Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa patut dicurigai. Pasalnya, klausul utama yang hendak diubah adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa, dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Pada saat yang sama, DPR juga meminta penambahan alokasi dana desa sebanyak 20 persen dari total dana transfer daerah. Dibahas delapan bulan menjelang Pemilu 2024, ada indikasi revisi UU Desa ini merupakan upaya partai politik mengamankan basis suaranya masing-masing di level desa.
Aroma politis dari revisi ini tercium santer dari proses perubahan UU Desa yang amat tergesa-gesa. Dalam Program Legislasi Nasional tahun ini, rencana revisi sama sekali tidak disebut. Angin mendadak berubah setelah ratusan kepala desa menggelar unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen Senayan pada Januari 2023. Perpanjangan masa jabatan kepala desa dan penambahan alokasi dana desa adalah dua tuntutan utama mereka. Gelombang dukungan atas usul ini di Senayan kian besar ketika Presiden Joko Widodo memberi sinyal mendukung revisi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR beralasan revisi UU Desa mendesak untuk dilakukan, sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim di lembaga yudisial tersebut memang baru menolak gugatan judicial review soal pembatasan masa jabatan kepala daerah pada Maret 2023. Menurut MK, adalah kewenangan DPR untuk membuat aturan soal panjang-pendeknya masa jabatan kepala desa. Gayung bersambut. Namun, tak bisa dimungkiri, ketika banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang lain tak diindahkan DPR, kesigapan Senayan untuk mempersiapkan revisi UU Desa menerbitkan banyak tanda tanya.
Apalagi, dalam proses perumusan, Panitia Kerja DPR bergerak secepat kilat. Hanya dalam dua pekan pembahasan sejak 19 Juni hingga 3 Juli 2023, DPR menyepakati 19 poin dalam revisi RUU Desa. Termasuk di dalamnya adalah klausul pembatasan masa jabatan hingga kenaikan alokasi dana desa. Yang unik, DPR meminta alokasi biaya tambahan dana desa diambilkan dari 20 persen total dana transfer daerah. Padahal, sebelumnya DPR menolak kebijakan kuota anggaran dalam omnibus law RUU Kesehatan dengan alasan tak mau mempersempit ruang fiskal pemerintah.
Ketergesa-gesaan dan inkonsistensi sikap DPR ini diduga berhubungan erat dengan fenomena klientelisme dalam politik di Indonesia. Fenomena ini makin kasatmata pada saat pemilihan umum. Praktik demokrasi elektoral yang terbuka setelah reformasi mendorong mobilisasi politik secara klientelistik dan relasi ini bersifat timbal balik. Seorang kandidat politikus harus berhubungan dengan kelompok penyedia dukungan di akar rumput, seperti ketua adat, kepala desa, maupun tokoh masyarakat, untuk bisa memperoleh dan menjaga dukungan dari bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klientelisme atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa demi dukungan politik. Jejaring klientelisme di satu daerah bisa menjadi struktur mobilisasi dukungan untuk seorang calon legislator atau kandidat lain. Hubungan politik menjadi sangat dinamis karena pembangunan jaringan informasi bisa dilakukan oleh siapa pun, tanpa membawa kepentingan politik apa pun. Karena itu, revisi Undang-Undang Desa jelas merupakan sebuah kemunduran. Aturan ini hanya melestarikan klientelisme sebagai jalur formal dalam politik patronasi dan pembelian suara dalam pemilihan umum. Revisi Undang-Undang Desa telah memberikan gula-gula kepada para kepala desa dengan perpanjangan masa jabatan dan kenaikan alokasi dana desa. Melalui klientelisme, kalangan politikus akan lebih mudah mengontrol birokrasi dan kepala desa.
Sulit pula menafikan bahwa praktik klientelisme menjadi pemicu berkembangnya politik uang dan premanisme politik. Klientelisme rentan menciptakan korupsi karena praktik ini menekankan pada pertukaran sumber daya dalam pembelian suara pemilih. Kandidat politikus memberi uang, sementara pemimpin daerah menyediakan dukungan politik berbentuk suara pemilih. Mekanisme koruptif ini kemudian dipertahankan untuk menjaga loyalitas basis konstituen. Dalam konteks itulah, revisi UU Desa jadi bermasalah. Pasalnya, satu-satunya motif DPR yang masuk akal untuk mendorong revisi UU Desa adalah momentum pemilu. Partai politik perlu mengamankan suaranya sejak jauh-jauh hari.
Di atas kertas, tak ada alasan mendesak sebenarnya untuk merevisi Undang-Undang Desa. Masa jabatan kepala desa selama enam tahun dalam satu periode lebih dari cukup. Masa jabatan kepala desa bahkan lebih lama daripada presiden, kepala daerah, ataupun pemimpin sejumlah lembaga negara. Alasan penambahan masa jabatan kepala desa untuk mencegah konflik setelah pemilihan kepala desa juga keliru. Sebab, konflik justru berpeluang terjadi jika masa jabatan kepala desa semakin lama.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa juga akan membuat kepala desa rentan menyalahgunakan wewenang dan melakukan korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 676 perangkat desa yang terseret kasus korupsi pada periode 2015-2020. Jumlah itu ironisnya bertambah sepanjang 2021 sebanyak 363 orang yang terjerat kasus korupsi. Keinginan menaikkan alokasi dana desa juga tak tepat. Tidak ada jaminan pula alokasi dana desa yang besar akan mampu meningkatkan pemberdayaan desa, kecuali hanya demi kepentingan Pemilu 2024. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo