Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koalisi dengan Logika Ekonomi

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dodi Ambardi*

PEMBENTUKAN koalisi besar menuai kritik. Publik curiga deal politik telah dicapai dalam urusan kebijakan penalangan Bank Century—deal antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Mundurnya Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan dan kembalinya Golkar ke kubu koalisi pemerintah dipercaya merupakan bagian dari deal itu.

Kita mulai dari fakta yang kontradiktif: partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah mengambil posisi yang berlawanan dalam kasus Century. Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa membela pemerintah dan menilai bahwa kebijakan penalangan Bank Century adalah kebijakan yang benar. Partai Keadilan Sejahtera, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan menganggapnya kebijakan yang salah, bahkan berindikasi korupsi.

Perilaku anggota koalisi yang mengkritik kebijakan pemerintah adalah kontradiksi karena koalisi itu bertujuan mendukung pemerintahan. Sikap dasar yang seharusnya diambil anggota koalisi adalah menciptakan kestabilan dan efisiensi pemerintahan. Jika posisi sebaliknya yang diambil, mereka lebih cocok disebut oposisi.

Media massa pun dikuasai oleh Panitia Khusus Bank Century dan publik terkesan berada di belakang mereka. Survei opini publik yang diselenggarakan Lembaga Survei Indonesia pada Januari 2010 menemukan, pada responden yang mengikuti kasus Bank Century, 66 persen di antaranya menyatakan kebijakan itu salah. Menurut mereka, alasan pencegahan krisis yang diajukan pemerintah tidak meyakinkan. Kita bisa menyebut data ini sebagai wujud keberhasilan politik penentang bailout Bank Century.

Kontradiksi yang lebih besar muncul ketika kita melihat fakta berikutnya: setelah susah payah dan menghabiskan energi serta biaya besar, semua partai kembali ke rumah koalisi—merevitalisasi persekutuan itu dengan nama Koalisi Besar dengan Aburizal Bakrie sebagai ketua harian.

Logika di balik koalisi ini sebenarnya sederhana. Kehidupan ekonomi berputar pada ide pokok tentang substitusi barang: komoditas bisa digantikan komoditas lain yang memiliki fungsi sama. Maka jabatan publik, dukungan partai, dan kebijakan pemerintahan dapat diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dipertukarkan. Pendeknya, politik adalah arena jual-beli tempat partai bisa berniaga dengan berbagai komoditas yang dimilikinya.

Karena merupakan proses jual-beli, koalisi memberikan ruang untuk bernegosiasi dan merekayasa kompromi. Deal politik merupakan kesepakatan harga yang dicapai pihak-pihak yang bersetuju untuk saling menguntungkan.

Jabatan publik atau posisi menteri adalah komoditas yang dapat ditukar dengan dukungan partai terhadap pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah lewat Menteri Keuangan ditukar dengan kestabilan koalisi mendukung pemerintah. Dalam konteks ini, faktor uang, kemampuan intimidasi, sepotong informasi rahasia, dan rekam jejak personal bisa masuk kalkulasi pembuatan deal politik. Bersikap kritis dan berbalik arah adalah bagian dari proses negosiasi yang dilakukan partai-partai itu.

Partai yang bersikap kritis terhadap kebijakan Bank Century umumnya menyatakan akan memelihara sikap kritis terhadap pemerintah meskipun berada dalam koalisi. Sikap ini secara kategoris mendua dan hanya manis di bibir.

Nasib Koalisi Besar ke depan sesungguhnya bergantung pada apakah deal tersebut memuaskan semua pihak. Juga apakah ada peristiwa sebesar Century yang menggoda anggota koalisinya untuk melakukan rekalibrasi posisi untuk memperoleh insentif dari deal politik.

Yang jadi pertanyaan: apakah sikap kritis partai penentang pemerintah itu membawa efek elektoral bagi mereka?

Rangkaian data survei LSI memberikan fakta pahit. Partai-partai yang kritis terhadap kebijakan penalangan Bank Century—baik yang berasal dari koalisi pemerintah maupun yang murni oposisi—dibanding hasil Pemilu 2009 mengalami penurunan dukungan.

Partai Amanat Nasional, misalnya, pada Pemilu 2009 meraih suara enam persen. Dalam survei LSI April 2010 hanya mendapat dua persen suara. Dukungan elektoral untuk Partai Keadilan Sejahtera juga menurun dari delapan persen pada Pemilu 2009 menjadi empat persen dalam survei April 2010.

Dukungan elektoral untuk Golkar—yang politikusnya sering dikutip media karena sangat kencang mengkritik kebijakan penalangan Bank Century—juga drop. Perolehan Golkar pada Pemilu 2009 adalah 14 persen, tapi dalam survei April hanya 11 persen. Perolehan suara PDI Perjuangan, yang murni berkoalisi, juga merosot. Memperoleh 14 persen suara pada Pemilu 2009, dalam survei April 2010 partai ini hanya mendapat 11 persen suara.

Salah satu kemungkinan jawaban terhadap fakta di atas adalah publik menuntut partai tak sekadar kritis terhadap pemerintah—sesuatu yang ternyata mudah berubah setelah ada deal politik. Publik tampaknya melihat bahwa politik tak melulu berkenaan dengan urusan negosiasi, pertukaran, dan pencapaian kepuasan semata.

Yang diinginkan publik adalah partai yang punya kredibilitas—sesuatu yang dibangun dalam waktu panjang. Orang ramai merindukan sikap konsisten partai dari waktu ke waktu, dari isu ke isu. Publik ingin pilihan partai untuk bergabung atau menolak koalisi, mendukung atau mengkritik kebijakan, dibuat dengan bertolak pada nilai etis, bukan ekonomis semata.

Politikus dan partai politik perlu mengimbangi dan menjalankan politik jenis yang lain karena politik juga berurusan dengan nilai—sesuatu yang bisa menjadi sumber kredibilitas partai dan punya dampak secara elektoral.

Dalam bahasa aktivis, politik bukan sekadar pertukaran ekonomi, tapi juga urusan passion—keyakinan yang hendak diperjuangkan. Dalam bahasa kaum sekuler, politik adalah soal pilihan etis. Dalam bahasa kaum religius, tujuan politik adalah meraih ridho Allah.

*) Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus