Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi sebenarnya bukan penentu tunggal dalam proses pemilihan pejabat eselon I. Di Tim Penilai Akhir-lembaga yang dipimpin presiden dan bertugas memilih calon direktur jenderal dan pejabat selevel-dia hanya salah satu anggota. Tapi, rupanya, dia melihat celah untuk "mempengaruhi" hasil pekerjaan Tim Penilai Akhir: memastikan orang-orang yang dikehendakinya terpilih.
Untuk mencapai tujuan itu, Yuddy menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam panitia seleksi di setiap instansi pemerintah. Keberadaan panitia ini diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam pasal 110 ayat 3 disebutkan, "Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi Pemerintah yang bersangkutan."
Yuddy berada di wilayah abu-abu: memasukkan orang kepercayaan bisa dibaca dari dua sudut. Ia boleh jadi ingin memastikan "orang baik" yang terpilih, tapi di sisi lain bisa juga ia ingin "orang yang baik kepadanya" yang jadi pemenang. Frasa "orang baik" dan "orang yang baik kepadanya" sesungguhnya cuma dibedakan oleh kata "kepadanya"-sesuatu yang mudah dikaitkan dengan imbalan, gratifikasi, atawa konsesi.
Kecurigaan itu membuncah karena Yuddy memasukkan unsur partai politik dalam panitia seleksi-sesuatu yang jelas-jelas melanggar aturan. Tak melulu lewat panitia seleksi, Yuddy juga tak sungkan menyurati menteri agar memilih calon pejabat eselon I yang ia kehendaki. Ia pernah melayangkan katebelece kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Berkop kementerian yang dipimpinnya, layang tersebut secara tersirat berisi permohonan agar Susi menjadikan seseorang sebagai inspektur jenderal di kementerian itu.
Yuddy memanfaatkan modal yang tak dipunyai setiap orang: kemampuan memompa rasa percaya diri, jika bukan menekan rasa jengah. Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ia menemui seorang calon direktur jenderal. Kepada sang kandidat, Yuddy mengabarkan bahwa Tim Penilai Akhir telah memilihnya menjadi direktur jenderal-sesuatu yang berbeda dengan kenyataan. Tak ada bukti bahwa Yuddy menerima imbalan atas "bocoran" itu-betapapun pepatah mengatakan "tak ada makan siang gratis".
Sulit untuk tak mengatakan bahwa apa yang dilakukan Yuddy merupakan upaya "pembajakan" terhadap proses seleksi pejabat, yang semestinya bersifat fair dan terbuka. Dalam proses seleksi yang pada akhirnya ditentukan Presiden, ia mengambil peran di tahap awal. Yuddy memang tidak memaksa Presiden menyetujui calon yang ia inginkan, tapi setidaknya menyaring agar calon yang masuk arena adalah kandidat yang ia harapkan.
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara jelas dibuat untuk mengeliminasi permainan semacam itu. Aturan itu dibikin untuk "mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi". Tapi praktek membelokkan tujuan tampaknya tak pernah benar-benar pupus.
Tak ada bukti Yuddy bermain sendiri atau, sebaliknya, ia bagian dari sebuah skenario besar. Yang ada adalah analisis post factum: selama ini di balik pengangkatan pejabat eselon ada pertarungan politik tingkat tinggi. Laku Yuddy-bekas politikus Partai Golkar yang kini menjadi utusan Partai Hanura di kabinet-karena itu mudah ditafsirkan sebagai jalan pintas untuk mengontrol posisi-posisi tertentu di kementerian.
Perbaikan mesti segera dilakukan. Meski undang-undang menyebutkan orang di luar kementerian boleh terlibat dalam tim seleksi, sepatutnya perlu diperjelas siapa yang boleh dan siapa yang tidak. Aturan bahwa anggota tim seleksi harus netral dan tidak sedang menjadi pengurus partai politik selayaknya dipertajam dengan keharusan mencoret anggota tim seleksi yang punya kaitan dengan partai. Larangan anggota panitia seleksi memiliki hubungan kekerabatan dengan kandidat selayaknya diperkuat dengan ancaman pembatalan kandidat jika hubungan kekerabatan itu bisa dibuktikan. Pembentukan panitia seleksi harus betul-betul melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara, lembaga yang bertugas menjaga netralitas pegawai aparatur sipil negara.
Di hilir itu semua, Presiden selayaknya waspada terhadap kongkalikong di balik penetapan pejabat kementerian. Presiden harus memastikan sistem merit berjalan baik dan ia tak salah pilih orang. Kesalahan pembuatan instruksi presiden terhadap pengangkatan direktur jenderal di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tak boleh terulang. Betapapun dilakukan anak buah, pada akhirnya Presiden merupakan penanggung jawab akhir atas semua kisruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo