LIBANON saat ini adalah bangsa, bukan hanya negara, yang
terpecah belah dalam pengelompokan kecil-kecil. Bagai remukan
kaca yang tidak beraturan dari sebuah cermin yang dahulunya
indah. Terlebih-lebih bagi negara lain, yang berwajah bopeng. Ia
adalah satu-satunya negara Arab demokratis dalam artian
perwakilan rakyat penuh kekuasaan, dan kemerdekaan bicara
dijamin penuh. Kehidupan mencerminkan pluralitas dalam artian
sebenarnya. Kosmopolitanisme menjadi orientasi.
Ternyata semuanya hancur berantakan, setelah perang saudara
(atau perang-bukan-saudara) berkepanjangan yang belum selesai
hingga saat ini. Banyak nyawa terbantai. Negara pariwisata yang
menyenangkan berubah menjadi kebencian yang tidak mau berdamai
dengan kenyataan. Keramahan berganti menjadi permusuhan,
termasuk kepada orang asing yang tidak tahu-menahu. Yang
terlebih mengibakan hati adalah punahnya semua keceriaan dan
harapan masa depan gemi Iang yang menjiwai kehidupan manusia
Libanon sepanjang tiga dasawarsa.
Dan, ternyata, tidak hanya Libanon yang terkena akibat:
kehancurannya. Prospek perdamaian di Timur Tengah menjadi lebih
diperkecil, padahal tadinya memang juga tidak terlalu besar.
Kreativitas Arab secara keseluruhan mengalami pukulan dahsyat:
Libanon adalah tempat penyaluran bakat dan kebolehan mereka di
hampir semua bidang pemikiran, kesenian dan budaya.
Hilanglah kepeloporan yang didambakan dari Libanon oleh bangsa
Arab keseluruhan. Nyanyian Fairuz yang melankolik tetapi dengan
lancar mengikut dabkah, tarian rakyal yang berusia panjang, kini
berubah menjadi lagu kemurungan hidup. Sastra Libanon yang penuh
semangat mencoba segala hal baru, dari realisme-sosial-nya kaum
komunis hingga novelnovel surrealistik yang tidak dimengerti
kecuali oleh Tuhan (karena penulisnya sendiri juga tidak
mengerti), kini menjadi ungkapan duka.
Memang, di antara semua puing itu kini dicoba oleh bangsa
Libanon (yang masih waras, tentunya) untuk membangun kembali
kohesi nasional mereka dan fungsionalisasi pemerintahan. Sedikit
demi sedikit. Titik-titik pertama mulai terlihat untuk menyusun
sebuah aturan permainan baru di semua bidang di antara sekian
banyak suku, kelompok agama dan satuan budaya.
Kewibawaan pemerintah Libanon mulai ditegakkan kembali untuk
menyongsong perombakan total dalam sistem pengadilan, yang
selama ini memang terlalu berpihak kepada 'kelas-kelas maju'
atas kerugian 'kelas-kelas tertinggal' dalam percaturan
modernisasi.
Walau demikian, ada sebuah fungsi yang tidak akan dapat lagi
diraih kembali. Yaitu fungsi Libanon selaku tandingan Mesir.
Selama tiga dasawarsa lebih, peranan sebenarnya yang paling
utama dari Libanon adalah menjadi tandingan. Bukan karena ia
kuat: fungsi itu justru muncul karena kekecilan dan kelemahan
politis-militer Libanon sendiri. Tandingan yang dimaksud adalah
sebagai titik temu (rallying point) negara-negara Arab lain yang
takut kepada dominasi Mesir.
Di zaman pemerintahan Nasser, dengan politik dalam dan luar
negeri yang sosialistik, Libanon adalah eksponen sikap non
sosialistik dalam segala hal. Dengan demikian ia didukung
negara-negara Arab lain yang takut pada sosialisme Pan-Arabis
Nasser, terutama negara-negara monarki. Nasser main hantam saja
ekonomi kapitalistik, main babat perusahaan asing dengan jalan
nasionalisasi dan boikot. Libanon justru menjadi surga usaha
transnasional yang kebanyakan datang dari Barat. Nasser
mengumandangkan kolektivisme sosial dalam hampir semua aspek
hidup, Libanon justru penjunjung tinggi individualisme, seperti
tercermin dalam produk budaya dan seninya.
Mesir, lagi, senantiasa menjadi ancaman bagi sistem ekonomi mana
pun di kalangan negara-negara Arab, karena fungsinya sebagai
pasar massif dan penyedia bahan mentah pertanian. Libanon justru
menjadi pusat sistem perbankan regional, untuk mengkoordinasi
upaya mengurangi akibat negatif dari potensi dominatif Mesir. Di
bidang politik, arogansi Mesir sebagai 'negara besar di tengah
negara-negara kecil ' ditandingi oleh fungsi sebagai pengimbang
yang sanggup menyusun koalisi untuk menetralkan hegemoni politik
Mesir.
Fungsi tandingan itulah yang kini telah hilang--mungkin
selama-lamanya. Beberapa tahun terakhir ini belum begitu terasa
perlunya fungsi tersebut. Karena Sadat membuat Mesir lemah dan
terisolasi daA perkembangan umum kehidupan Dunia Arab. Tetapi
munculnya Husni Mubarak ada kemungkinan akan membawa kepada
'pernyataan diri kembali' bangsa Mesir. Bagaimanapun ia harus
menyantuni aspirasi politis Pan-Arabis, sebagai harga yang harus
dibayar untuk kolaborasi golongan Nasseris nanti. Juga inisiatif
perdagangan yang agresif, untuk menyelesaikan program ekonomi
yang dijadikannya tolok ukur keberhasilan kepemimpinannya
sendiri.
Untuk menghadapi kemungkinan seperti itulah negara-negara Arab
mempersiapkan sebuah 'pola tandingan' baru secara diam-diam.
Fungsi 'juru bicara Arab' di bidang politik, umpamanya, kini
dipindahkan dari Libanon ke Tunisia, seperti terbukti dengan
penonjolan peranan antar-Arab dari negara kecil itu.
Fungsi Libanon sebagai pusat jaringan fnansial Arab kini
bergeser ke Timur, bermukim di negara-negara Teluk Persia.
Bank-bank antar-Arab dan internasional bermunculan di 'kota-kota
negara' seperti Abu Dhabi, Kuwait, Bahrain. Peranan tandingan
kultural mulai direbut Irak. Bahkan ada kemungkinan, kalau mampu
menggabungkan fungsi tandingan politik dan kultural dalam sebuah
pola integral yang kokoh, Irak akan mampu menjadi 'negara besar
di tengah negara-negara kecil' Dunia Arab. Seperti Mesir dulu.
Dengan kemampuan finansial Irak yang begitu besar sebagai hasil
petrodollar, walau jaringan finansialnya lebih berwatak nasional
daripada regional, mau tidak mau akan tertunjang fungsi
tandingan politis-kultural tersebut. Pertanyaan pokok yang
terlebih dulu harus dijawab: mampukah Irak menyelesaikan
perangnya dengan Iran sekarang, melalui sebuah kemenangan
militer atau penyelesaian terhormat?
Jelaslah fungsi Libanon sebagai pembanding potensi dominatif
Mesir telah dibagi-bagi. Walau belum mati penuh dan kejang,
Libanon ternyata sudah diperlakukan sebagai bangkai oleh
negara-negara Arab lain. Sayang!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini