Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rombak Kabinet untuk Siapa

14 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riuh-rendah kabar kocok ulang kabinet sudah sangat mengganggu. Presiden Joko Widodo seharusnya segera memberi kepastian agar urusan itu tak semakin gaduh. Hanya dengan cara ini kabinet bisa bekerja tenang dan berfokus mengejar target yang terbengkalai.

Isu reshuffle itu telah diperbincangkan berpekan-pekan tapi tiada titik terang. Mencuatlah pro dan kontra yang berkepanjangan, bahkan cekcok di antara para menteri. Padahal, sejak Desember tahun lalu, rapor kinerja menteri sudah dibagikan. Tolok ukurnya ialah penerapan manajemen yang berorientasi pada hasil. Sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah mendapat nilai rendah, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Pemuda dan Olahraga; dan Kejaksaan Agung.

Episentrum kegaduhan boleh jadi berada di Istana sendiri. Presiden Jokowi tak segera mengambil langkah. Kinerja yang buruk di beberapa kementerian perlu dicarikan solusi. Mengganti menteri merupakan salah satu cara. Presiden juga kurang tangkas mengelola konflik di lingkaran kekuasaan. Alih-alih mendamaikan para menteri, ia lama berdiam diri.

Presiden Jokowi baru memberikan sinyal lebih jelas mengenai reshuffle itu pada Kamis pekan lalu. Ia melontarkan ancaman bakal mencopot menteri yang kinerjanya buruk. Saat itu Jokowi gusar atas urusan dwelling time—lamanya waktu tunggu barang di pelabuhan sebelum diambil pemilik atau diangkut kapal. Jokowi mengisyaratkan "jangan sampai ada korban lagi terkait dengan soal ini". Ia menyebut salah satu musabab perombakan kabinet jilid pertama pada Agustus tahun lalu adalah dwelling time. Saat itu Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo terpental dari kabinet dan digantikan Rizal Ramli.

Rupanya kehadiran Rizal tak kunjung membuat dwelling time di Tanjung Priok membaik. Saat ini waktu tunggu barang di sana masih lima hari, kalah dengan Malaysia yang cukup dua hari atau Singapura yang satu hari. Ini yang membuat nama Rizal masuk sorotan khusus Jokowi.

Tuntutan mencopot Rizal kian santer terdengar lantaran manuver Rizal dengan "gaya kepret"-nya membuat panas-dingin kabinet. Perseteruan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said tentang Freeport dan lapangan gas di Maluku, Blok Masela, memuncak. Mereka saling serang di media. Rizal menginginkan kilang gas Blok Masela berada di darat, sementara Sudirman mendukung kilang terapung di laut.

Terdengar nyaring pula desakan mengganti menteri yang dianggap salah langkah, seperti Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi serta Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Yuddy dinilai membuat blunder. Contohnya saat dia merilis rapor kinerja para menteri kepada publik. Adapun Jonan juga disebut-sebut masuk daftar reshuffle lantaran menentang secara terang-terangan ide kereta cepat Jokowi.

Daftar menteri yang mesti diganti Jokowi itu akan semakin panjang bila mempertimbangkan pula konstelasi politik, yakni masuknya Partai Amanat Nasional dan kemungkinan juga Partai Golkar ke dalam barisan pendukung pemerintah. Partai penyokong kekuasaan biasanya diapresiasi dengan kado berupa kursi menteri. Ini bisa membuat Jokowi makin puyeng memikirkan reshuffle.

Mempertimbangkan partai dalam perombakan kabinet tentu tak ada salahnya, tapi itu seharusnya tak menyandera Jokowi. Kompromi yang berlebihan hanya akan membuat program pemerintah berantakan. Presiden menang dalam pemilihan langsung dengan dukungan 53,15 persen suara atau didukung 70,99 juta orang. Jumlah itu jauh lebih besar daripada suara yang diperoleh partai mana pun dalam pemilu legislatif. Karena itu, Jokowi tidak perlu ragu menata ulang kabinet.

Jokowi tak boleh mengulangi kesalahan dalam reshuffle sebelumnya. Ketika itu, pergantian menteri dilakukan secara tambal-sulam, hanya untuk menyenangkan partai-partai pendukung pemerintah, bukan lahir dari sebuah pemikiran matang untuk meningkatkan kinerja pemerintah.

Bongkar-pasang kabinet kali ini semestinya adalah perombakan yang terakhir. Pergantian menteri yang terlalu sering mengindikasikan kelemahan manajemen Presiden. Reshuffle bukanlah teater yang enak ditonton. Terlalu mahal harganya bila masa depan negara dipertaruhkan hanya untuk trial and error. Inilah kesempatan terakhir Jokowi untuk menggenjot kinerja kabinet dan mengejar target seperti yang dia janjikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus