Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN kiamat bila Pengadilan Tinggi Jakarta menolak banding Kejaksaan Agung mengenai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ihwal gugatan praperadilan atas penghentian penuntutan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Yang merisaukan justru langkah lanjutan kejaksaan memilih opsi peninjauan kembali. Tindakan ini berarti membiarkan kembalinya status tersangka kedua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Peluang kaum antipemberantasan korupsi untuk berusaha kembali meremukkan KPK menjadi terbuka lebar.
Niat jahat itu tiada henti mengusik KPK. Tudingan bahwa Bibit dan Chandra menerima suap dan menyalahgunakan wewenang timbul karena ada yang menghendaki komisi tersebut menjadi lembek-kalaupun tak lumpuh. Kasus ini sempat diproses kejaksaan dan bahkan telah siap dilimpahkan ke pengadilan, sebelum akhirnya dihentikan. Anggodo Widjojo, pengusaha dengan koneksi luas di lingkungan pejabat penegak hukum, kini sedang menjalani sidang di pengadilan karena didakwa telah merekayasa tudingan ini.
Kasus Anggodo merupakan salah satu alasan mengapa kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, jika pengesampingan perkara (deponering) yang ditempuh, demi asas kesetaraan, kasus Anggodo juga harus diperlakukan serupa. Peninjauan kembali, katanya, konsisten dengan penghentian penuntutan, yang telah dibatalkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Alasan ini aneh, karena yang justru masih dalam satu garis "logika" yang benar adalah pengesampingan perkara.
Satu hal yang jelas: tak ada orang waras di negeri ini yang akan membiarkan KPK diobrak-abrik. Bukan karena Bibit dan Chandra atau pribadi-pribadi lain di sana. Tapi, jika dicermati gelagatnya, soalnya adalah siapa saja pimpinan yang teguh menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pastilah menghadapi gangguan yang sama. Karena itu, alasan mendasar yang harus ditegaskan adalah demi menjaga dan mempertahankan KPK.
Dengan tercemarnya integritas lembaga-lembaga penegak hukum, KPK merupakan benteng terakhir dalam perang besar melawan korupsi di negeri ini. Tanpa keberadaannya, kita hanya akan bermimpi terus untuk bisa bebas dari usaha perampokan kekayaan negara. Proses penghancuran hanya mungkin dihentikan bila aneka serangan terhadap KPK dinihilkan. Mencegah kekosongan kursi pimpinan lembaga superbodi itu menjadi keniscayaan.
Kini kekuasaan untuk memutuskan ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Boleh dibilang ini kembali ke posisi seperti ketika kejaksaan dianggap terlalu memaksakan penyidikan terhadap Bibit dan Chandra. Waktu itu, karena desakan kuat dari masyarakat dan demi mencegah mudarat, Presiden akhirnya meminta kasusnya tidak dibawa ke pengadilan. Kali ini ada bedanya: Presiden sendiri yang justru bisa mewujudkannya, karena masih dalam ranah kekuasaan Presiden, yakni dengan menangguhkan penonaktifan mereka.
Langkah itulah yang, menurut Denny Indrayana, penasihat Presiden bidang hukum, memang ditempuh Presiden. Tapi batas waktunya hanya sampai saat keluar keputusan final Mahkamah Agung, yang bisa saja lebih cepat ketimbang sisa masa jabatan Bibit dan Chandra. Jika hal buruk ini terjadi, sebaiknya Presiden menunda eksekusinya. Penonaktifan kedua tokoh ini mestinya diperpanjang hingga pimpinan baru terpilih. Jurus terakhir inilah yang kudu dipilih Presiden, jika memang peduli terhadap peran penting Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo