Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaim Saidi
Penulis bekerja di Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), tengah melakukan penelitian dan studi kasus kedermawanan sosial di Indonesia
TIDAK sedikit yang beranggapan bahwa The Habibie Center (THC)—diresmikan pekan lalu—adalah manifestasi dari upaya B.J. Habibie untuk kembali ke kancah publik. Lebih dari itu, ada pula yang menduga bahwa THC akan dijadikan kendaraan politik yang baru oleh mantan presiden Habibie dan para pendukungnya. Orang lalu mereka-reka: apa agenda tersembunyi di balik pendirian THC?
Semua praduga itu dibantah keras oleh para eksponen THC. Lembaga ini dideklarasikan sebagai "lembaga independen, nonpemerintah, dan nonprofit" sebagaimana lazimnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya. Serta-merta kehadiran THC membuat sosok belasan ribu LSM lain yang telah lama berkiprah tampak bagaikan "LSM gurem". Memang, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, THC terlihat bagaikan cikal-bakal sebuah LSM raksasa.
Pendirian THC sendiri mungkin sekali diilhami oleh The Carter Center—lembaga yang didirikan dan dipimpin oleh Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (1977-1981). Tapi keduanya sungguh berbeda. Carter merintis pendirian The Carter Center menjelang akhir masa jabatannya sebagai presiden, Oktober 1981, dengan membangun sebuah perpustakaan, Carter Library Inc. Dananya berasal dari sumbangan para dermawan, baik perorangan maupun perusahaan, termasuk Coca-Cola dan YKK, sampai Lions Club. Raja Fahd dari Arab Saudi juga tercatat sebagai salah satu donaturnya. Kini, dengan staf yang berjumlah sekitar 200 orang dan anggaran tahunan US$ 27,6 juta, Carter Center aktif di 112 negara. Itu semua dicapai dalam waktu hampir 20 tahun. Bahkan, program demokrasinya pun—membuat Carter Center populer di Indonesia (karena memantau Pemilu 1999 dan jajak pendapat di Timor Timur)—baru dimulai pada 1997.
Bagaimana THC? Lembaga ini langsung "menggebrak", menaungi enam lembaga besar. Bidang yang digarapnya beragam: hak asasi dan demokrasi, pengembangan media, kemaritiman, teknologi, informasi, dan sumber daya manusia. Jumlah stafnya barangkali sudah puluhan. Dana THC, kabarnya mencapai US$ 50 juta, hampir sepenuhnya dari kocek Habibie. Memang, pendiri resmi THC adalah Habibie, beserta istri dan anak-anaknya, dan didukung oleh adik-adiknya.
Jadi, THC lebih mirip organisasi multiguna (multipurpose foundation), yang didirikan dan dikelola oleh para dermawan besar, seperti dirintis oleh Henry Ford, Dale Carnegie, atau John D. Rockefeller, pada awal abad ke-20 di Amerika. Cuma, mereka umumnya memfokuskan diri sebagai lembaga dana (grant making foundation) bagi lembaga lain yang menjalankan kegiatan yang umumnya dikenal sebagai LSM itu.
Memang, dibandingkan dengan lembaga filantropis dunia yang ada sekarang, THC belum setara. Ambillah yang termutakhir dan terbesar kini, Bill & Melinda Gates Foundation, yang didirikan dan dikelola oleh keluarga besar Bill Gates sejak 1994. Jumlah dana abadinya kini mendekati US$ 20 miliar. Anggaran tahunannya (1999) mencapai US$ 2,6 miliar. Atau yang relatif lebih kecil, Soros Foundations Network, yang dirintis oleh George Soros sejak 1979, lewat Open Society Fund-nya. Lembaga ini kini aktif di 31 negara, dengan fokus utama di wilayah Eropa Timur dan Rusia. Anggaran tahunannya sekitar US$ 575 juta.
Tentu tidak adil membanding-bandingkan ketiga lembaga itu. Bahkan, dilihat dari sisi perkembangan filantropisme modern di Indonesia, langkah B.J. Habibie adalah sebuah kepeloporan. Hanya, patut diingat, di banyak negara maju itu, filantropisme berkembang pesat karena didorong oleh motif yang lebih pragmatis: pengurangan atau pembebasan pajak. Bahkan, lebih jelek dari itu, ini dijadikan semacam "politik etis" untuk tindakan-tindakannya. Karena itu, pada umumnya kaum filantropis adalah industriwan. Semakin besar aset dan keuntungannya, semakin kaya pemiliknya dan semakin besar lembaga dermanya. Tentu ada tujuan yang lebih penting dari itu, yakni kebebasan warga negara dalam mengelola dana sosialnya sendiri—jadi, tidak sepenuhnya menyerahkan kepada negara dalam bentuk pajak.
Di Indonesia, kebijakan seperti itu belum ada. Di masa lalu, potensi kedermawanan kaum industriwan dan pengusaha negeri ini bahkan "dibajak" oleh "yayasan-yayasan Cendana", yang kini menjadi bahan penyidikan utama bagi pihak kejaksaan untuk mengusut mantan presiden Soeharto. Sungguh ironis, di bawah Orde Baru, kegiatan berkedok filantropi secara leluasa bisa mengumpulkan dan menyalurkan dana triliunan rupiah, sementara filantropi sejati tak bisa berkembang.
Sampai titik ini, belum jelas apakah THC akan sekadar berperan sebagai lembaga dana atau terus mengikuti jalan yang dilalui The Carter Center, sumber inspirasinya. Kalau langkah kedua ini yang ditempuh, untuk bisa terus menjalankan kegiatannya, THC juga perlu melakukan penggalangan dana dari pihak lain, meskipun tidak harus. Dengan demikian, karakternya sebagai "yayasan keluarga" juga harus dihilangkan.
Terlepas dari jalan yang dipilih, dan segunung ambisi yang dipupuknya, kehadiran THC sepantasnya menyadarkan kita akan pentingnya mengembangkan kedermawanan sosial yang dikelola secara modern di negeri ini. Semakin subur perkembangan kedermawanan ini, masalah sosial semakin dapat teratasi dan kehidupan masyarakat madani juga akan lebih baik. Sebab, sebagian dari potensi otoritarian negara dalam mengelola urusan kemasyarakatan dapat dikurangi.
Salah satu cara efektif untuk itu, sebagaimana diteladankan di banyak negara, adalah dengan mengaitkan kebijakan pajak. Seseorang atau perusahaan yang memberikan sumbangan sosial seyogianya diberi keringanan pajak. Kebijakan yang transparan seperti ini juga akan mencegah suburnya praktek "pemalakan ala Cendana" seperti diuraikan di atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |