Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT menepis bau tawar-menawar politik dalam penunjukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara. Dua pekan lalu, Presiden Joko Widodo telah mengajukan surat permohonan penunjukan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pekan berikutnya, Dewan meluluskan permintaan tersebut.
Menolak Budi sebagai menteri dan Kepala Kepolisian RI, kini Presiden memberinya posisi tak kalah penting: kepala badan yang menguasai ribuan aparat telik sandi sekaligus mengendalikan pelbagai alat sadap. Kita tahu, Budi sejak awal disokong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Di tengah pelbagai hiruk-pikuk pada dua tahun pertama pemerintahan, Budi telah menjadi bongkahan batu—bukan cuma kerikil—di sepatu Jokowi.
Mula-mula nama Budi muncul sebagai calon menteri. Tapi ia dicoret Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang diminta Presiden menyeleksi kandidat anggota kabinet. Lalu ia disorongkan menjadi calon Kepala Kepolisian. Lagi-lagi gagal karena KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Belakangan status tersangka itu memang dibatalkan majelis hakim praperadilan, tapi Presiden telah menunjuk Jenderal Badrodin Haiti sebagai Kepala Polri.
Dalam politik, negosiasi memang bukan barang haram. Mempertahankan Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Polri—posisinya saat ini—dipercaya akan mempersulit Kepala Polri baru Jenderal Tito Karnavian melakukan regenerasi di tubuh Kepolisian. Tak memakai Budi sama sekali akan membuat Jokowi salah tingkah di depan PDIP—terutama Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Namun menjadikan jabatan Kepala BIN sebagai bagian dari negosiasi politik telah mencederai akal sehat—selain akan menyulitkan Jokowi sendiri. Penunjukan Kepala BIN semestinya didasarkan terutama pada loyalitas kandidat kepada negara dan pemerintah. Menguasai pelbagai infrastruktur intelijen, BIN harus berada dalam rentang koordinasi pemerintah.
Patut pula disesali mengapa Presiden seolah-olah mengabaikan rekam jejak sang kandidat. Kabar tentang rekening gendut yang dimiliki Budi selayaknya tidak diabaikan begitu saja. Apalagi Presiden, lewat verifikasi KPK, pernah menjadikan pemilikan rekening di luar batas kewajaran itu sebagai alasan menolak Budi masuk kabinet.
Presiden semestinya menyadari betapa penting posisi BIN. Ancaman teroris hingga kini belum pupus. Januari lalu, serangan acak dilakukan teroris di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, hanya beberapa kilometer dari Istana Negara. Sejumlah warga Indonesia kini berada di Suriah dan bergabung dengan Negara Islam (IS)—mereka yang dari jauh bisa mengendalikan teroris di Tanah Air. Survei menyebutkan radikalisasi telah mencapai tahap yang mengerikan—ditandai dengan persetujuan banyak responden terhadap kekerasan dan ide syariah sebagai dasar negara.
Belum lagi narkotik yang merajalela. Pasar terbuka ASEAN harus diantisipasi agar tidak disalahgunakan oleh pelaku kejahatan transnasional pengedar dadah. Jumlah kejahatan seksual terutama terhadap anak-anak meningkat terus—sebagian melibatkan pelaku dari luar negeri.
BIN harus berada di depan sebagai pengendus jika kita tak ingin kecolongan.
Konsolidasi politik sekali lagi bukan barang haram. Tapi mengorbankan intelijen untuk kepentingan itu jelas akan merugikan orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo