Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kolusi segi tiga

BPKP terpaksa harus terseret dengan urusan bapindo. lembaga ini melakukan pemeriksaan akuntan (auditing) atas bank-bank pemerintah. tujuannya untuk memberikan opini masyarakat atas kewajaran penyajian laporan keuangan.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI terjadilah apa yang diperkirakan sejumlah orang. BPKP akhirnya harus terseret ke tengah pengusutan kasus Bapindo. Salah satu tugas lembaga ini adalah melakukan pemeriksaan akuntan (auditing) atas bank-bank pemerintah, termasuk Bapindo. Tujuan akhir pemeriksaan akuntan memang untuk memberikan pendapat (opini) atas kewajaran penyajian laporan keuangan suatu unit usaha. Dalam kasus Bapindo ternyata terungkap adanya dua jenis opini BPKP dalam tahun yang sama. Itulah yang menyeret lembaga pengawas yang dikenal cukup bergigi itu dalam kasus bobolnya uang negara dan rakyat Rp 1,7 triliun itu. Malahan ada kabar bahwa pemimpin lembaga yang memiliki ribuan akuntan itu akan diajukan ke PTUN sebagai tergugat. Benar tidaknya tudingan itu memang belum jelas benar. Yang juga menarik, kasus ini melibatkan tokoh sentral dalam asosiasi profesi akuntan. Subekti Ismaun, bekas Dirut Bapindo yang merupakan salah satu tersangka, adalah Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia -- organisasi yang juga mewadahi akuntan- akuntan BPKP. Dari kacamata profesi secara umum, kejadian ini mirip kasus Bank Duta, yang membawa korban Abdul Gani -- ketika itu Ketua Perbanas. Bedanya, Abdul Gani hanya sempat mampir ke pengadilan sebagai saksi. Jika diurut ke belakang, sesungguhnya kasus semacam Bapindo dan Bank Duta, yang menyeret keterlibatan kaum profesional, bukan sekali dua kejadiannya. Dari kasus-kasus itu, ada dua sisi menarik yang dapat dikaji. Pertama, kejadian itu menunjukkan betapa kaum profesional memegang peran kunci dalam mekanisme alokasi sumber daya dan "permainan ekonomi" kita. Keahlian merekalah yang memberikan legitimasi untuk menentukan, misalnya: apakah sebuah perusahaan layak go public atau menjual obligasi di pasar modal. Atau dalam kasus Bapindo, apakah permohonan kredit Eddy Tansil pantas dikabulkan atau tidak. Tentu itu tak hanya melibatkan akuntan, tapi juga konsultan perencana, ahli hukum, manajer, dan bankir. Sebaliknya, campur tangan mereka juga bisa melicinkan jalannya praktek kolusi antara penguasa dan pengusaha. Singkatnya, keputusan dan perilaku kaum profesional itulah yang dapat memerah-birukan wajah perekonomian kita. Kedua, kasus-kasus itu juga merupakan cermin bagi profesi, bahwa dengan perannya yang demikian penting, ternyata posisinya rapuh. Akuntan, ahli hukum, konsultan, bankir, dan juga manajer, semuanya merupakan profesi yang memiliki sederet aturan main, norma perilaku, dan kode etik. Pelaksanaan sederet aturan main itulah yang memungkinkan mereka dipercaya oleh masyarakat untuk mewakili kepentingannya. Sayang, sejumlah kasus kejahatan kerah putih keburu membuka tabir yang menutupi borok kaum profesional Indonesia itu. Ada yang berpendapat bahwa rapuhnya posisi profesi disebabkan karena campur tangan penguasa. "Arogansi kekuasaan menyebabkan tak dapat ditegakkannya sendi-sendi profesionalisme," begitu alasan mereka. Mungkin saja argumen itu ada benarnya. Tetapi sesungguhnya logika berpikir itu bisa juga dibalik: "Sendi- sendi profesi hancur lantaran sejumlah besar kaum profesional telah ikut numpang kekuasaan". Harga diri profesi ternyata dengan gampang bisa ditukar dengan iming-iming materi. Selembar memo ternyata begitu ampuh untuk menembus batas-batas kode etik dan norma-norma profesi. Yang sesungguhnya terjadi ternyata bukan saja kolusi pengusaha dan penguasa, tapi juga dengan para profesional. Kini menurunnya kepercayaan pemerintah dan masyarakat kepada profesional Indonesia kian nyata. Lihat saja, untuk membereskan Bapindo, Menteri Keuangan lebih suka memilih pihak asing ketimbang mempercayai bankir bangsa sendiri. Begitupun, sebuah kantor akuntan asing, karena dinilai lebih independen, telah disewa untuk melakukan audit ulang terhadap Bapindo. Tentu saja ini merupakan gebukan telak, tidak saja bagi BPKP, tapi juga bagi sebuah kantor akuntan publik lokal, yang awal tahun lalu "sukses" mengantar Bapindo meraup dana Rp 300 miliar -- melalui penjualan obligasi di pasar modal. Lantas, bisakah akuntan dituntut, dan mengapa mereka dituntut? Lima tahun lalu, di Amerika terjadi kasus serupa meskipun jalan ceritanya tak sama persis. Federal Home Loan and Bank Board, sebuah lembaga pemerintah, memperkarakan sepak terjang akuntan-akuntan yang dinilai merugikan masyarakat. Yang dituntut ke pengadilan tak tanggung-tanggung, tiga kantor akuntan raksasa di Amerika: Coopers & Lybrand, Deloitte Haskins & Sells, dan Touche, Ross & Company. Sesudah General Accounting Office melakukan investigasi, disimpulkan bahwa mereka telah "gagal dalam memenuhi standar profesionalnya" hingga menyebabkan kerugian enam lembaga keuangan dari sebelas yang diperiksanya. Ketua Komisi Perbankan Kongres Amerika malah menganggap para auditor itu telah "melalaikan tanggung jawabnya untuk memberikan peringatan secara dini akan kemungkinan terjadinya malapetaka. Karena Bapindo (dan juga Bank Duta) telah menarik dana dari masyarakat, maka para pemilik saham dan obligasi yang merasa dirugikan bisa saja menuntut para akuntan yang telah memeriksa kedua bank itu. Kegagalan auditor mendeteksi kelangsungan usaha (going concern) Bapindo, karena satu dan lain hal, dapat dianggap sebagai salah satu sebab hancurnya nilai obligasi yang kini beredar di masyarakat. Lebih dari itu, nasib simpanan sejumlah besar nasabah Bapindo juga merupakan masalah yang tak kalah seriusnya. Bagi BPKP, masalahnya mungkin akan lebih pelik karena, itu tadi, masyarakat sudah telanjur menuduh ada ketidakberesan dalam menyusun laporan akuntan, seperti dikemukakan pada awal tulisan ini. Sejauh mana kedua kelompok akuntan ini bersalah, pengadilanlah yang akan memutuskannya. Bagi BPKP dan juga kelompok profesi lainnya, tak ada pilihan lain kecuali berbenah diri, dengan mengambil hikmah dari peristiwa ini. Potensi sumber daya manusia BPKP yang begitu besar -- ribuan akuntan yang diseleksi dan dididik secara ketat -- tentulah merupakan salah satu pilar dalam menegakkan clean government yang sudah lama didambakan rakyat. Setelah mencuat ke permukaan, mungkin kini saat yang tepat untuk melakukan pembenahan besar-besaran, mumpung masyarakat sedang "berpihak" kepada segala tindakan perbaikan. Kini pula saatnya bagi dunia profesi untuk berbenah diri: menegakkan kembali sendi-sendi profesionalismenya untuk bangkit dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. *)Pengajar pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta, kini belajar di The George Washington University

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus