MEREKA yang mengenal OPEC dari dalam tahu betapa sulitnya kini
bagi OPEC untuk bisa mengambil langkah yang berarti. Dengan
mengatur produksi, OPEC resmi menjadi kartel. Kecaman luar tidak
perlu digubris, sebab selama ini sudah dituduh sebagai kartel.
Tetapi masalahnya adalah intern OPEC: ia terdiri dari
negara-negara berdaulat dengan kepentingan nasional
masing-masing.
Selain itu, suatu kartel dalam dirinya sangat tidak stabil
karena terdapat kemungkinan untuk masing-masing anggotanya
melakukan kecurangan terhadap lainnya. Banyak alasan untuk
mengatakan bahwa harga minyak dan volume produksi OPEC akan
dipaksa turun. Semoga tidak.
Bila banjir minyak masih belum bisa dihentikan dan pasar tunai
masih kuat, dapatkah diharapkan bahwa Jepang berse, dia untuk
tetap membeli minyak Indonesia dengan harga yang lebih tinggi
daripada yano bisa diperoleh di tempat lain? Mungkin saja, bila
Jepang ingiIl menunjukkan "good will" demi hubungan bilateral
dengan Indonesia.
Analisa A Fortiori
Ada teknik analisa yang disebut analisa a fortiori: dalam
keadaan yang penuh ketidakpastian, langkah yang diambil
hendaknya diuji dengan menggunakan berbagai asumsi, termasuk
yang paling optimistis atau yang paling pesimistis. Bila langkah
itu memberikan hasil positif, baik dalam situasi yang optimistis
maupun dalam perkiraan yang pesimistis sekalipun, maka langkah
itu optimal.
Membagi sumber-sumber penghasilan devisa bagi Indonesia dalam
dua kelompok besar --sektor migas dan sektor nonmigas - bukan
sekedar untuk: kemudahan analisa. Ekonomi Indonesia dilihat dari
kacamata ini menunjukkan tajamnya dikotomi antara sektor migas
dan sektor nonmigas.
Sektor nonmigas kita yang masih lemah itu telah semakin
terpukul oleh resesi yano berlarut-larut. Kelemahan selama ini
terselimuti oleh rezeki dari sektor migas. Bila OPEC tak mampu
menunjang harga yang tetap akan diberlakukan itu sektor migas
pun akan terpukul.
Rezeki minyak, yang langsung jatuh ke pangkuan pemenntah sejak
permulaan Repelita II, jelas besar artinya bagi pembangunan.
Tetapi efek negatifnya juga ada. Rezeki ini membawa akibat
ekspansif pada suplai uang, tetapi pengelola moneter cukup
berhasil mengamankan inflasi. Namun keberhasilan moneter ini ada
harganya, yaitu ketimpangan struktural yang semakin tajam.
Sektor produksi nomnigas sulit berkembang karena tingkat
pertumbuhan kredit cenderung bersifat fluktuatif.
Sebaliknya aspek konsumsi tidak banyak terganggu berkat anggaran
pemerintah yang dipertahankan kuat, meningkat dan terjamin.
Dalam suasana prihatin seperti sekarang ini, pengembangan sektor
produksi nonmigas bisa dijamin apabila pengeluaran pemerintah
bersifat fleksibel, artinya bisa disesuaikan ke bawah. Inilah
inti kebijaksanaan mengetatkan ikat pinggang.
Prof. Sumitro Djojohadikusumo sudah menyarankan: Sektor nomnigas
tidak dapat dibenahi hanya dari segi eksternalnya, yaitu dengan
rangsangan dan pengaturan baru di bidang ekspor. Segi
produksinya yang harus ditata. Buku teks yang baik sudah
mengajarkan, pada dasarnya sektor eksternal perdagangan --hanya
merupakan pencerminan dari keseluruhan struktur dan tingkah laku
ekonominya.
Biarpun lemah, sektor nonmigas dimungkinkan untuk terus
meningkatkan impornya berkat rezeki minyak itu. Segi eksternal
sektor ini terus-menerus defisit walaupun untuk keseluruhan
ekonomi pada umumnya berada dalam surplus. Efeknya terhadap
nilai tukar rupiah menjadi rumit: harus mengalami apresiasi
ataukah depresiasi?
Bulan November 1978 secara resmi rupiah didevaluasi. Efek
inflasinya menjalar ke seluruh ekonomi, tetapi beban
terberatberada di sektor produksi nomnigas. Akibatnya beruntun:
daya saing internasional sektor ini tidak banyak terbantu dan
dengan impor yang semakin mahal defisitnya cenderung meningkat.
Sementara ketimpangan struktural semakin tajam, muncul
tekanan-tekanan baru terhadap nilai tukar rupiah.
Dengan perombakan struktural di sektor produksi nonmigas akan
bisa dipatahkan lingkaran setan itu. Kita tidak lagi perlu
ditekan untuk memaksimalkan ekspor karena kebutuhan untuk
meningkatkan impor bisa diminimalkan. Dengan struktur
perdagangan yang berubah sebagai pencerminan struktur ekonomi
yang lebih kebal, dalam keadaan depresi pun kita masih bisa
bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini