Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEATER "Labora versus Negara" nyaris mengalahkan heboh gerhana, serentang dua pekan terakhir. Diserbu oleh sekitar tujuh ratus polisi dan tentara, didukung satu kendaraan barakuda yang meruntuhkan tembok dan membongkar pagar kompleks hunian terpidana 15 tahun penjara itu, adegan yang disiarkan langsung berbagai stasiun televisi itu tak kalah seru ketimbang peringkusan gembong kartel narkotik di Kolombia.
Labora Sitorus bukan polisi sembarangan. Dengan jenjang pangkat setara bintara, penangkapannya jauh lebih "megah" ketimbang, misalnya, upaya peringkusan terhadap Komisaris Jenderal Susno Duadji di Bandung, beberapa tahun lalu. Toh, penyerbuan itu gagal. Labora lenyap bak ditelan bumi. Pernyataan sejumlah pejabat pun simpang-siur. Ada yang mengatakan pemilik rekening Rp 1,5 triliun itu lolos lewat pelabuhan pribadinya. Ada yang mencari bunkernya di sekitar kompleks. Bahkan ada yang berspekulasi dia sudah sampai di Filipina.
Seakan-akan tak puas meledek para mantan sejawatnya, Labora muncul sendiri di sebuah pos polisi pada suatu dinihari—hanya diantar ojek! Kepala Polres Sorong menyatakan bahwa Labora menyerah karena lapar dan kehabisan duit. Artinya, kalau polisi dulu berhasil membuat dia lapar dan kehabisan duit, sudah lama sebetulnya Labora bisa diringkus. Tak perlu mengerahkan polisi setingkat kompi plus barakuda, yang biaya operasinya tak bisa dibilang murah.
Dihukum untuk kejahatan pembalakan liar dan pencucian uang, sejak awal perkara Labora menarik perhatian. Menilik skala bisnis dan akumulasi rekening banknya, Labora tentu punya bakat kewirausahaan luar biasa. Tapi status dan jabatannya sebagai anggota Polres Raja Ampat, Papua Barat, "hanya" dengan pangkat ajun inspektur polisi, rasanya tidak memberi ruang dan luang yang cukup lapang baginya mendirikan sebuah "kerajaan bisnis".
Dengan hitung-hitungan sekolah dasar saja bisa dipastikan Labora tidak bermain sendirian. Keengganannya diterungku juga mengindikasikan situasi psikologisnya yang tidak rela dijadikan "korban", padahal tadinya dia bekerja untuk "banyak orang". Gejala ini sudah terlihat sejak hari-hari pertama penangkapannya. Karena itu, setelah kini ia menghuni sel isolasi di penjara Cipinang, terbukalah peluang untuk membongkar semua jaringan "pengaman"-nya, dari Papua sampai Jakarta.
Di pengadilan Sorong, sebetulnya, Labora sudah divonis ringan: dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Tentulah ada pihak yang mengambil keuntungan dari upaya sampai ke tingkat kasasi dengan iming-iming bisa mendapat vonis bebas. Di luar harapannya, Mahkamah Agung melibas Labora dengan vonis 15 tahun penjara.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berjanji menindak siapa pun yang mendukung pelarian Labora selama ini. Janji itu patut ditagih terus. Sebab, belum apa-apa Kepala Polda Papua Barat Brigadir Jenderal Royke Lumowa sudah menghentikan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang diduga menghambat proses penahanan Labora.
Penghentian pemeriksaan yang prematur itu layak ditelusuri. Dalam kasus Labora, jelas sekali indikasi peremehan terhadap negara. Kalau peremehan itu didukung oleh para pejabat dan aparatur negara sendiri, tidak mustahil kasus serupa akan muncul di kemudian hari. Karena itu, semua kaki tangan Labora harus diusut dan dihukum. Labora sendiri seyogianya diberi sanksi tambahan karena melakukan perlawanan terhadap putusan mahkamah yang telah berkekuatan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo