Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I.Wibowo
Kepala Pusat Studi Cina, Jakarta
Cerita tentang kegilaan pada masa Revolusi Kebudayaan di Cina seakan tak habis-habisnya. Pada 1966, seorang teman saya ditampar oleh Pengawal Merah hanya karena ia tidak mampu melafalkan kata-kata Mao dengan lancar. Ia ditampar sampai hampir pingsan. "Kamu tidak boleh melupakan kata-kata Mao," bentak si pemuda, garang. Seperti diketahui, kata-kata Mao pada masa itu sudah dihimpun dan diterbitkan dalam buku kecil bersampul merah, sehingga terkenal dengan sebutan "Buku Merah".
Kata-kata Mao memang pernah menjadi "ayat suci" di seluruh Cina. Orang bertengkar soal ayam seraya mengutip kata-kata Mao. Suami menghujat istrinya tanpa lupa menyebut kata-kata Mao. Dalam hal menghancurkan lawan politik, menyitat kata-kata Mao dianggap sangat efektif. Ketika Mao mengatakan, "Revolusi bukan acara makan minum," hal itu langsung ditafsirkan secara ekstrem: demi revolusi, segala kekerasan dihalalkan.
Setelah Mao wafat, ritus radikal seperti itu lenyap. Tapi tidak berarti bahwa kebiasaan mengutip kata-kata pemimpin telah berhenti. Memang, Deng Xiaoping pada awal "reformasi" berusaha keras melenyapkan kultus individu. Deng sendiri tidak membiarkan rakyat memuja-muja dirinya, seperti yang mereka lakukan terhadap Mao. Tapi, menjelang akhir hayatnya, pidato Deng ternyata telah diterbitkan tiga jilid. Kata-katanya juga dimistikkan oleh anggota Partai Komunis Cina (PKC). Salah satu ucapan Deng yang sering dikutip berbunyi, "Sosialisme itu tidak sama dengan kemiskinan." Dengan kata-kata yang dianggap mukjizat ini, orang membangun jalan raya, pabrik, bahkan mengeruk untung. Karena sosialisme bukan berarti kemiskinan, menumpuk kekayaan itu dihalalkan.
Ketika "reformasi" di Cina mengalami kemacetan pada awal 1990-an, orang bingung mencari kata-kata yang tepat yang pernah diucapkan Deng. Hal ini rupanya tidak mudah karena Deng tak pernah berkomentar mengenai topik itu. Lalu pada awal 1992 Deng melawat ke Shenzhen dan berbagai kota di Cina Selatan. Dalam perjalanan ini Deng mengucapkan kata-kata: "Kalau mau melaksanakan 'reformasi dan keterbukaan', harus melaksanakannya dengan penuh keberanian. Jangan melakukannya dengan langkah seperti wanita berkaki kecil."
Mendengar itu, para petinggi PKC serentak mengubah haluan. Mereka tidak lagi ragu-ragu menggerakkan reformasi dan ekonomi pasar (kapitalisme). Sedemikian bersemangat mereka menjalankan shichang jingji (ekonomi pasar), sampai ekonomi Cina pada tahun-tahun itu melaju 12 persen per tahun. Orang-orang segera mengakui betapa mujarabnya ucapan Deng, yang sekarang dikenal sebagai "ucapan nan-xun" atau ucapan perjalanan ke selatan itu. Tanpa sepenuhnya disadari, sejak itu terjadilah proses sakralisasi atau mistifikasi kata-kata Deng, yang mungkin sekali luput dari pemantauan Deng yang sangat anti-kultus individu itu.
Kini semua ajaran Mao Zedong telah dimistikkan dan disebut "pikiran Mao Zedong" (Mao Zedong sixiang), sementara ajaran Deng Xiaoping dinamai "teori Deng Xiaoping" (Deng Xiaoping lilun). Pada 1997, kongres PKC ke-15 secara resmi mengakui "teori Deng Xiaoping" sebagai pembimbing rakyat Cina. Dengan demikian, status Deng Xiaoping diangkat sejajar dengan Mao Zedong sebagai sumber ajaran dan ideologi negara.
Kebiasaan menerbitkan "kumpulan karangan" ini terus berlanjut. Pemimpin partai yang tertinggi sekarang, Jiang Zemin, pada 1 Februari 2000 menerbitkan kumpulan karangan berjudul Mao Zedong, Deng Xiaoping, dan Jiang Zemin Mengenai Pekerjaan Ideologi Politik. Tetapi orang terperangah melihat buku itu.
Apa yang ingin diajarkan oleh Jiang? Salah satu alasan menerbitkan buku semacam ini adalah karena Jiang, katanya, telah "Meneruskan dan memperkaya pemikiran pemimpin generasi pertama dan generasi kedua di bidang pekerjaan ideologi politik." Tentu ada yang bertanya, memperkaya dengan apa? Soalnya, sejauh ini memang belum ada kata-kata Jiang yang "pantas dikutip" dan dijadikan mantra. Pada kongres PKC terakhir, 1997, ketika diharapkan mengeluarkan kata-kata penuh mantra, Jiang hanya mengucapkan "sosialisme pada tahap awal". Ini pun bukan kata-katanya sendiri. Adalah Zhao Ziyang, mantan sekjen PKC yang digantikannya sepuluh tahun lalu, yang mengemukakan teori itu. Selain itu, banyak kader partai di desa yang terang-terangan mengungkapkan kekesalannya terhadap "ajaran" Jiang tentang "pendidikan sosialis"—sebuah kampanye yang telah dilancarkan sejak ia berkuasa.
Tentu tak salah kalau Jiang meniru Mao dan Deng. Masalah timbul karena walaupun Jiang mengucapkan "kata-kata mutiara", toh tak ada yang mendengarkan. Tapi Jiang masih terus berpesan dan berpetuah. Orang pun menduga-duga. Apakah Jiang berambisi untuk didewakan seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping? Mungkinkah ia ingin menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang kini tengah mengintai posisinya?
Jiang barangkali lupa bahwa zaman sekarang tidak sama dengan zaman Mao atau jaman Deng. Dua puluh tahun lalu, rakyat biasa masih dapat diyakinkan dengan sebuah teks. "Kata-kata Mao" atau "kutipan Deng" masih dapat diperlakukan sebagai teks yang dianut dengan tafsir harfiah. PKC, yang pada dasarnya juga berdiri di atas asas fundamentalisme, secara naif memaksakan ajaran dan tafsirnya untuk semua orang. Di dunia yang makin mengglobal, dan karenanya memplural seperti sekarang, amat sulit bagi sebuah partai atau seorang tokoh untuk menuntut kepatuhan rakyat berdasarkan sebuah teks tunggal dan tafsir tunggal. Karena itu, Jiang Zemin atau siapa pun sebaiknya berpolitik secara lebih sophisticated. Adapun cara-cara fundamentalisme memang amat menggoda dan memerlukan sedikit biaya, tapi tak bermanfaat karena tidak lagi efektif. Zaman sudah banyak berubah, juga di daratan Cina sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |