Saya bukan membikin "tulisan putih" pemberontakan DI/TII di Aceh. Karena itu, saya berbeda persepsi dengan M. Nur El Ibrahimy (TEMPO, 17 Oktober) yang mengomentari kolom saya, Episode dan Sebuah Pemberontakan. Kendati orangtua saya ikut dalam pasukan yang memburu-buru DI/TII dan dua anggota keluarga saya jadi korban -- kakek dibunuh DI/TII dan adik ibu saya ditembak mati oleh alat negara -- yang saya bicarakan di kolom itu bukan "kejam dan tak kejamnya DI/TII" seperti disimpulkan Nur El Ibrahimy. Anda waktu itu anggota parlemen yang mewakili partai Masyumi -- sebelum dilarang pemerintah Rl. Setelah peristiwa DI/TII lama padam, lalu Anda menulis riwayat mertua Anda sendiri, Teungku Muhammad Daud Beureueh Perananannya dalam Pergolakan di Aceh (1982). Buku itu memberi kesan kepada saya: waktu peristiwa DI/TII berkecamuk, Anda tetap menetap di Jakarta. Tetapi, sehari-hari bagaimana azabnya rakyat waktu itu di Aceh, terutama di kampung-kampung, tak banyak dipikirkan oleh mereka yang enak-enak tidur di kota dan jauh dari kancah perang saudara tersebut. Dalam kolom, saya hanya memberi satu contoh: Kantor Camat Langsa dibakar DI/TII yang bertetangga dengan rumah orangtua saya. Untuk deskripsi sebuah tulisan pendek (bukan untuk buku), saya kira yang dibakar itu saja disebut sudah mewakili. Dan bukan "semua" bangunan "pemerintah Pancasila" yang dibakar -- yang entah apa maksudnya lalu Anda simpulkan sendiri jadi "semua". Saya kira, Anda terlalu gegabah berkesimpulan, hingga berlebihan. Saya sendiri, yang melihat dan mengalami, kalau mau, bisa menambah detailnya. Selain rel kereta api ada yang dibongkar (untuk sabotase) waktu itu kawat-kawat telepon di sepanjang rel banyak yang dipotong, lalu dijual ke Malaya. Dan seandainya mau dibuka banyak kisah, ini persis menepuk air di dulang, lalu kejiprat ke banyak muka dan keturunan mereka yang masih hidup sekarang. Pembantaian di Cot Jeumpa, Pulot, dan Leupeung tak masuk agenda PBB -- itu menurut Anda. Padahal waktu itu, menurut beberapa surat kabar Medan seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita: "masuk agenda PBB". Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal -- padahal kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional. Dan Anda sendiri menyebutnya disiarkan koran di AS. Surat kabar Tegas, 29 Mei 1959, yang terbit dua kali seminggu di Kutaradja, menyebut peristiwa Pulot dan sekitarnya sebagai "Hongaria Aceh". Apa sebutan ini berlebih-lebihan? Ketika Mr. Hardi ke Aceh, ia meninjau desa-desa tersebut. Gara-gara pembantaian itu, sebelum jatuh, Kabinet Ali malah dikecam sebagai "pemerintah zalim". Menurut Cornelis van Dijk dalam bukunya Darul Islam, sebuah Pemberontakan (1983), Hasan Tiro yang Anda sebut-sebut, memang mengklaim dirinya sebagai "duta" DI/TII di New York. Bahwa menurut Anda dia gagal mengegolkan peristiwa tadi di "agenda PBB", apa benar, hingga perlu Anda rekam ulang? Padahal, ia seorang petualang yang mengambil keuntungan di air keruh. Beberapa waktu lalu, dalam wawancara (belum disiarkan) dengan seorang wartawan TEMPO, bekas panglima DI/TII Hasan Saleh banyak mengungkapkan apa yang dilakukan Hasan Tiro di luar negeri katanya, malah merugikan DI/TII. Belakangan ia mengubrak-abrik sejarah Aceh, lalu bikin Gerakan Aceh Merdeka, dan setelah gagal, sekarang memakai alamat BM Box 3292, London WCIN 3XX, England. Status Aceh jadi provinsi (kembali), setelah dilepas dari bagian Sum-Ut, memang pada 1957. Bagaimana pada 1959 Aceh jadi "daerah istimewa", flashback ceritanya ada di rubrik Nasional, di TEMPO edisi yang sama. Bahan kolom diambil dari catatan pribadi, dan ditulis bukan seperti buku yang terdesak dengan detail -- yang terkadang bisa sangat sepihak: bias. ZAKARIA M. PASSE Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini