DENGAN safarinya yang biru muda dan sikapnya yang supel dan
tegas, penampilannya sungguh meyakinkan. Kumisnya yang tipis
rapi di atas bibirnya klop sekali menjadi pelengkap. Agaknya dia
seorang pejabat masa kini yang sukses, tampan dan berwibawa.
Sesudah pesawat Airbus 300 terbang mendatar, dan pengikat
pinggang dilepas, dibukanya pembicaraan dengan pujian pada
airbus yang molek dan mulus itu. Tetapi dia juga penggemar DC-IO
rupanya, jenis sial yang pernah menghebohkan dunia penerbangan
itu. Dia pun berkesimpulan: pelbagai kebrengsekan Garuda yang
kerap disoroti itu bisa dimaafkan. Lumayanlah, kita Melayu yang
terbelakang ini, sudah bisa begini.
Bahwa dia ternyata seorang tokoh penting pada perusahaan asing,
seorang konsultan pribumi, di luar perkiraan saya. Seorang
konsultan yang tangguh rupanya, yang patut dibanggakan. Perlu
menjadi suri tauladan generasi penerus. Dan, astagfirullah,
sungguh tak tersangka dia bekas dosen bahasa Inggris di
universitas.
"Saya memuji mereka yang mengabdi sebagai pengajar," ujarnya,
tanpa nada menyindir. "Bakat saya rupanya tidak di situ." Dia
sudah mahir liku-liku kehidupan dosen, gaji yang relatif tak
cukup. Kaya pengalaman memberi les Inggris di sana-sini, di
rumah sendiri dan di rumah orang lain. Di mana saja. Pekerjaan
menerjemhkan juga ditampungnya. Istrinya menerima anak indekos
di rumahnya yang sempit.
"Lumayan ketimbang jurusan lain yang lebih kering. Tapi saya
menjadi jemu," tuturnya sambil tersenyum. "Aduh, betapa
kerdilnya jurusan yang kebetulan kering itu, sukar dibayangkan.
Ada yang berutang sana-sini berutang pada pedagang sayur yang
miskin. Syukurlah, istri saya bebas dari pengalaman seperti
itu."
Ditinggalkannya profesi itu, berhenti jadi pegawai negeri,
sesudah terbuka kesempatan bekerja pada perusahaan asing. Sejak
itu dia bergelimang di bidang perkayuan dan kehutanan. Dia
mengaku, modalnya cuma bahasa Inggris itu. Semuanya serba baru,
harus dipelajari dari noi. Tapi ternyata bisa. Menurut dia, yang
perlu ialah kemauan belajar, kemampuan berkomunikasi dan
keuletan. Bukan ijazah. "Harus ulet tak banyak jalan datar dalam
kehidupan ini," tuturnya berfalsafah.
Dia menjadi bersemangat ketika membicarakan perilaku perusahaan
asing itu. Ada yang oke, tapi banyak yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Mereka jelas bukan sinterklas. Kemari
untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya dari hutan kita. Dan
mereka sudah banyak pengalaman di berbagai negara lain, di Asia
dan Amerika Latin. Sebaliknya kita tidak punya pengalaman.
Walhasil, sering tak terkontrol lagi. Maklumlah orang lihai
berhadapan dengan orang yang mudah dikibuli. Siapa sih tak perlu
untung? Namanya saja perusahaan. Tapi cara mereka mengeduk
keuntungan itu kadang-kadang keterlaluan. Peremajaan dan
kelestarian tak diperhatikan. Malah meninggalkan borok-borok
raksasa, alam yang cacat yang sukar disembuhkan. Bukan
meninggalkan jalan yang baik untuk dimanfaatkan rakyat setempat.
Aspek ini memang kurang diperhatikan dalam kontrak.
Dalam kritikan itu beberapa kali dia menyebut hit and run,
hantam dan lari. Mungkin maksudnya, pengusaha asing tertentu
membabat hutan secara semberono lalu pergi secara tak
bertanggungjawab. Sambil mengeluh dia bilang: kapan sih hutan
kita dibudidayakan sehingga betul-betul produktif? Di
negeri-negeri yang sudah maju hutan dibudidayakan, bukan
ditebangi secara semrawut.
Dia menilai perusahaan tempatnya bekerja cukup baik. Kepentingan
masyarakat setempat juga diperhatikan. Fasilitas dan gaji
memuaskan. Bebas dari birokrasi yang berlikuliku. Kalau punya
potensi, bisa cepat maju. "Kebetulan," katanya dengan sopan,
"saya pernah naik goloigan dua kali setahun."
Ketika saya tanya pengalamannya yang kurang enak, dia
menguraikan sebuah kasus konflik dengan penuh semangat. Kasus
bule yang krucuk di negerinya, yang-menjadi semacam pejabat
kecil di perusahaan itu. Kasar. Tak tahu sopan santun. Kalau
jengkel, mulutnya kotor, maki-maki. Kalau makanan tidak enak,
piring serta-merta dilemparkan. Dan itu terjadi berulang-kali.
"Selaku eksekutif waktu itu, saya pun bertindak tegas," demikian
ujarnya. "Saya wajibkan dia berhenti, meninggalkan pekerjaan
dalam 2 x 24 jam." artinya segera meninggalkan Indonesia. Heboh
jadinya. "Walaupun beberapa bule, termasuk pimpinan, datang
membujuk tapi saya konsekuen, tak mau mundur." Bule yang kasar
itu dipulangkan.
Ceritanya terakhir menyangkut persoalan kontrak perusahaan
perkayuan itu. Disesalkannya counterpart Indonesia cuma
memikirkan keuntungan dalam arti sempit. Perusahaan besar yang
dipetiknya jadi contoh, terdiri dari 35% saham orang Indonesia
dan 65% saham sebuah perusahaan asing. Memang partner Indonesia
mengecap banyak keuntungan dari hutan itu, tapi accounting dan
pemasaran di tangan mereka. Keuntungan mereka berlimpah-ruah.
Kuncinya pada mereka. Dan kita tidak belajar memegang kunci itu.
"Itu kesalahan kontrak namanya," komentarnya tegas.
"Mudah-mudahan tidak terulang lagi."
Kini, sebagai konsultan perusahaan, dia menikmati gaji US$
36.000 alias Rp 22,6 juta setahun, atau Rp 1,8 juta sebulan.
Perumahan, listrik dan pajak dibayar perusahaan. Kalau dia
bertugas, uang hariannya aduhai, US$ 300 atau Rp 187.500 sehari.
Ongkos hotel dipikul perusahaan.
Airbus 300 mendarat dengan mulus. Jabatan tangannya erat dan
hangat. Boleh diandalkan Melayu yang satu ini. Konsultan
domestik yang mengesankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini