SEJAUH manakah seseorang dapat dihukum Seorang anak membuat angket. Ia mengedarkan sejumlah pertanvaan kepada teman-temannva, di suatu sekolah menengah atas, tentang perilaku seksual mereka. Semua itu dilakukannya hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu. Tapi sebuah berkala di kota itu mendengar, lalu memuat hasil angkct keeil itu. Sambutan ramai, mungkin heboh. Lalu pejabat pemerintah paling penting di kota itu pun merasa perlu bertindak. Si anak dihukum. Anak itu dengan sedih meninggalkan sekolahnya - sebuah sekoiah negeri yang terkemuka. Kita tak tahu persis adakah dia juga dilarang memasuki sekolah negeri yang lain. Kemungkinan itu ada: Si anak yang dlhukum itu terpaksa masuk sebuah sekolah swasta yang menyediakan jam belajar malam hari. Haruskah si anak ditekan agar keluar dari sekolahnya - dan pintu semua sekolah negeri di kota itu ditutup untuknya? Bukankah dia dinyatakan bersalah hanya karena membuat penelitian "tanpa izin"? Orang pun ramai mengecam hukuman yang dikenakan pada si anak. Tapi sia-sia. Pejabat pendidikan itu membela diri di depan umum. "Apa sikap saya ini tidak mendidik, tanyanya. Tampaknya ada kepercayaan yang teguh dan tua bahwa menghukum merupakan bagian dari mendidik. Hukuman adalah - pendidikan. Kita merasa tak punya amarah. Jengkel dan dendam disembunyikan baik-baik di lipatan kopiah yang kita kenakan sebagai tanda orang arif dan baik budi. Kita takut pada monyet yang akan keluar dari lengan baju kita - monyet dengan separuh wajah kita. Hipokrisi ? Tentu. Tapi kita mungkin, seraya menyelamatkan diri dengan kemunafikan, dan tak jujur benar, kita mungkin sedang menyesuaikan diri dengan waktu. Kita membentuk, sedikit demi sedikit, sendi-sendi kehidupan yang tidak lagi terasa runcing dan kasar. Dengan kata lain, sebuah peradaban. Hipokrisi bisa juga jadi sejenis ragi. Dengan itulah makin lama tak pernah diumumkan sebagai tindakan destruktif - biarpun waktu kita melubangi kepala seseorang dengan pelor. Hukuman dirumuskan sedemikian rupa hingga seperti imbauan kepada rasa keadilan. Terjemahannya: ia ingin diterima sampai orang banyak manggut-manggut. Tapi dari situ pulalah timbul persoalan hak. Agaknya itulah yang menyebabkan diskusi terjadi ketika seorang anak yang menycbar angket di sekolahnya dltekan untuk pindah. Dan jelas itu pula sebabnya orang ramai mengecam ketika Yustedjo Tarik dengan alasan melanggar "disiplin" - dilarang pergi ke iuar negeri dan bahkan diharamkan jadi pelatih. Kita sedang mencari-cari mana hukuman yang bisa disebut "pendidikan" dan mana hukuman yang hanya kelanjutan rasa jengkel yang merusak. Kita sedang mencari kesepakatan. Tentu saja kesepakatan itu tak bakal pernah langgeng: yang kita sepakati kini belum tentu disepakati orang lain besok. Masyarakat yang hidup barangkali sebuah masyarakat yang bisa terus-menerus melakukan tawar-menawar tentang rasa keadilan, tentang hak. Layakkah seorang anak muda yang membaca sajak tentang korupsi dicap Pak Camat sebagai pelaku "subversi"? Pantaskah seorang bekas tidak setuju kepada pemerintah harus dikucilkan bahkan sampai dari acara resmi ? Benarkah seorang bekas penjahat serta merta diperlakukan sebagai calon penjahat dan seorang bekas pemberontak sebagai calon pemberontak? Denan kata lain: sejauh manakah seseoranh dapat dihukum - dan dapat menghukum ? Sejarah manusia barangkali juga sejarah tawar-menawar dengan tema itu. Lalu lahirlah peradaban. Mereka yang membaca Perjanjian Lama konon terkesima bagaimana Yahwe mengancam hukuman yang paling sakit bagi manusia yang berdosa serta lalai. Tapi Musa, tiap kali, meminta-Nya agar hal itu jangan terjadi. Musa sekaligus mewakili suara manusia yang tahu batas kedaifannya. Ia juga suara dari sesuatu yang kemudian berlaku untuk zaman yang penuh ketidakpastian, tapi selalu dibayang-bayangi kesewenang-wenangan. Yakni, bahwa manusia tidak identik dengan kesalahannya. Karena itu, bila hukuman mulai lupa batasnya yang paling dekat, pilihan yang tinggal ialah: orang harus saling menghancurkan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini