Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPERGIAN Menteri Keuangan Sri Mulyani berpotensi memberikan dua keuntungan sekaligus bagi Aburizal Bakrie. Pertama, tersingkirnya ganjalan serius terhadap kepentingan bisnis keluarga Ketua Umum Partai Golkar itu. Kedua, kesempatan memperkuat posisi tawar politik, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Aburizal sebagai ketua harian sekretariat gabungan koalisi.
Namun keuntungan ganda itu sebaliknya bisa berarti kabar buruk bagi urgensi pemerintahan yang bersih. Sri Mulyani selama ini sukses berfungsi sebagai bumper pemerintah dari belitan kepentingan ekonomi pengusaha, terutama yang memiliki akses politik, seperti Aburizal. Ia, misalnya, tak mau berkompromi soal penyelesaian pajak perusahaan keluarga Bakrie. Sri Mulyani juga menolak mengulurkan pertolongan untuk kepentingan Bakrie ketika saham sejumlah perusahaan kelompok itu terperosok pada akhir 2008.
Pembentukan sekretariat gabungan koalisi bisa memperancu sistem politik kita. Wadah baru ini akan memindahkan pembahasan politik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat ke ruang tertutup dengan peserta yang terbatas. Alih-alih memperkuat posisi pemerintah melalui koalisi yang diformalkan, sekretariat bisa menjadi wahana "patgulipat yang dilembagakan". Apalagi jika agenda yang dibahas mengutamakan kepentingan politik jangka pendek bagi segelintir orang, bukan untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat.
Kabar buruk ini hanya bisa ditangkal jika pengganti Sri Mulyani merupakan figur yang integritasnya tak diragukan. Ia juga harus berani mengambil sikap tegas ketika mesti berhadapan dengan, katakanlah, kelompok bisnis milik keluarga Aburizal alias Ical-tokoh yang kini sangat diperhitungkan Presiden Yudhoyono. Sangat mungkin meningkatnya "rating" politik Aburizal akan dijadikan kartu truf untuk menekan teknokrat yang berurusan dengan mereka, terutama Menteri Keuangan. Mencari sosok pengganti yang berani mengabaikan faktor politik ini rasanya bukan perkara mudah.
Sekretariat gabungan juga harus dicegah agar tidak merusak sistem ketatanegaraan kita. Dalam konteks ini, hak memanggil menteri yang akan diberikan kepada ketua harian sekretariat, sebagaimana dilontarkan para elite Golkar, jelas tak bisa dibenarkan. Sebab, konstitusi jelas mengatur, para menteri hanya bertanggung jawab-dan karena itu harus tunduk-kepada presiden sebagai kepala pemerintahan.
Penegasan posisi partai politik propemerintah memang diperlukan. Selama ini mereka bersikap ambigu. Partai koalisi pendukung pemerintah sering mematut-matutkan diri sebagai oposisi, meski faktanya menempatkan kader di kabinet. Pada sidang penentuan sikap Dewan Perwakilan Rakyat atas penyelamatan Bank Century, ambiguitas itu jelas dipertontonkan Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Mereka malah menyerang keputusan darurat pemerintah pada saat krisis itu.
Penegasan posisi ini bukan berarti lantas mengharuskan presiden membentuk koalisi secara formal. Patut disayangkan jika ternyata langkah koalisi SBY-Ical ini merupakan respons terhadap sikap tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani atas persoalan pajak keluarga Bakrie. Wajar jikalau timbul syak wasangka bahwa pembentukan sekretariat gabungan dan penunjukan Aburizal sebagai ketua harian erat kaitannya dengan kepergian Sri Mulyani.
"Lembaga" baru ini tidak boleh mengangkangi aturan ketatanegaraan. Wakil Presiden Boediono haruslah tetap difungsikan sebagai orang kedua alias RI-2, yang bersama Presiden Yudhoyono dipilih rakyat secara langsung. Walau sebagai "ban serep" Presiden, Boediono tetap lebih memiliki otoritas mengatur negara. Dia jugalah yang berhak memanggil atau memberikan koordinasi kepada menteri-menteri anggota kabinet, bukan ketua harian sekretariat gabungan koalisi.
Sekretariat gabungan sebaiknya dibatasi hanya sebagai jembatan komunikasi untuk menghidupkan fungsi kontrol dan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tak boleh ada garis komando berkaitan dengan urusan pemerintahan. Mereka boleh saja kompak dalam pembahasan undang-undang yang mendesak untuk disahkan demi kepentingan rakyat. Atau sebaliknya, siap beramai-ramai menentang pembentukan perundang-undangan yang memasung hak asasi.
Koalisi bisa pula diarahkan untuk mematangkan konsep penyederhanaan partai. Demokrasi multipartai yang dilakukan pada sistem presidensial saat ini terbukti tidak cukup mangkus buat menciptakan pemerintahan yang kuat. Jika dibentuk untuk menciptakan konsep ideal dalam berdemokrasi, koalisi pasti akan bermanfaat bagi rakyat. Tapi, jika dibentuk demi keuntungan sekelompok orang, atau kepentingan pucuk pimpinan partai yang berkoalisi semata, sebaiknya pelembagaan ini diurungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo