Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menguji Kelayakan Para Hakim

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Insan Budi Maulana
Pengamat masalah hukum, tinggal di Jakarta

SALAH seorang hakim pengadilan negeri dari sebuah kota perajin payung di Jawa Barat menyangsikan manfaat dari mutasi para hakim daerah ke Jakarta. Hakim ini tidak yakin bahwa mutasi itu bisa memperbaiki citra peradilan yang sudah sedemikian buruk. Soalnya, kepindahan hakim daerah ke Jakarta dilakukan berdasarkan rekomendasi hakim agung yang saat ini sangat disangsikan integritasnya. Di sisi lain, belum tentu hakim daerah itu terdiri atas orang-orang yang bermoral dan memiliki integritas tinggi. Pendek kata, sang hakim melihat bahwa mutasi hakim itu tak ubahnya mengganti ''pakaian kotor" dengan ''pakaian kotor" yang lain. Diperkirakannya, rencana itu hanya akan meratakan kesempatan untuk memanipulasi kekuasaan hakim serta menciptakan bentuk baru korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Ia begitu khawatir karena di antara hakim daerah yang akan diusulkan pindah ke Jakarta, reputasinya jelas-jelas cacat sehingga tidak lebih baik dari hakim-hakim Jakarta yang akan dipindahkan ke daerah. Ia pun berpikir, alangkah baiknya kalau fit and proper test dilakukan tidak hanya untuk direktur badan usaha milik negara (BUMN) atau bankir, tapi juga untuk hakim. Masalahnya, penegakan hukum yang berkeadilan telah menjadi harapan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Bicara tentang praktek KKN, sesungguhnya mencegah penyalahgunaan kekuasaan di lembaga peradilan, termasuk tindakan represif untuk menetapkan sanksi terhadap aparat di lembaga yudikatif, bukanlah hal yang terlalu sulit. Tentu saja upaya itu harus direncanakan, dibuatkan sistemnya yang benar, serta dilaksanakan secara istikamah atau konsisten.

Pertama, kembangkan sistem evaluasi atas kerja para hakim, baik yang bertugas di Jakarta maupun di daerah. Ini dapat berupa pencatatan atas perkara-perkara yang ditangani dan putusan-putusan yang ditetapkan selama hakim tersebut bertugas. Apakah putusan itu janggal atau sudah sesuai dengan logika hukum dan berkeadilan? Ataukah putusan itu kontroversial dan menyinggung rasa keadilan karena ganjil atau bertentangan dengan hukum? Sebab, bagaimanapun, putusan yang berkeadilan harus sesuai dengan logika serta akal sehat, selaras dengan ketentuan hukum, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku di masyarakat. Dengan menguji vonis, akan diketahui apakah hakim telah melakukan KKN atau tidak. Kemudian, putusan-putusan itu harus dibukukan sehingga masyarakat dapat mengetahui, mempelajari, dan menilainya. Cara ini dilakukan di negara-negara yang mengutamakan supremasi hukum, sehingga memudahkan masyarakat melakukan kontrol.

Selama ini, putusan pengadilan hanya diberikan kepada para pihak yang beperkara. Karena itu, jangan harap badan peradilan akan membukukannya dan kita dapat meminta salinan putusan itu dengan mudah. Sesama hakim saja sulit meminta salinannya, apalagi anggota masyarakat yang tidak terlibat dalam perkara. Kesulitan mencari data itu bukan hanya terjadi di tingkat pengadilan negeri, tapi juga hingga tingkat Mahkamah Agung. Jangankan meminta putusan pengadilan 20 tahun yang lalu, bahkan putusan perkara yang ditetapkan dua tahun lampau saja akan sulit ditemukan.

Kedua, laporkan dan serahkan data harta kekayaan yang dimilikinya serta jumlah pajak yang dibayarnya kepada DPR atau DPRD. Laporan itu hendaknya diserahkan sebelum ia menjabat sebagai hakim di kota tertentu. Laporan itu harus dibuat setiap tahun, juga saat ia meninggalkan jabatan hakim.

Ketiga, dengan persyaratan tersebut—selayaknya berbentuk undang-undang atau kini, karena begitu mendesak, dapat berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)—DPR, Mahkamah Agung, dan pemerintah diberi wewenang untuk menguji calon-calon hakim yang akan ditempatkan tidak hanya di Jakarta, tapi juga di kota besar lainnya. Selain pengujian atas integritas dan kinerjanya, tercakup juga penilaian atas pengetahuannya di bidang hukum.

Tentu saja fit and proper test ini bukanlah pengganti penelitian khusus (litsus) yang mengedepankan masalah politis. Pengujian seyogianya lebih bersifat terbuka dan memberikan kesempatan kepada hakim dari daerah mana pun, sepanjang memenuhi syarat minimal, misalnya telah berkarir sebagai hakim selama 10 tahun. Dengan sistem yang terbuka itu, akan terdapat perlombaan dan persaingan antara para hakim yang lebih mengutamakan moralitas, reputasi, serta harga diri dan para hakim yang mementingkan ''berapa harga untuk dirinya."

Dengan penerapan sistem pengujian di atas, mafia peradilan akan terkikis secara bertahap. Cara pengujian seperti itu juga akan memutus garis edar sebuah joke di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam kelakar itu, dikisahkan tentang seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyiapkan ''dua peti mati": peti mati pertama untuk dirinya dan peti mati kedua akan diisi uang untuk sesajen agar ia dapat menjadi hakim di akhirat kelak. Harus diakui, lelucon ini memiliki humor yang pekat. Namun, kita juga menyadari, yang lebih diperlukan sekarang bukan humor, melainkan hakim-hakim berdedikasi tinggi, yang hanya berkiblat pada kebenaran, dan tak ada yang lain kecuali kebenaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum