JIKA benar majalah Soviet Avrora menyindir Brezhnev, alangkah
kasihannya pak tua itu. Dan alangkah kasihannya Uni Soviet.
Bayangkan saja. Brezhnev, 75 tahun, diibaratkan seorang penulis
tua yang menolak ajal. Rupanya si penyindir menginginkan agar
tokoh itu mundur saja -- 'kan dia sudah doyong. Tapi orang tak
berani berterus-terang, dan itulah sedihnya.
Kenapa Brezhnev susah mundur? Barangkali bukan karena dia tetap
berambisi. Juga bukan karena di Soviet tak ada prosedur untuk
mengganti seorang pemimpin. Bukankah Nikita Khruschev dulu bisa
diganti tanpa kekerasan?
Tapi bagaimanapun Brezhnev nampaknya jadi problem. Dinamika
suatu kekuasaan yang begitu besar -- yang menjangkau ke segenap
penjuru--agaknya memang cenderung melulur setiap alternatif
lain. Pilihan, akhirnya, hanya bergerak di sekitar titik nol.
Tentu bukan karena keserakahan pribadi. Tapi karena struktur
politik seperti di Uni Soviet adalah struktur yang dilahirkan
dari, dan untuk, kegentingan. Di sana orang berkata, "Ingatlah
pertentangan kelas!".
Maka tak heran bila negara, serta ideologinya, seakan selalu
bersiap dengan tangan di dekat holster, tempat pistol
bertengger. Para pemimpinnya cenderung mengamankan medan politik
sampai tuntas. Tak ada rumput yang boleh nampak aneh. Tak ada
batu yang boleh terpasang lain. Jangan bikin gerak yang
mencurigakan. Brezhnev sudah memegang kendali. Demi tanah air,
jangan dia diganggu-ganggu lagi.
Tentu, tak berarti dinamika kekuasaan seperti itu cuma terdapat
di negar komunis. Kita memang bisa berkisah tentang tempat
lain, dari zaman yang lain.
Misalnya di Turki, di masa Ottoman. Di sana sultan konon disebut
sebagai "Bayangan Allah di Muka Bumi'." Dalam kedudukan setinggi
itu, ia seolah tak perlu bersintuhan dengan dunia yang
sebenarnya, yang berubah dan menyimpan mimpi. Ia tinggal di
seraglionya yang serba lengkap dan serba gemerlap, di Istana
Topkapi, di Kota Konstantinopel.
Di sana bekerja 5.000 pelayan. Ke sana dikirim berkapal-kapal
bahan makanan Bagi kepentingannya sang sultan menerima
bergerobak-gerobak persembahan, dari semangka hingga salju. Bila
dia jalan, siapa pun yang berada di jurusannya harus sembunyi.
Bila ia mendengarkan lagu (bersama wanita favoritnya), para
pemain musik pun ditutup matanya, agar tak melihat si cantik di
sisi baginda. Pendek kata, sultan memonopoli segala soal.
Juga memonopoli kekuasaan, dan hak atas kekuasaan. Ada ahli
sejarah yang mengatakan, bahwa sampai dengan abad ke-16, lazim
bagi seorang sultan Turki untuk membunuhi saudara kandungnya
sendiri--agar tak ada ancaman bagi kedudukannya.
Sultan Murad, misalnya, yang memerintah antara 1574 sampai 1595,
punya anak 100 orang. Duapuluh yang kemudian hidup. Ketika yang
tertua dinobatkan jadi Mehmet III, ia menyuruh cekik kesembilan
belas adik-adiknya. Dan agar tak ada kekisruhan kelak, dia juga
menyuruh bunuh tujuh selir ayahnya yang sedan hamil.
Syahdan, kemudian ada jalan yang lebih "bersih". Di tahun 1603
Sultan Ahmad I naik tahta. Tapi dia menolak membasmi
saudara-saudaranya sekandung. Mereka ini hanya dia suruh hidup
dalam sebuah pavilyun besar, yang tertutup dari dunia luar --
dan disebut "Sangkar". Dengan begitu Sultan Ahmad I menjaga,
agar posisinya aman dan pasti, dan Turki tak terancam perang
saudara memperebutkan tahta.
Dari "Sangkar" itulah sultan pengganti, bila saatnya tiba,
diambil dan dinobatkan Tapi dengan pemimpin-pemimpin yang jinak
dan terlambat belajar seperti itu, Turki pun pelan-pelan
merosot. Pernahkah anda dengar cerita Sultan Ibrahim yang
menghabiskan waktunya melemparkan intan ke ikan-ikan di Selat
Bosphorus?
Betapa aneh, betapa menyedihkan, dan betapa seram, korban
kecemasan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini