Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan mengenai penghinaan terhadap pemerintah rupanya masih bercokol dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya menghilangkan pasal karet itu karena jelas berlawanan dengan semangat konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebetulnya telah menghapus haatzaai artikelen atau pasal penyebaran kebencian terhadap penguasa itu pada 2007. Tapi pemerintah tetap memasukkan aturan tersebut ke Rancangan KUHP yang kini dibahas di parlemen. Aturan "menyatakan kebencian terhadap pemerintah atau menyebarkannya" semula dimuat dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. Setelah dihapus Mahkamah Konstitusi, aturan serupa muncul dalam Pasal 284 dan 285 Rancangan KUHP.
Dalam Rancangan KUHP, dua aturan itu memang diubah dari delik formal menjadi material. Unsur ketentuan pidana itu dirumuskan lebih obyektif. Pada pasal 284, misalnya, diatur soal "melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat". Frasa "terjadinya keonaran" merupakan unsur baru demi memperjelas dan membatasi rumusan kejahatan ini.
Hanya, batasannya tetap saja kabur. Tak adanya penjelasan soal "berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat" masih memungkinkan pasal ini ditafsirkan sesuka hati. Unsur "melakukan penghinaan" juga tetap bisa diartikan secara luas dan multitafsir.
Demokrasi berjalan mundur bila pasal warisan kolonial Belanda ini dipertahankan. Kerajaan Belanda pun saat itu mengadopsinya dari aturan Inggris yang diterapkan di India sebagai negara jajahan pada 1915. Di India, pasal itu sudah dihapus karena bertentangan dengan konstitusi negara tersebut.
Sejumlah pasal karet yang lain juga masih dilestarikan, seperti aturan mengenai penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Delik kuno yang juga peninggalan Belanda ini diatur lagi dalam Pasal 262, 263, dan 264 Rancangan KUHP. Pemuatan aturan itu jelas salah kaprah. Indonesia merupakan negara berbentuk republik, bukan kerajaan. Dulu Kerajaan Belanda menerapkan pasal itu untuk menjaga martabat ratu atau raja dan gubernur jenderal yang memerintah negeri jajahan.
Aturan yang lentur dalam haatzaai artikelen berpotensi melanggar hak asasi manusia. Soalnya, segala bentuk kritik terhadap presiden bisa saja dijerat dengan aturan itu dan diancam hukuman yang cukup berat, yakni lima tahun penjara.
Pada zaman media sosial sekarang, orang memang seenaknya saja berbicara tanpa argumen dan nalar yang kuat. Masyarakat belum bisa membedakan kritik, penghinaan, dan pencemaran nama. Tapi pada saatnya masyarakat akan jadi dewasa. Lagi pula masalah ini sudah diatur dalam undang-undang lain. Kalau martabat presiden dan wakil presiden benar-benar terancam, mereka bisa mengadu ke penegak hukum sebagaimana warga negara biasa.
Salah satu ukuran kualitas demokrasi adalah masyarakat mampu berbicara terbuka mengenai pemimpinnya. Jika diterapkan, pasal-pasal penyebaran kebencian bisa memberangus kritik masyarakat. Diskusi-diskusi yang sedikit saja mengevaluasi kinerja presiden bisa dilaporkan sebagai perbuatan yang merusak martabatnya. Begitu pula happening art mahasiswa yang kerap mensatirkan pemimpin kita. Kalangan pers juga tidak akan nyaman lantaran takut mengkritik pemerintah.
Rancangan KUHP yang disiapkan sejak zaman Orde Baru dan disempurnakan berkali-kali itu rupanya masih mengandung banyak kelemahan. DPR dan pemerintah harus segera memangkas aturan yang membahayakan demokrasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo