Seorang sobat baik saya berkirim surat dari Sentolo, 16 km di barat Yogyakarta. Ia mengatakan, "Saat ini Yogya sedang "marah" karena Senisono akan dibongkar. Terus terang, kalau kamu tanya bagaimana sikap saya, sampai saat ini saya belum bisa menerjemahkan apa sebenarnya yang tengah terjadi. Karena demikian sulitnya saya memahami makna dari kata-kata, pandangan, dan sikap orang-orang pintar itu." Pada awal 1974, sobat ini secara informal banyak memberikan masukan pada saya mengenai dunia sastra, terutama bagaimana menulis puisi, cerita pendek, dan esei untuk media. Ketika itu, ia diasuh oleh Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi, bersama penyair yunior lainnya seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag., Arwan Tuti Artha, Agus Dermawan T., atau Korrie Layun Rampan. Dalam konteks apa Yogya "marah" karena Senisono akan dibongkar? Saya hanya bermaksud mencatat bahwa penyair, budayawan, psikolog, teaterwan, senirupawan, dan sejumlah mahasiswa filsafat UGM, bersilang pendapat (salah satunya) di Senisono. Selebihnya di sepanjang Jalan Malioboro. Silang pendapat itu betul-betul mengasah pikir dan olah kreatif. Apa yang berharga di Senisono? Pada hemat saya Senisono tak lebih sebuah kenangan, seperti kenangan kepada Umbu Landu sebagai picu kreativitas angkatan muda dan remaja, dalam kiprah kebudayaan. Juga kenangan pada emper toko sepanjang Malioboro. GENDUT RIYANTO Jalan Otista III Kompleks II/10 A Jakarta 13340
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini