Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELAMBANAN Jaksa Agung Hendarman Supandji menindak jaksa yang diduga berbuat kejahatan dalam kasus Gayus Tambunan sudah sangat mencemaskan. Peristiwa ini menunjukkan mandulnya mekanisme penindakan internal di tubuh aparat penegak hukum itu untuk kesekian kalinya.
Padahal beberapa perwira polisi, hakim, dan pegawai pajak yang terlibat mafia hukum dalam kasus itu sudah ditindak oleh instansi masing-masing. Bila bukti korupsi mencukupi, hukuman pidana bahkan menanti mereka. Cuma Kejaksaan Agung yang seperti berjalan di tempat.
Korps Adhyaksa ini memang mencopot jaksa Poltak Manulang dari posisi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Cirus Sinaga juga dicopot dari jabatan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Namun keduanya sampai kini masih aktif bertugas karena mengajukan keberatan atas pencopotan tersebut.
Ada yang aneh ketika para petinggi kejaksaan mengevaluasi kasus ini. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kamal Sofyan Nasution pagi-pagi menyatakan tak ada yang salah dengan dakwaan bawahannya dalam perkara Gayus. Kamal membenarkan dakwaan anak buahnya yang hanya menyebutkan penggelapan dan pencucian uang itu. Ia membiarkan tak disertakannya pasal korupsi yang jadi kejahatan pokok dalam perkara itu.
Masih ada kejanggalan lain. Jaksa hanya mendakwa secara alternatif. Padahal, dalam perkara pencucian uang, mestinya dakwaan dibuat kumulatif. Ini diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Tahun 2004. Dakwaan yang lemah dan ganjil itu memudahkan majelis hakim akhirnya memvonis bebas Gayus.
Bukan kali ini saja aparat kejaksaan ketahuan selingkuh ketika bertugas. Pada Juni 2008, jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dari pengusaha Artalyta Suryani sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Kasus ini dikatakan Hendarman Supandji "membuat petugas kejaksaan seakan malu mengenakan seragam". Berkat penanganan Komisi Pemberantasan Korupsi, Urip kini meringkuk di balik terali besi.
Berikutnya terbongkar rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang menyebut "berkonco" dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Kasus ini hanya membuat Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga mengundurkan diri, tanpa ada penyelidikan atas dugaan bau amis korupsi yang tercium keras dari rekaman pembicaraan tersebut.
Hendarman menyebut ketiga kasus yang menodai korps kejaksaan itu terapi kejut. Sebagai pemimpin tertinggi, mestinya dia bisa mengubah perilaku lancung bawahannya agar tak terus terulang di masa depan dengan cara memprosesnya secara hukum. Sikap lembek ini hanya akan menguatkan anggapan bahwa Jaksa Agung adalah orang yang lemah. Bisa pula muncul dugaan, jangan-jangan ada konflik kepentingan di balik kelemahan itu.
Terapi kejut yang ketiga kalinya ini mestinya menjadi momen bagi Jaksa Agung untuk melakukan pembenahan besar-besaran terhadap aparatnya. Apalagi jika benar data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan: ada dana tak wajar di rekening jaksa yang menangani kasus Gayus. Para jaksa jahat itu tak hanya harus dicopot dari jabatannya, tapi juga kudu dipecat dan dipidana karena perbuatannya.
Tanpa tindakan tegas, niscaya tak akan ada perubahan berarti di instansi penegak hukum itu. Bila Jaksa Agung tak mampu atau tak mau melakukannya, dia harus diganti dengan figur lain demi mengembalikan kepercayaan publik kepada jajaran kejaksaan yang mendekati titik nadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo