Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Natal P. Sitanggang*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah mewabahnya Covid-19, banyak petunjuk dan anjuran yang diimbaukan pemerintah kepada masyarakat untuk melawan sembari menghindari virus corona. Semua itu dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Keterputusan itu tentu diukur dari kecilnya jumlah manusia yang menjadi inang bagi virus ini.
Dalam biologi, inang diartikan sebagai organisme yang menampung virus, parasit, atau yang lain, baik yang bersifat mutualisme maupun komensalisme. Umumnya, organisme itu menjadi tempat berlindung sekaligus sumber makanan bagi si penumpang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata inang memiliki dua pengertian. Pertama, inang adalah perempuan yang merawat (menyusui dan sebagainya) anak tuannya (anak raja atau anak pembesar). Pengertian 1 tentu harfiah dan dapat ditemukan di sejumlah bahasa daerah. Selanjutnya, dalam ruang entri yang sama di KBBI, pengertian kedua sejalan dengan pengertian dalam biologi di atas, tapi dilabeli sebagai bidang pertanian (Tan) dengan arti “organisme tempat parasit tumbuh dan makan”.
Penempatan arti dalam satu ruang entri tersebut mengisyaratkan hubungan historis pada keduanya. Pengertian secara biologi ataupun pertanian tampak diacu secara figuratif dari pengertian 1. Dalam hal itu, terbentuk premis bahwa semua organisme yang menjadi tempat makan dan tumbuhnya virus atau parasit diasosiasikan sebagai perempuan.
Dengan kata lain, jika hewan atau tumbuhan tertentu (A) menjadi tempat virus atau parasit untuk tumbuh dan makan, hewan atau tumbuhan itu adalah perempuan (B) sebagaimana dalam pengertian 1. Karena itu, postulasi pikirnya adalah A = B. Rumus seperti ini seturut dengan postulasi Lakoff dan Johnson (1980) perihal metafora dalam bukunya Metaphors: We Live By.
Kata inang dengan pengertian 1 setidaknya mempunyai dua komponen makna: insan (manusia) dan perempuan. Sementara itu, dalam konteks virus atau parasit, kata inang tidak lagi terbatas pada manusia, tapi sudah pada semua makhluk. Sekalipun organisme itu diklasifikasikan atas gender, kata inang pun tidak lagi terbatas pada perempuan/betina, tapi juga pada laki-laki/jantan.
Secara morfologi, produktivitas kata inang dalam afiksasi bahasa Indonesia terbilang minim. Dalam KBBI, kata itu tercatat hanya dilekati oleh imbuhan meng- (menginang), yang menyiratkan aspek makna kausatif dan mengacu pada pengertian 1. Dalam pada itu, tidak ditemukan bentuk lain, seperti perinang (sebagaimana pada bentuk peristri, perbudak, dan sebagainya) atau memperinang (sebagaimana pada bentuk memperistri, memperbudak, dan sebagainya). Padahal keberadaan dua bentuk itu sebenarnya potensial secara morfologi. Selanjutnya, penggunaan keduanya dalam kalimat bahasa Indonesia malah nihil. Mungkin keadaan inilah yang mengakibatkan dua bentuk potensial itu tidak layak dicatat sebagai warga bahasa Indonesia.
Meskipun hanya bersifat potensial dalam bahasa Indonesia, dua bentukan itu malah jamak ditemukan dalam bahasa Orang Rimba di Jambi. Dengan artikulasi yang khas, huruf r pada imbuhan per- itu dibunyikan sebagai konsonan getar-uvular; bahkan pada rombong tertentu bunyi tersebut sudah menjadi zero (mempeinang). Bentuk ini malah tampak sebagai mata rantai yang hilang. Peristiwa zero seperti itu pada dasarnya lazim terjadi (bahkan) pada bahasa lain yang tergolong dekat secara geografis dengan bahasa Orang Rimba, di antaranya bahasa Kerinci.
Bentuk mempeinang itulah yang pada satu fase dimungkinkan mengalami gejala perubahan vokal atau ablaut kuantitatif (Kridalaksana, 2008) sehingga menjadi mempinang (Slamet Muljana, 2017). Bunyi p pada mempinang selanjutnya berevolusi melalui kaidah peluluhan bunyi sehingga menjadi meminang. Di sini, baik bentuk potensial memperinang (sebagaimana bentuk memperistri dan memperbudak) maupun mempeinang dan mempinang dalam bahasa Orang Rimba masih memiliki komponen makna yang sama dengan kata meminang (melamar), dengan perempuan sebagai obyeknya—meskipun tindak meminang dalam konteks pernikahan ada kalanya dibarengi dengan tradisi makan pinang (dan sirih). Kata pinang itu kemudian dicatat sebagai kata dasar dari meminang.
Kembali ke konteks pandemi virus; Covid-19 secara metaforis sedang meminang dan ingin memperinang manusia. Ia tidak membedakan calonnya laki-laki atau perempuan. Jangan mau dipinang, apalagi diperinang! Hindari sebisa mungkin!
*) Peneliti Muda Kantor Bahasa Jambi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo