Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDATANGAN Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud memang seperti kunjungan muhibah dari negeri dongeng. Dengan eskalator berlapis emas, 1.500 anggota delegasi, 14 menteri, dan 25 pangeran, yang diangkut tujuh pesawat Boeing berbadan lebar, satu helikopter, serta puluhan Mercedes-Benz, tidak mudah untuk tak berharap bahwa raja Arab Saudi itu akan segera mengucurkan investasi yang menakjubkan: US$ 25 miliar atau sekitar Rp 332,5 triliun di pelbagai pelosok negeri.
Indonesia, yang haus akan investasi, gampang silau dengan harapan besar dari kunjungan dengan skala serba "superlatif" ini. Tak disadari betapa ekonomi kerajaan kaya minyak itu belum lagi pulih dari amblesnya harga minyak sejak 2014-yang membuat Saudi mengalami defisit US$ 89 miliar tahun lalu. Saudi dewasa ini harus hidup tanpa banyak mengandalkan penjualan minyak, kendati 80 persen pendapatan berasal dari ekspor minyak, dan sektor minyak menyumbang 75 persen anggaran pendapatan dan belanjanya.
Sebagian orang juga menaruh harapan tinggi bahwa kedatangan delegasi kerajaan yang bergelar khadamul haramain atau pelayan dua tempat suci (Mekah dan Madinah) ini akan memberi angin positif bagi kelompoknya. Sejak Iran menghentikan ekspor revolusinya ke negara-negara Islam, kemudian larut dalam perang Irak-Iran 1980-1988, Arab Saudi cepat mengisi kevakuman "kepemimpinan" itu. Adapun mereka yang tengah bergulat dengan kisruh politik sektarian di Tanah Air tak menyia-nyiakan kedatangan utusan Arab Saudi kali ini khusus untuk mendukung kepentingannya.
Sayangnya, harapan itu tak mudah dipenuhi karena sulit ditepis bahwa kedatangan rombongan Arab Saudi juga untuk memoles citra Islam Wahabi yang tidak terlalu bagus, yang belakangan ini kerap dikaitkan dengan terorisme, intoleransi, dan kekerasan. Wahabi, yang dikembangkan Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18, adalah ajaran pemurnian agama yang sangat berpengaruh di Arab Saudi.
Tentu bukan tanpa pesan politik tatkala bulan lalu Kerajaan Arab Saudi memberikan undangan umrah khusus kepada keluarga anggota Detasemen Khusus 88 yang tewas dalam tugas. Secara tidak langsung Saudi memperlihatkan keberpihakannya kepada pembasmi ketimbang pelaku terorisme. Puncaknya, dalam pertemuan di Jakarta pekan lalu, Indonesia dan Saudi menandatangani kerja sama memerangi terorisme.
Ada masanya kontestasi dengan Iran mendekatkan Arab Saudi dengan kelompok-kelompok ekstrem Wahabi yang berhaluan sektarian dan memiliki semangat anti-Syiah. Seperti sejumlah negara Arab dan Barat, bertahun-tahun kerajaan yang dibangun dinasti Ibn Saud ini sempat menggunakan tangan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS untuk menghantam kekuatan Syiah di Irak dan Suriah. Namun ISIS ibarat anjing gila yang pada waktunya akan menggigit tuannya sendiri. Juli tahun lalu, ISIS berada di balik serangan yang menewaskan empat petugas keamanan Saudi di kompleks Masjid Nabawi di kota suci Madinah.
Banyak yang khawatir terhadap pengaruh Wahabi di antara konservatisme, intoleransi, dan sektarianisme yang menguat di Indonesia kini. Kembalinya sejumlah sarjana Indonesia yang belajar agama di universitas-universitas Arab Saudi membawa semangat pemurnian, sekaligus konflik dengan kelompok-kelompok agama tradisional. Sudah saatnya Arab Saudi membuktikan bahwa Islam Wahabi tidak membenarkan intoleransi, ekstremisme, kekerasan, dan sektarianisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo