Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo menaikkan pangkat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto secara istimewa menjadi jenderal kehormatan patut dikecam. Bukan hanya tak sesuai dengan aturan, hal tersebut nyata-nyata mengkhianati reformasi 1998. Melalui pemberian pangkat itu, Jokowi mencuci dosa Prabowo dalam kasus penculikan dan penghilangan para aktivis demokrasi.
Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang berlaku sejak 2004 tak mengatur soal kenaikan bagi tentara yang sudah tidak aktif atau pensiun. Dalam Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan memang disebutkan bahwa penerima tanda jasa dan tanda kehormatan yang masih hidup bisa diangkat atau dinaikkan pangkatnya secara istimewa. Namun pasal tersebut hanya berlaku bagi perwira yang masih aktif. Karena itu, pemberian jenderal kehormatan kepada Prabowo amat dipaksakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendasarkan keputusannya pada sepotong peraturan, Jokowi juga mengabaikan fakta bahwa Prabowo minim prestasi selama memimpin Kementerian Pertahanan. Sejumlah persoalan justru mencuat, seperti program food estate yang dianggap gagal dan pembelian pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar yang belakangan dibatalkan setelah dipersoalkan banyak kalangan. Walau demikian, pada 2022, Jokowi menganugerahkan Bintang Yudha Dharma Utama kepada Prabowo karena dianggap berkontribusi pada kemajuan TNI dan negara. Jokowi mengklaim, karena Prabowo menerima gelar tersebut, dia diusulkan TNI untuk mendapat kenaikan pangkat secara istimewa.
Jika klaim tersebut betul, ini berarti TNI mengingkari sejarah bahwa Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang dibentuk TNI—dulu ABRI—pada 1998, menyatakan Prabowo bersalah, antara lain, karena memerintahkan “pengungkapan, penangkapan, dan penahanan” aktivis. Melalui surat nomor KEP/03/VIII/1998/DKP tertanggal 24 Juli 1998, DKP merekomendasikan Prabowo untuk diberhentikan sebagai prajurit. Empat bulan kemudian, pada 20 November 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 62/ABRI/1998 tentang pemberhentian dengan hormat Prabowo yang berpangkat letnan jenderal dari dinas keprajuritan.
Jokowi perlahan-lahan mencuci dosa masa lalu Prabowo. Pragmatisme politik membuat Jokowi mengangkat Ketua Umum Partai Gerindra tersebut sebagai Menteri Pertahanan pada 23 Oktober 2019, setelah mereka bersaing dalam pemilihan presiden pada tahun itu. Inilah keputusan pertama Jokowi yang mengaburkan kesalahan Prabowo. Upaya Jokowi melanggengkan kekuasaan dengan menyorongkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, berpasangan dengan Prabowo dalam pemilihan presiden lalu makin membilasnya. Kini Jokowi kian tak malu-malu mengkhianati reformasi dengan menaikkan pangkat bekas tentara, yang diberhentikan karena bersalah, menjadi jenderal bintang empat kehormatan.
Pada 2014, ketika pertama kali maju sebagai presiden, Jokowi menjadikan isu hak asasi manusia sebagai jualan kampanyenya. Ia berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk penghilangan aktivis pada 1997-1998. Bukannya menunaikan janji itu hingga tuntas, Jokowi malah melukai korban dan keluarganya dengan menaikkan pangkat Prabowo secara istimewa.
Jokowi barangkali menyadari bahwa tindakannya akan melukai mereka, tapi itu dikesampingkan karena dia punya motivasi tersembunyi. Berdasarkan penghitungan sementara pemilihan presiden, pasangan Prabowo-Gibran ada kemungkinan bakal menjadi presiden dan wakil presiden selanjutnya. Manuver Jokowi menaikkan pangkat Prabowo, yang berambisi menyandang bintang empat saat berdinas di militer, bisa dimaknai sebagai upaya untuk mengunci Prabowo dengan utang budi. Dengan logika tersebut, Prabowo tak akan meninggalkan Jokowi, bahkan memberikan ruang bagi dia untuk cawe-cawe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini