Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan pengujian aturan rekaman elektronik merupakan langkah mundur. Kini khalayak sulit ikut membongkar kejahatan, termasuk korupsi, melalui bukti rekaman. Rekaman suara atau gambar tak akan bisa lagi digunakan sebagai bukti bila tidak dibuat penegak hukum.
Permohonan uji materi itu diajukan Setya Novanto, bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan kini Ketua Umum Partai Golkar. Ada dua undang-undang yang ia gugat. Pertama, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memuat soal "permufakatan jahat". Untuk delik ini, Mahkamah sepakat dengan Setya: definisi "permufakatan jahat" harus dimaknai bahwa para pelakunya memiliki kualitas yang sama.
Kedua, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya aturan tentang informasi dan dokumen elektronik yang dijadikan bukti hukum. Setya menggugat pasal 5 ayat 1 dan 2 serta pasal 44 huruf b undang-undang ini. Pasal-pasal itu mengatur soal informasi dan dokumen elektronik serta hasil cetakannya sebagai alat bukti yang sah. Majelis hakim konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian permohonan Setya dengan menambahkan ketentuan bahwa rekaman elektronik itu harus dibuat penegak hukum. Dengan kata lain, rekaman yang dibuat perseorangan tidak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.
Dua putusan itu sangat menguntungkan Setya, yang pernah tersangkut dugaan pemerasan terhadap PT Freeport Indonesia. Dalam skandal yang terbongkar pada Desember tahun lalu itu, Setya diduga meminta jatah saham kepada Maroef Sjamsoeddin, bos PT Freeport Indonesia, untuk imbalan memuluskan perpanjangan izin perusahaan tambang ini. Diam-diam Maroef merekam percakapan mereka dan melaporkannya ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (saat itu) Sudirman Said.
Bukti rekaman itulah yang akhirnya memaksa Mahkamah Kehormatan DPR menggelar sidang untuk mengadili Setya. Namun Setya keburu mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR sehingga sidang berakhir tanpa vonis. Di sisi lain, penegak hukum tak kunjung mengusut kasus ini.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, makin tertutup peluang penegak hukum menjerat Setya. Pasal permufakatan jahat melakukan korupsi seperti yang hendak disangkakan tidak bisa lagi dipakai karena pengertian delik ini dipersempit. Bukti rekaman pemerasan pun tidak bisa digunakan lagi setelah Mahkamah mengoreksi ketentuan mengenai bukti informasi dan dokumen elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Artinya, Setya sulit dijerat dalam kasus yang populer dengan sebutan "Papa Minta Saham" itu.
Keuntungan Setya atas putusan Mahkamah itu, pada saat yang sama, adalah kerugian besar bagi penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi. Soalnya, rekaman tidak bisa lagi menjadi alat bukti di pengadilan bila tidak dibuat penegak hukum. Hakim konstitusi seharusnya membedakan alat bukti dan proses mendapatkan alat bukti. Sebagai alat bukti, semestinya rekaman tetap bisa dianggap sah walau dibuat tidak sesuai dengan prosedur, khususnya untuk membongkar kejahatan tertentu, seperti korupsi, yang merugikan rakyat banyak.
Polisi juga akan sulit membongkar terorisme karena perubahan aturan main itu. Dalam teror bom, misalnya, keterlibatan pelaku, bahkan jauh sebelum pengeboman berlangsung, sering terungkap, lalu dibuktikan, melalui rekaman closed-circuit television.
Tak sekadar mempersulit pengusutan kejahatan, putusan hakim konstitusi yang mengoreksi soal permufakatan jahat dan bukti rekaman jelas merupakan kemunduran hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo