Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH terlalu banyak memberikan keistimewaan kepada Grup Bakrie. Belum lama ini PT Lapindo Brantas, salah satu anak usaha konglomerasi itu, mendapat dana talangan Rp 3,8 triliun. Dana yang bersumber dari anggaran belanja negara itu akan dipakai untuk membangun infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur panas di lokasi pengeboran gas Lapindo di Sidoarjo.
Kemurahan hati pemerintah berlanjut pekan lalu. Dua bank pemerintah, BNI dan BRI, memberikan kredit Rp 1,39 triliun untuk anak usaha Bakrie yang lain, PT Semesta Marga Raya, yang membangun jalan tol ruas Kanci-Pejagan di Jawa Tengah. Masih ada ”bonus” lain: kalau proyek jalan tol itu macet, pelunasan kredit bisa diperpanjang atau malah diambil alih pemerintah.
Dua kegiatan itu terpisah, tapi dalam menerapkan kebijakan seharusnya pemerintah melihatnya dalam satu paket. Alasan untuk melihat sebagai satu paket itu jelas, dua hal tadi ujung-ujungnya adalah Grup Bakrie. Maka penyelesaian soal lumpur panas Lapindo mestinya menjadi syarat diberikannya fasilitas kredit untuk jalan tol.
Tak mudah mewujudkan prosedur itu, sebab selama ini belum pernah terdengar ada forum antardepartemen dan kementerian yang membicarakan grup bisnis atau pengusaha yang bermasalah. Satu-satunya forum yang tersedia, dan sesungguhnya paling tepat, adalah sidang kabinet yang dipimpin Presiden. Tapi adakah sidang kabinet membicarakan secara terbuka nama-nama grup bisnis yang bermasalah, dan karenanya perlu tindakan khusus, kalau salah satu peserta rapat kabinet adalah Aburizal Bakrie, pemilik Grup Bakrie, yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat?
Melihat kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agaknya bukan gaya bicara terbuka yang akan dipilihnya. Menonaktifkan Aburizal untuk menghindari konflik kepentingan di kabinet, meskipun merupakan kewenangan Presiden, kelihatannya juga tak akan jadi alternatif. Aburizal pun tak terkesan rikuh, apalagi menunjukkan sinyal akan bersisurut dengan keinginan sendiri.
Dalam kondisi ”menggantung” begini, setidak-tidaknya, asas kepatutan tak boleh dikorbankan. Sebuah grup bisnis yang sedang mempunyai masalah tidak pantas mendapatkan fasilitas apa pun dari negara. Prioritas pertama pemerintah adalah membereskan Lapindo seadil-adilnya. Jika benar ahli geologi bilang semburan lumpur baru akan setop 31 tahun lagi, artinya perbaikan kerusakan akan menelan biaya luar biasa besar. Tentu, sebagai perusahaan terbatas, Lapindo tak akan mampu menanggung semua akibatnya. Maka sebuah pengadilan diperlukan untuk memutuskan apakah PT Lapindo harus menanggung semua biaya sendirian atau bersama mitranya dalam pengeboran di Sidoarjo, yaitu Medco dan Santos, misalnya.
Tanpa penyudahan soal Lapindo, pemerintah seharusnya tidak bicara soal kredit jalan tol untuk Grup Bakrie. Secara bisnis pun kredit jalan tol untuk PT Semesta Marga Raya mengandung risiko tinggi. Penyelesaian lumpur Lapindo bisa sangat menguras cash-flow grup itu, sehingga potensi macet kredit jalan tol cukup tinggi. Lebih-lebih, Semesta merupakan pemain baru di bisnis jalan tol.
Bukan berarti peluang bisnis Bakrie harus disumbat. Andaikata benar proposal bisnis tol grup itu menjanjikan, Semesta Marga Raya bisa minta kredit dari bank swasta atau bank asing. Sebelum soal Lapindo finis, bank pemerintah perlu mengikuti anjuran pemimpin negara untuk menjaga jangan sampai sepeser pun negara dan rakyat dirugikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo