Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Otonomi Daerah: Sebuah Simalakama Lagi?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli
Pengamat ekonomi

MASALAH implementasi undang-undang otonomi daerah mencuat lagi. Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Surjadi Soedirdja mengatakan bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyerahan Kewenangan Kekuasaan akan dipercepat. Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2000, walaupun sangat sempit dan terbatas, akan disesuaikan dengan kehendak Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Semuanya ini untuk menanggapi desakan dari daerah-daerah. Ada gap antara tuntutan daerah yang menghendaki segera dilaksanakannya otonomi daerah, di satu pihak, dan ketentuan hukum yang memberikan waktu satu tahun untuk persiapan serta dua tahun untuk memberlakukannya secara efektif, di pihak lain.

Menteri Negara Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, menjelaskan bahwa PP Penyerahan Kewenangan Kekuasaan harus didahulukan, disusul dengan PP tentang Perimbangan Keuangan. Ini urutan yang masuk akal. Pembahasan PP Penyerahan Kewenangan Kekuasaan kini sudah sampai pada tahap akhir. Yang belum selesai dirumuskan tinggal Departemen Pertambangan dan Energi, Kehutanan dan Perkebunan, Kelautan, Permukiman, serta Kependudukan.

Pelaksanaan otonomi daerah sempat mencemaskan para donor internasional. Letter of intent (LoI) IMF juga memuat beberapa ketentuan yang harus dilaksanakan beserta jadwal waktunya. Para donor khawatir pemerintah pusat akan berkurang kemampuannya untuk membayar kembali utangnya kalau banyak dana harus dialokasikan untuk daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua. Pada saat yang sama, daerah-daerah yang miskin tidak boleh dirugikan dan harus dijamin bahwa bantuan pemerintah pusat secara keseluruhan tidak berkurang.

Ada komentator yang mengatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah nanti tidak akan menguntungkan daerah-daerah di Jawa. Kecemasan ini sangat riil. Tapi Jawa harus rela menanggung konsekuensi ini. Kalau di satu pihak daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya akan menerima lebih banyak dan di pihak lain daerah yang serba miskin (misalnya Bengkulu dan Nusatenggara Timur) tidak boleh dirugikan, daerah di Jawa harus ngalah. Mereka telah banyak menikmati siraman rezeki dari pusat selama dua dasawarsa sehingga keadaan infrastrukturnya—misalnya jalan, listrik, telepon, irigasi, dan layanan kesehatan—paling nyaman dibandingkan dengan keadaan di Aceh, Nusatenggara Timur, Papua, dan sebagainya. Tapi egoisme Jawa sukar tahu diri atau tepa salira. Untuk menjaga kesatuan RI, penduduk di Jawa, lebih-lebih di DKI, Jawa Barat, dan Jawa Timur, harus rela berkorban. Siapa yang paling menikmati subsidi bahan bakar minyak dan tarif listrik? Bukan rakyat di Aceh dan pedalaman Papua.

Kalau UU Nomor 25 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah nanti dilaksanakan, ada kemungkinan sejumlah provinsi dan kabupaten kejatuhan rezeki dan bisa menggenjot pembangunan. Di pihak lain, ada provinsi dan kabupaten yang tidak akan mampu meningkatkan pembangunannya. Mereka bisa bertetangga, misalnya Provinsi Riau dan Jambi, atau Kabupaten Bengkalis atau Siak yang kaya minyak bumi di Riau dan kabupaten "miskin" Pelalawan dan Kampar di provinsi yang sama. Maka, pelaksanaan otonomi daerah bisa melebarkan kesenjangan kemakmuran antara daerah di Indonesia. Apakah itu baik? Tentu tidak. Tapi, sementara ini, daerah-daerah di luar Jawa pun mengeluh bahwa selama dua dasawarsa yang lalu kesenjangan kemakmuran antara luar Jawa di satu pihak dan Jawa di pihak lain juga melebar.

Sejak zaman Orde Baru, sejumlah provinsi di luar Jawa tumbuh lebih cepat dalam 15 tahun pertama berdasarkan kekayaan alamnya. Namun, sejak pertengahan 1980-an industrialisasi di Jawa meroket dan pada 1990-an ada investment boom di sektor real estate. Industrialisasi serta real estate boom itu tidak dibiayai oleh pemerintah, tapi oleh swasta yang banyak mendapat pinjaman dari bank-bank luar negeri. Pada dasawarsa 1990, pendapatan per kapita di Pulau Jawa telah melangkahi luar Jawa. Penyebab utamanya adalah proses industrialisasi yang bukan siraman pemerintah, walau pemerintah juga banyak sekali mengucurkan dana untuk memperbaiki infrastruktur, misalnya di sektor listrik. Maka, tidakkah adil kalau lewat otonomi daerah, kesenjangan ini dikoreksi?

Namun, pusat dan jantung politik Negara RI ada di Jakarta dan publik di Jakarta paling dekat dan paling didengarkan oleh pemerintah. Kalau masyarakat Jakarta memprotes keras karena tarif listrik dan harga bahan bakar minyak mau dinaikkan, mereka segera diindahkan oleh pemerintah. Sedangkan rakyat Aceh harus memprotes dulu dan melawan dengan senjata sebelum diperhatikan.

Ada kalangan, baik di luar negeri maupun di Jakarta, yang mewanti-wanti bahwa perimbangan keuangan pusat-daerah nanti hanya memindahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ke tingkat daerah. Ini bisa dan pasti akan terjadi—walau mudah-mudahan bisa dibatasi sehingga tidak seburuk KKN-nya rezim Soeharto di Jakarta. Di atas kertas bisa dikatakan bahwa dalam zaman demokrasi dengan banyak checks-and-balances antara eksekutif dan legislatif, kontrol sosial oleh LSM, dan pertanggungjawaban kepala daerah (misalnya bupati) terhadap legislatif (misalnya DPRD), KKN di tingkat daerah bisa dibatasi. Tapi peralihan zaman dan rezim memerlukan masa transisi yang tidak selalu tertib dan sering keruh. Yang juga masih diharapkan adalah wewenang untuk mengadakan koreksi dari pemerintah pusat kepada gubernur dan gubernur kepada bupati (yang menyeleweng). Segala proses otonomi daerah ini dilakukan dalam rangka negara kesatuan.

Sekarang ada beberapa kalangan yang meragukan apakah asas yang mendasari UU Nomor 22 Tahun 1999 itu wajar. Undang-undang ini adalah produk pemerintahan Habibie, yang merupakan kelanjutan pemerintahan Soeharto. Mengapa sasaran otonomi daerah adalah kabupaten, bukan provinsi? Lidah usil mengatakan bahwa sejak zaman Soeharto, pemerintah pusat enggan memberikan kewenangan besar kepada provinsi karena provinsi cukup besar untuk berontak atau mbalelo. Kabupaten dan kota, yang jumlahnya akan melebihi 350, terlalu kecil untuk neko-neko. Maka, sebagai pelipur hati, akhirnya UU Nomor 22 mungkin akan lebih mengamankan negara kesatuan dari bahaya memisahkan diri.

Namun, daerah pun punya keberatan terhadap beberapa ketentuan UU Nomor 22. Pelimpahan wewenang mengecualikan urusan luar negeri, pertahanan, paradilan, fiskal-moneter, dan agama, tapi masih ditambah embel-embel "serta kewenangan di bidang lain," antara lain "pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis." Daerah merasa curiga bahwa pemerintah pusat akan melepaskan kepalanya tapi buntutnya tetap dipegang. Dalam pernyataan Menteri Negara Otonomi Daerah ada indikasinya: "yang belum selesai dirumuskan meliputi Departemen Pertambangan dan Energi, Kehutanan dan Perkebunan, Kelautan, Permukiman, serta Kependudukan."

Apakah beberapa urusan mengenai pengelolaan sumber daya alam tetap akan dipegang pemerintah pusat? Kalau urusan kontrak bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi tetap mau dipegang pemerintah pusat, ini—dilihat dari penjagaan kebutuhan negara kesatuan—banyak masuk akal. Sektor ini sangat "strategis". Kalau pemerintah pusat melepaskan urusan ini, para donor akan sangat menyangsikan kemampuan pemerintah membayar kembali utangnya. Tapi ketetapan MPR menjanjikan bahwa daerah diberi wewenang mengurus sumber daya alam di wilayahnya. Di pihak lain, pemerintah Jawa Timur dan Jawa Barat mengeluh: mengapa yang diberi untung hanya sumber daya alam? Mengapa daerah di Jawa tidak diberi "wewenang" mengurus sumber daya mereka yang berlimpah, yakni sumber daya manusia? Artinya, mengapa mereka tidak diberi hak otomatis menikmati bagian pajak industri yang padat karya?

UU Nomor 25 Tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan sebetulnya mengandung prinsip-prinsip fiskal yang sehat, tapi seolah-olah mengingkari prinsip otonomi daerah. Pajak-pajak yang "gemuk" seperti pajak penghasilan dan pajak penjualan tetap dipungut oleh pemerintah pusat, tidak oleh pemerintah daerah. Hasil pajak-pajak gemuk ini nanti masuk pot besar yang disebut "penerimaan dalam negeri" yang 25 persennya akan dibagi-bagikan kepada daerah menurut suatu rumus dan disebut "alokasi umum" (block grant), sesuai dengan jumlah penduduk, luas daerah, potensi daerah, dan lain-lain variabel yang penting, termasuk koreksi untuk kemiskinan. Ini adil, terutama untuk daerah-daerah yang "miskin", dan sebagian besar provinsi dan kabupaten memang "miskin".

Maka, prinsip fiskal untuk melaksanakan otonomi daerah masih memungkinkan negara kesatuan menjaga "keadilan" antardaerah. Tapi ini pasti ditentang oleh daerah karena ketergantungannya kepada pusat tetap besar. Ini benar. Sebagian besar provinsi dan kabupaten tidak bisa mengumpulkan penerimaan asli daerah (PAD) yang melebihi 20 persen untuk provinsi dan beberapa kota besar, dan kurang dari 5 persen untuk banyak kabupaten. Sifat "ketergantungan" ini pasti akan berjalan terus. Tapi ini juga pelekat utama bagi kesatuan RI, asalkan saja pusat bersikap serta bertindak bijaksana dan arif.

Otonomi daerah akan merupakan proses jangka panjang—tidak akan selesai dalam satu-dua tahun. Sayang, UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tidak menyebut asas "penahapan". Sepanjang sejarah nanti sering ada "konfrontasi" antara pusat dan daerah yang harus diselesaikan dengan dialog dan perundingan. Sekarang ada gejala, daerah segera mengharapkan tambahan uang sebelum menerima tanggung jawab (dekonsentrasi serta desentralisasi) yang baru. Yang lebih rasional: bagikan tugas baru dulu kepada daerah, dan konsekuensi anggarannya menyusul.

Akhirnya, pemeo Soeharto mencuat lagi: "Suka atau tidak, siap atau tidak, otonomi daerah harus dilaksanakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum