Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmat Petuguran*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doa nyaris tak terpisahkan dalam aktivitas sehari-hari masyarakat religius seperti di Indonesia. Tuturan jenis ini hadir di berbagai ruang wacana. Tak cuma di ruang keagamaan, tuturan doa juga produktif muncul di ruang akademik, hukum, pers, serta komunikasi personal seperti media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat seseorang berulang tahun, misalnya, banyak ucapan berbentuk doa ditulis di media sosial orang bersangkutan. Di grup WhatsApp juga begitu. Saat ada anggota berulang tahun, anggota lain biasanya menuliskan ucapan selamat dan doa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, doa dimaknai sebagai “permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan”. Adapun dalam Oxford Dictionary, kata pray (“doa”) dimaknai sebagai “berbicara kepada Tuhan terutama untuk bersyukur atau meminta bantuan”.
Dua makna itu menunjukkan bahwa doa adalah tuturan manusia yang ditujukan kepada Tuhan. Karena itu, doa hanya diproduksi manusia saat berkomunikasi (langsung) kepada Tuhan, bukan kepada atau dengan manusia lain. Dalam konteks ini, pendoa berperan sebagai penutur dan Tuhan sebagai mitra tutur.
Namun peran-peran itu tidak terjadi ketika manusia memproduksi tuturan doa di media sosial. Di media itu, penulis doa berperan sebagai penutur, orang yang dituju sebagai mitra tutur primer, sementara orang lain yang membacanya menjadi mitra tutur sekunder. Lalu di mana peran Tuhan dalam peristiwa tutur itu?
Lesapnya peran Tuhan dalam peristiwa tutur itulah yang membuat tuturan doa di media sosial tidak memenuhi syarat logis sebagai doa. Meskipun struktur teksnya berbentuk doa, tuturan itu belum tentu doa.
Taksonomi M.A.K. Halliday (1985) tentang field, tenor, dan mode dapat digunakan untuk mengurai kerancuan kategori itu. Secara sederhana, field (ranah) bisa dipahami sebagai segala konteks yang melatarbelakangi kelahiran tuturan dan memungkinkan tuturan tersebut memiliki maksud. Tenor adalah agen-agen yang terlibat dan tipe relasi di antara mereka. Adapun mode adalah jenis teks atau genre tutur yang dipilih untuk menyampaikan maksud.
Berdasarkan kategori itu, tampak bahwa doa adalah mode tutur. Tuturan doa tidak benar-benar menjadi doa karena hanya alat bagi penutur untuk menyampaikan pesan tertentu kepada mitra tuturnya. Sebagai mode, doa hanyalah salah satu alat ungkap dari sekian alat ungkap lain, seperti pujian, hardikan, janji, rayuan, atau perintah.
Doa sering digunakan sebagai mode tutur karena memiliki sejumlah implikasi logis dan sosial. Doa mampu mengimplikasikan niat baik penutur sehingga terkesan tulus. Doa juga dapat mengimplikasikan latar belakang penutur agar tampak religius. Dua implikasi itu berguna karena dapat menaikkan superioritas moral penutur. Adapun superioritas moral berharga karena dapat mendukung tercapainya tujuan pragmatis komunikasi.
Fungsi doa sebagai mode tutur di media sosial juga bisa kita pahami dalam analogi prosa fiksi. Dalam prosa, pengirim pesan yang sesungguhnya adalah penulis dan penerima sesungguhnya adalah pembaca.
Agar pesan bisa sampai kepada pembaca, seorang pengarang kadang memilih mode dialog sebagaimana dia juga kadang memilih mode narasi, deskripsi, eksplanasi, atau mode lain. Agar dialog bisa terjadi, pengarang menciptakan tokoh.
Jika an sich ditinjau secara tekstual, dialog itu tampaknya digunakan tokoh satu untuk menyampaikan pesan kepada tokoh lain. Tapi, dalam perspektif yang lebih luas, dialog itu merupakan alat penulis untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Baik tokoh maupun dialog adalah perkakas yang dipakai untuk menyampaikan pesan.
Serupa dialog, doa di media sosial juga mode yang dipilih penutur untuk menyampaikan pesan kepada mitra tuturnya, yaitu manusia. Adapun “Tuhan”, baik yang muncul secara eksplisit maupun implisit dalam tuturan, merupakan tokohnya. Keduanya berfungsi sebagai alat ungkap agar pesan penutur sampai ke mitra tuturnya dengan efek estetis dan psikologis tertentu.
Karena itulah tuturan berbentuk doa di media sosial tidak selalu merupakan doa. Tuturan itu lebih sering memiliki fungsi sosial daripada tujuan spiritual. Padahal doa adalah komunikasi spiritual, komunikasi kepada Tuhan.
*) Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo