Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kritiklah Daku Kau Kubokong

SIAPA PUN pelakunya, peretasan terhadap sejumlah aktivis dengan maksud untuk membungkam kritik merupakan sikap anti-demokrasi.

28 April 2020 | 06.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ravio Patra, Diretas Sebelum Ditangkap

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA PUN pelakunya, peretasan terhadap sejumlah aktivis dengan maksud untuk membungkam kritik merupakan sikap anti-demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peretasan terhadap akun aplikasi percakapan milik Ravio Patra hanyalah satu contoh. Pekan lalu, seseorang membajak akun WhatsApp peneliti kebijakan publik itu, lalu mengirim pesan berantai berisi ajakan untuk menjarah. Hari itu juga, polisi meringkus Ravio. Sulit untuk tak mengaitkan peristiwa itu dengan sejumlah tulisan Ravio yang mengkritik benturan kepentingan Staf Khusus Presiden dan buruknya pengelolaan data Covid-19. Sempat tak dapat dihubungi penasihat hukumnya, sehari kemudian Ravio dibebaskan polisi dengan status saksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dua pekan terakhir, belasan aktivis pro-demokrasi juga menjadi korban serangan cyber beraroma politik. Mereka di antaranya adalah peneliti SAFENet, Damar Juniarto; Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah Ismail; Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho; dan juru bicara Gejayan Memanggil, Syahdan Husein. Sulit mempercayai pembobolan serentak ini dilakukan tanpa sengaja terhadap mereka yang konsisten mengkritik pemerintah, termasuk menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias omnibus law.

Modus serupa pernah terjadi pada September tahun lalu. Ketika itu, nomor telepon seluler dan akun media sosial puluhan aktivis serta akademikus penolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dibajak. Puluhan akun tak dikenal masuk grup-grup percakapan yang dibikin para pegiat antikorupsi untuk mengkoordinasikan perlawanan.

Muncul wasangka: peretasan itu dilakukan aparat negara. Polisi hingga kini belum membuka siapa pembajak akun WhatsApp Ravio. Pelaku peretasan akun aktivis lainnya juga gelap gulita. Jika benar tak terlibat, aparat semestinya sigap mencari pelaku agar tak dituding melakukan atau mengotaki serangan itu.

Jika pembokongan dilakukan aparat, ini merupakan perbuatan pengecut. Lazimnya, aksi anonim dilakukan oleh mereka yang lemah dan tanpa kekuasaan. Sedangkan negara, dengan wewenang yang besar, tak perlu main bokong. Seseorang yang menghasut orang lain untuk menjarah tentu dapat dihukum. Tapi membajak akun, lalu menangkap pemilik akun atas dasar pesan palsu, merupakan perbuatan kampungan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika selayaknya mengungkap perbuatan berbahaya itu. Kementerian, misalnya, dapat mendesak penyedia jasa layanan Internet dan pengelola aplikasi untuk mengidentifikasi sumber teror. Itu bukan hal yang mustahil. Pada November 2019, penyelidikan internal WhatsApp mengungkap dugaan keterlibatan NOS Group, perusahaan asal Israel, yang menyediakan spyware untuk meretas sedikitnya 1.400 telepon seluler di empat benua. Meski tak diungkapkan secara detail, pemesan perangkat lunak untuk mencuri informasi itu, di antaranya, berasal dari Indonesia.

Divisi Profesi dan Pengamanan Polri harus bertindak jika ada anggota kepolisian yang terlibat. Kepala Polri juga tak perlu ragu menegakkan aturan jika perbuatan tercela itu dilakukan lembaga lain. Bila Polri tak bergigi, Presiden harus memastikan tak ada organisasi penegak hukum yang bermain di luar koordinasi. Presiden mesti memerintahkan pengusutan kasus ini bila ia tak mau dituduh mengambil manfaat atas kriminalisasi warga sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus