Kolom "Siti Jenar" Emha (TEMPO, 16 Maret 1991) adalah cerita lama yang bumbunya diperbarui sehingga menarik selera pembaca. Mungkin Sang Ontoseno kita ini, sebelum menulis artikel itu, lebih dahulu menghadiri rapat tertutupnya Siti Jenar sehingga kritik sosial, yang biasanya disampaikan dan ditempuh kebanyakan orang dengan jalan lurus telah dilingkarlingkarkannya secara falsafati. Bahkan, bagi orang yang tergolong berpendidikan dan terpelajar pun, mungkin membacanya berlingkar pula agar dapat menangkap isi pesannya. Itukah ciri filsafat? Dalam alinea kedua terakhir, Emha menulis, "Firaun tidak pernah menyatakan 'Akulah Tuhan'! Yang ia lakukan -- sehingga bermakna menuhankan diri -- ialah menomorsatukan yang selain Tuhan." la telah menafsirkan dengan samar ayat Quran yang jelas dan terang artinya. Surat An Nazi'at 79:24 itu menyebutkan, "Maka Firaun berkata: akulah tuhanmu yang paling tinggi." Saya yakin, jebolan pesantren kita ini tidak dengan sengaja melupakan surat dalam juz Amma itu. Hal itu semata-mata karena keinginannya memberikan tekanan untuk menyatakan bahwa sikap menuhankan diri, yang telah ada sejak zaman Firaun, kini telah menjelma dan menjangkiti kehidupan modern dalam bentuk maniak harta, ambisi kekuasaan, ambisi gelar, mengumbar hawa nafsu, dan sebagainya, yang sudah tentu akibatnya tidak akan jauh berbeda dengan konsep jahiliah tersebut. TACHRIR FATHONI Centre for Environmental Sanitation State University of Gent J. Plateau Straat 22 9000 Gent Belgia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini