Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo mesti bergegas mengatasi persoalan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang kian menumpuk. Membiarkan masalah ini karut-marut tak berkesudahan hanya akan mempertebal kerugian negara dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Apalagi pelayanan publik di bidang kependudukan yang semestinya diutamakan sekarang telah menjadi korban.
Proyek besar ini memang kusut-masai. Setelah kelangkaan blangko kosong-bahan utama pembuatan KTP-menasional, muncul pula skandal korupsi, yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum lagi skandal rasuah ini kelar, muncul masalah lain, yaitu keamanan data penduduk yang direkam PT Biomorf Lone Indonesia. Perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat ini menolak meneruskan tugasnya membuat e-KTP karena ongkos kerjanya belum dilunasi.
Biomorf merupakan subkontraktor konsorsium yang dipimpin Percetakan Negara RI. Mereka kini punya tagihan ke konsorsium itu Rp 48 miliar. Biomorf juga meminta negara membayar Rp 540 miliar untuk biaya perubahan spesifikasi dan perawatan sistem selama 2014-2105. Seluruh tagihan itu belum dibayar.
Sampai awal tahun lalu, masalah tagihan masih menggantung. Biomorf akhirnya berhenti mengintegrasikan data biometrik yang telah terkumpul ke dalam sistem. Akibatnya, hasil perekaman data identitas ratusan juta penduduk tidak dapat diintegrasikan dengan sistem tersebut.
Efeknya segera terasa. Di berbagai daerah, muncul keresahan ketika warga hendak mengurus e-KTP. Petugas tak bisa melayani dengan alasan stok blangko kosong dan diminta menunggu dua-tiga bulan. Petugas terpaksa memakai alasan itu karena sistem perekaman yang terintegrasi dengan sistem di kelurahan tidak dapat beroperasi.
Biomorf mengklaim telah merekam 167,7 juta data penduduk Indonesia yang kemudian diberi nomor induk kependudukan (NIK). Jika soal duit tak selesai, sistem kependudukan itu terancam terbengkalai karena sebagian kode sumber (source code), yaitu kode kunci program data untuk sistem integrasi, masih di tangan Biomorf.
Tanpa kode, sistem canggih perekam data itu tak ada gunanya. Belakangan, Kementerian Dalam Negeri menyebutkan data dan kode ada pada mereka. Pihak mana pun yang memegang data dan kode, ketidakjelasan ini mencemaskan. Siapa yang bisa menjamin identitas ratusan juta warga Indonesia yang sudah terekam tidak disalahgunakan?
Program membuat NIK adalah niat yang sudah lama ditunggu hasilnya. Ini proyek strategis karena, dengan adanya NIK, kita memiliki identitas tunggal untuk hampir semua kepentingan administrasi. Lewat e-KTP berbasis NIK, tak akan ada lagi warga memiliki KTP ganda. Peluang penyalahgunaan kartu penduduk pun menyempit. Masyarakat juga diuntungkan. Mengurus pajak, surat izin mengemudi, atau paspor, misalnya, akan lebih mudah karena semua data telah terintegrasi.
Melihat pentingnya proyek e-KTP, Presiden semestinya turun tangan. Semua karut-marut ini harus segera ditangani. Membiarkan proyek e-KTP mangkrak sama dengan mengabaikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang ini mengamanatkan pemerintah wajib segera membereskan administrasi kependudukan. Tagihan yang harus dibayar ke Biomorf mesti dilunasi agar data yang telanjur terkumpul bisa dimanfaatkan dan proyek bisa terus berjalan.
Penyelamatan proyek e-KTP tentu harus dilakukan tanpa mengganggu proses hukum di KPK. Justru pemerintah mesti sepenuhnya mendukung pengusutan ini. Presiden perlu memerintahkan kejaksaan dan kepolisian mengawasinya dan mencegah terjadinya korupsi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo