandaikan bahwa faktor utama pembentuk perilaku pemilih adalah kandidat (dan partai) yang memiliki daya tarik personal dan programatik. Situasinya akan jauh berbeda jika faktor uang dimasukkan ke model untuk memprediksi perilaku pemilih. Diungkapkan berbeda, faktor uang bisa membelokkan secara drastis pilihan-pilihan politik pemilih.
Segera harus dikatakan di sini bahwa pengadopsian model pilkada serentak tidaklah mengurangi—apalagi mencegah—terjadinya politik uang. Informasi yang dikumpulkan para surveyor di lapangan menjelang perhelatan pilkada serentak justru mengabarkan sebaliknya. Jumlah pemilih yang menganggap politik uang itu sebagai sebuah kewajaran dan bisa diterima kini justru meningkat.
Ringkasnya, pengadopsian sistem pemilu serentak pada tahun ini tidak serta-merta menyelesaikan problem politik uang. Gelombang pilkada serentak berikutnya masih akan menghadapi problem yang sama. Sementara penghematan anggaran tampaknya tidak tercapai, keberhasilan manajemen masih setengah-setengah. Yang lebih penting, efek rekayasa keserentakan pemilu terhadap perbaikan kualitas demokrasi dalam wujud kinerja pemerintahan lokal yang membaik sepertinya tak tertangkap juga. l
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo