Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koalisi Partai untuk Presiden

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani Direktur Political Research, Freedom Institute

KOALISI partai untuk seorang calon presiden diperlukan, mengingat kecilnya peluang seorang calon presiden dari sebuah partai mendapat suara mutlak dalam pemilu nanti. Koalisi membantu mengurangi ketidakpastian siapa yang akan menang dalam pemilihan presiden nanti.

Koalisi ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dukungan terhadap partai politik sering terkait erat dengan dukungan terhadap calon presiden dari partai bersangkutan. Apalagi, dalam sistem pemilihan presiden kita, seseorang dicalonkan untuk jabatan presiden oleh partai politik. Partai politik setidaknya membantu mengurangi tingkat kesulitan memperkirakan perilaku pemilih terhadap calon-calon presiden yang akan bersaing nanti.

Di samping itu, partai politik adalah mesin politik yang punya daya mobilisasi massa paling sistematis. Karena itu, koalisi antarpartai politik diharapkan berperan sebagai mesin politik besar untuk memobilisasi massa pemilih presiden yang dicalonkan. Tidak ada organisasi sosial-politik yang punya kemampuan mobilisasi massa secara nasional sebesar partai politik.

Sebuah koalisi partai dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.

Dalam hal platform ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.

Dalam hal platform keagamaan, ada partai yang menekankan mendesaknya keterlibatan negara dalam menegakkan syariat Islam bagi kehidupan publik, seperti PBB, PKS, dan PPP, dan ada pula yang tidak demikian, seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, dan PAN. Untuk sederhananya, kelompok yang pertama adalah partai Islam, sementara kelompok kedua adalah partai sekuler. Dalam dikotomi partai Islam dan partai sekuler ini, PKB dan PAN berada pada posisi yang agak kelabu. Walapun tidak ber-platform Islam, sebagian besar elite dan pendukung partai ini secara historis terkait dengan organisasi Islam. Karena itu, secara kasar keduanya kadang-kadang dimasukkan ke kategori partai Islam.

Kalau kesamaan platform keagamaan yang jadi dasar untuk koalisi, berarti koalisi yang mungkin adalah antara PPP, PBB, dan PKS, atau ditambah PAN dan PKB di satu sisi, dan di sisi lain PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Dalam politik Indonesia pasca-Soeharto, koalisi yang pertama—dikenal dengan nama Poros Tengah—pernah terjadi dan sukses dalam pemilihan presiden di MPR tahun 1999. Waktu itu Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Poros Tengah menang mengalahkan Megawati. Kalau benar koalisi itu didasarkan atas sentimen keagamaan, mengapa koalisi tidak terjadi antara Golkar dan PDIP, yang sama-sama sekuler dan terancam oleh kekuatan Islam?

Orang yang biasa melihat politik Indonesia dari kacamata Islam versus nasionalis-sekuler biasanya melakukan definisi ulang terhadap Golkar ketika dihadapkan dengan masalah tersebut: Golkar pasca-Soeharto adalah Golkar yang didominasi anak-anak santri, terutama yang berlatar belakang HMI. Dalam banyak hal, Golkar dan PAN tidak banyak berbeda. Karena itu, wakil-wakil Golkar di MPR tahun 1999 cenderung mendukung calon presiden dari Poros Tengah ketika dihadapkan pada pilihan antara Megawati yang nasionalis-sekuler dan Gus Dur yang berlatar belakang santri. Kalau memang faktor sentimen keislaman yang paling menentukan dalam koalisi ini, kemungkinan pola yang sama, yakni Poros Tengah plus Golkar, akan kembali terulang, karena sentimen keagamaan elite partai-partai itu sekarang pun kurang-lebih sama. Tapi kemungkinan lain juga harus dipertimbangkan.

Kalau mengikuti penjelasan para aktor utama Poros Tengah kenapa Poros Tengah terbentuk, sebagian terletak pada persepsi bahwa ketegangan antara Golkar yang terkait dengan Orde Baru dan PDIP yang menjadi "korban"-nya sangat kuat. Konflik antara keduanya, termasuk di antara massa pendukung mereka, diperkirakan akan terjadi dan akan mengancam keutuhan politik Indonesia bila keduanya harus bersaing langsung untuk posisi RI-1. Poros Tengah lahir sebagai alternatif yang dipercaya mampu memediasi kemungkinan konflik tersebut. Sementara itu, Golkar baru saja kehilangan calon presidennya ketika Habibie sebagai calon presiden Golkar gagal mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada MPR.

Setelah Habibie gagal, Golkar berada dalam posisi yang sulit, dan bila Akbar Tandjung yang ketua umum mencalonkan diri, kemungkinan Golkar terpecah karena mendapat perlawanan dari para loyalis Habibie. Di samping itu, kekuatan Golkar saja tidak cukup untuk memenangkan calonnya bila tidak didukung partai lain yang telah membentuk Poros Tengah itu. Dalam situasi seperti ini, suara Golkar jadi liar dan kemudian menjadi sasaran lobi politikus Poros Tengah. Sementara itu, elite PDIP tidak banyak melakukan langkah-langkah yang sama.

Faktor Abdurrahman Wahid juga menentukan. Pilihan Poros Tengah terhadap Gus Dur adalah pilihan yang sangat strategis: Gus Dur adalah figur yang relatif dekat dengan Megawati sehingga keduanya diharapkan mampu meredam kemungkinan gejolak pasca-pemilihan. Ia adalah orang yang sangat berpengaruh di NU, sementara massa NU dan elitenya tidak hanya berada di PKB, tapi juga di partai lain seperti PPP dan Golkar. Waktu itu, Gus Dur adalah figur yang dapat diterima oleh hampir semua komponen bangsa, termasuk yang non-muslim. Ia punya reputasi yang sangat menekankan kebangsaan ketimbangan kepentingan sempit Islam politik. Sementara itu, bagi politikus di MPR yang masih punya sentimen kuat dengan politik Islam seperti politikus PBB, PK, dan PPP, Gus Dur, bagaimanapun, punya kekuatan simbolik Islam lebih kuat ketimbang Megawati.

Amien Rais juga faktor krusial. Dengan perolehan partainya yang hanya 7 persen, Amien melupakan keinginannya menjadi presiden sehingga ia berada pada posisi yang lebih mudah untuk membangun koalisi karena tak punya kepentingan langsung dengan jabatan presiden tersebut. Dengan sendirinya, ide Poros Tengah yang dibawanya mudah diterima Gus Dur.

Jadi, banyak faktor yang kondusif bagi sukses Poros Tengah mengalahkan PDIP, yang pasif dalam membangun koalisi ketika itu. Faktor-faktor kondusif bagi Poros Tengah itu sekarang tidak ada lagi. Gus Dur, misalnya, sekarang lebih melekat dengan kegagalannya menjadi presiden. Bagi para pendukung setia Gus Dur, Amien dipandang sebagai salah satu figur yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya Gus Dur dari kursi RI-1. Karena itu, ia kemungkinan besar masih kurang bisa diterima oleh PKB, yang merupakan komponen penting dalam Poros Tengah 1999. Lebih dari itu, Amien sekarang sudah mematok untuk jabatan presiden.

Posisi Golkar sekarang juga sangat berbeda dengan posisinya tahun 1999. Kinerja partai dan politikus Golkar ternyata tidak lebih buruk dari partai dan politikus lain. Walaupun sisa-sisa ketegangan antara Golkar dan PDIP masih terlihat, setidaknya di tingkat massa, seperti dalam kasus Buleleng, kedua partai ini sekarang relatif sudah bisa berkomunikasi. Taufiq Kiemas sebagai elite utama PDIP sudah mulai biasa berkomunikasi dengan elite Golkar, dan membuka jalan bagi kemungkinan koalisi di antara keduanya.

Dengan perubahan peta politik seperti ini, ketika komponen-komponen Poros Tengah sudah cerai-berai, koalisi yang mungkin adalah antara Golkar dan PDIP. Koalisi dua partai ini kemungkinan akan mendapatkan suara mayoritas mutlak. Meski demikian, untuk meningkatkan tingkat kepastian memperoleh suara mayoritas mutlak, partai yang punya dukungan suara cukup besar bisa menjadi unsur ketiga dalam koalisi tersebut. Partai ketiga ini haruslah yang tidak punya tokoh menonjol dan berniat kuat untuk menjadi calon presiden. Jadi, bukan PAN ataupun PKB, karena kedua partai ini masing-masing punya tokoh besar yang sama-sama ingin menduduki RI-1.

Unsur ketiga yang lebih mungkin masuk ke koalisi ini adalah PPP. Partai ini punya pendukung cukup besar, dan Hamzah sebagai tokohnya terbukti cukup low profile dibanding Gus Dur atau Amien Rais. Hamzah kemungkinan lebih bisa menerima posisi sebagai wakil presiden seperti sekarang, atau menjadi salah satu menteri utama, atau menjadi Ketua DPR. Di samping itu, masuknya PPP ke dalam koalisi ini akan memperkukuh pemerintahan, karena menutup lubang yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk mendelegitimasi pemerintahan koalisi dengan slogan keagamaan.

Bila koalisi ini tidak terjadi, salah satu calon presiden dari partai lain seperti Amien, Gus Dur, Susilo B. Yudhoyono, dan lain-lain punya peluang masuk di urutan kedua setelah Megawati, dan terbuka pula peluangnya untuk mengalahkan calon dari PDIP, Golkar, ataupun PPP dalam putaran kedua. Jadi, tingkat ketidakpastian politik bagi ketiga partai ini menjadi lebih besar.

Masalahnya, Golkar mendapat posisi apa dalam koalisi ini bila Megawati sebagai presidennya? Apa yang menentukan pembagian kekuasaan ini?

Kriteria yang cukup obyektif adalah perolehan suara anggota koalisi ini dalam pemilu legislatif. Pemenang urutan pertama punya hak untuk jabatan RI-1, pemenang urutan kedua untuk jabatan wakil presiden, dan seterusnya. Masalahnya, apakah PDIP bisa menerima kalau ternyata Megawati hanya bisa ditempatkan di posisi wakil presiden, misalnya, sesuai dengan hasil pemilu legislatif tersebut?

Kalau mengikuti berbagai survei nasional setahun terakhir, peluang Golkar untuk menang memperolah urutan pertama pemilu legislatif sangat besar. Dukungan besar terhadap Golkar ini merupakan sumber penting untuk kampanye lebih lanjut bagi calon presiden dari Golkar sendiri. Kalau PDIP tak bisa menerima kemungkinan ini, masuk akal kalau Golkar menjajaki koalisi dengan partai-partai lain. Calon presiden dari koalisi Golkar dan PPP, misalnya, versus Megawati, versus Amien, atau versus Gus Dur, kemungkinan mendapatkan suara paling banyak karena koalisi antara PDIP, PKB, dan PAN untuk jabatan presiden kecil kemungkinannya.

Pola koalisi untuk jabatan presiden, wakil presiden, Ketua DPR, dan anggota kabinet mayoritas harus dibuat sebelum pemilu DPR supaya ada waktu yang cukup untuk sosialisasi, dan untuk menumbuhkan efikasi politik dalam masyarakat luas bahwa koalisi ini kuat dan akan menang dalam pemilihan umum sehingga pemilih menjadi tertarik mendukungnya. Umumnya, pemilih cenderung akan mendukung calon atau partai yang punya citra sebagai partai atau calon yang akan menang dalam pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus